tak perlulah berandai

teruntuk: violin. maaf atas egoku.

***


"Besok, v ujian pasca. Mohon do'a ya."

satu inbox via telpon genggamku.

aku baca berulang-ulang isi pesan itu. sekali lagi, aku baca. lagi dan lagi aku mengeja deretan huruf itu. seharusnya pesan itu aku balas. walaupun sekadar selamat menempuh ujian, atau ya, atau apa saja yang mungkin saja sedikit mensupport sahabatku itu.

tapi, hati ini tak bergeming sedikitpun. tak ada suara dari hati, tak ada perintah dari otak untuk menggerakkan tanganku untuk membalas pesan dari sahabatku itu.

"angkuh sekali kamu." otakku pandai berbicara.
"aku tidak angkuh, aku hanya berusaha mengobati diriku sendiri agar tak terbawa emosi." hatiku pun mencoba untuk membela.

ah, sahabatku itu sebentar lagi akan menyandang status mahasiswa pascasarjana, tak banyak tahun lagi sahabatku itu akan bergelar master, setelahnya sahabatku itu akan menjadi tenaga pendidik di perguruan tinggi kecintaannya itu. setelahnya lagi sahabatku itu akan berlari mengejar gelar doktor. setelahnya dia akan menjadi seorang yang disebut guru besar.==tahukah kau sahabat, ini bukan umpatan, ini adalah do'a tulusku dari kedalaman hati. aku harap kau mengAminkan do'aku dari kejauhan ini==

sekarang, aku akan menjadi apa? hingga detik ini aku masih menjadi seonggok daging yang bisa berjalan. berjalan meniti kehidupan yang entah kemana akan ditujukan. yang jelas, aku berada di sini mengikuti alur hidupku. alur yang tak semulus sahabatku.

andai saja jalan hidupku layaknya sahabatku, aku sudah berada di negeri seberang. untuk apa aku di sana? tentu untuk mewujudkan mimpiku. aku juga akan merebut gelar master itu. aku juga akan dapat berbuat banyak dengan ilmu yang telah kugali dari negeri itu. andai saja...

ah, sudahlah. tak perlulah aku berandai-andai. kesannya menolak takdir. hingga detik ini, aku masih belajar untuk bersyukur. syukur atas segala nikmat yang aku dapat.

***
rukan panggung, 1st May 2011 on my free day

Dari Lhok Nga, Hafalan Shalat Delisa

  Judul         : Hafalan Shalat Delisa
  Pengarang : Tere Liye
  Cetakan    : XIII, Februari 2011
  Halaman   : vi + 270 hal
  Penerbit    : Republika
  Harga       : Rp 46.000,-


Hafalan Shalat Delisa bukanlah novel terbitan terbaru. Kali kedua saya membacanya. Pertama membaca, kira-kira empat tahun lalu. Membaca untuk kedua kalinya sama sekali tidak membosankan. Malah semakin mengharu-biru.

Salah seorang kakak sama bekerja, saya tulari untuk membaca novel ini. "Ingin punya anak seperti Delisa," komentarnya ketika membaca buku ini. Kebetulan ia tengah hamil lima bulan.

Satu lagi, teman yang tak hobi membaca secara mengejutkan meminjam buku saya. Ia butuh hampir seminggu untuk menamatkan buku yang tebalnya tak seberapa ini.  "Ini buku pertama yang saya baca hingga selesai," katanya.

Berikut ulasan tentang novel yang ditulis oleh Tere Liye. Sebuah nama pena berbahasa India yang berarti; untukmu. Lewat tulisan yang lembut, sederhana, dan jujur ini, saya tak menyangka bahwa penulis adalah laki-laki. Berawal dari tontonannya di televisi yang menampilkan anak-anak Aceh yang kakinya terpaksa diamputasi setelah bencana tsunami, Tere Liye bersumpah untuk menulis sebuah kisah yang menyakitkan itu. 

Hafalan Shalat Delisa, Novel berkisah dramatis diawali dengan kisah romantis. Sebuah keluarga romantis. Saya memiliki makna tersendiri ketika sebuah keluarga dikatakan romantis. Tak ada pertengkaran, tak ada kegaduhan, tak ada siasat untuk saling menelikung dalam sebuah persaudaraan. Pun itu ada, sekali-sekali hanya sekadar bumbu penyedap ketika keluarga itu diselimuti sepi. Sepi karena pekerjaan kepala keluarga (Abi Usman) yang membuat mereka hanya bisa bertemu triwulanan. Abi Usman bekerja di sebuah kapal tanker minyak yang berkelana dari satu negara ke negara lainnya. Sebagai pengobat rindu itu, percakapan melalui satelit telepon  setiap ba'da subuh di awal pekan menjadi sungguh berarti. Setiap kali telpon berdering di Senin Subuh, Ummi Salamah orang pertama yang akan menerima telpon tersebut. Kemudian diikuti empat anak perempuannya.  Si sulung Fatimah, si kembar Aisyah-Zahra dan si bungsu Delisa. Keempat anak perempuan ini benar-benar anak solehah. Rajin ibadah dan belajar. Semua itu tak terlepas dari didikan Ummi Salamah yang begitu tegas dan kuat agama.

Tere Liye menuliskan kisah yang sangat sederhana dengan latar belakang bencana tsunami enam tahun yang lalu dengan settingan kampung Lhok Nga, Banda Aceh. Dengan tokoh utama Delisa, seorang gadis kecil berusia enam tahun, novel ini menceritakan kisah tentang dunia  kanak-kanak.

Berawal dari kebiasaan di keluarga Umi Salamah, setiap anak akan dihadiahi kalung ketika mereka telah hafal bacaan shalat dengan sempurna. Seperti halnya Fatimah, Aisyah dan Zahra, Delisa juga dijanjikan kalung oleh Ummi Salamah. Menjelang ujian praktik bacaan shalat di sekolahnya, Delisa diajak Umi Salamah memilih kalung di toko Koh Acan. Koh Acan, China tulen adalah tempat langganan Ummi Salamah untuk membeli hadiah untuk putri-putrinya sejak zamannya Fatimah dulu. Koh Acan juga begitu baik kepada umi Salamah, "Kalau untuk untuk hadiah hafalan shalat ini, Ummi Salamah bayar separuh saja, haiya!" kata pria 100% konghucu ini. .

Sejak umi Salamah mengantongi kalung itu, Delisa semakin bersemangat untuk terus menghafal bacaan shalatnya hingga sempurna. Ditambah lagi, kalungnya berbeda dengan kakak-kakak sebelumnya. Delisa dihadiahi Koh Acan liontin dengan abjad D. D untuk Delisa. Riang sekali Delisa setiap kali mengeja D untuk Delisa, D untuk Delisa.. Sehingga mengundang kecemburuan Aisyah, kakaknya yang selalu usil kepadanya. 

Meski kalung telah dikantongi Umi Salamah, Delisa mesti bersabar dulu untuk bisa segera mengenakannya, melihat pun Delisa tak diizinkan Ummi. Oleh karena itu, Delisa gigih sekali mengulang-ulang bacaannya yang sering kali terbolak-balik. Bacaan ruku' dan sujud yang hampir serupa membuat Delisa kebingungan.

Hari uji untuk bacaan shalat Delisa dan teman-temannya di Madrasah Ibtidaiyah pun tiba. Hari Minggu, 26 Desember 2004. Delisa bangun dengan semangat, shalat subuh dengan semangat, berangkat ke sekolah dengan semangat. Janji kalung itu membuatnya sumringah. Selepas shalat subuh, Delisa sempat memaksa Ummi untuk memperlihatkan kalung tersebut, Ummi dengan tegas menolak lagi.

"Alisa Delisa," ibu guru Nur memanggil nama Delisa. Delisa bergerak maju ke depan kelas untuk mempraktikkan bacaan shalatnya, bacaan yang sempurna tentunya. Selesai bertakbiratul Ihram; persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. Persis di sana, lantai laut retak seketika. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian itu mencuat. Mengirimkan pertanda kelam-menakutkan.

Di tengah bumi diguncang gempa, Delisa lancar benar menghafal bacaan shalatnya. Sampai saat Delisa akan melanjutkan ke bacaan sujud tiba-tiba tubuhnya terseret air besar sekali. Ya, hari itu tsunami terjadi. Memporakporandakan Lok Nga hingga tak tersisa. Menelan banyak korban yang sampai kini tidak dapat diketahui jumlah pastinya.

Aceh bersedih, Indonesia bersedih. Berita bencana tsunami di Aceh itu pun mendunia. Seorang gadis kecil berumur enam tahun, Delisa kehilangan banyak hal; ummi dan kakak-kakaknya, serta sebelah kakinya. Meskipun telah kehilangan segalanya, itu tidak membuat Delisa hancur. Hanya satu yang membuatnya sedih, karena kehilangan hafalan shalatnya. Sesuatu yang mungkin tidak akan menjadi prioritas bagi sebagian besar dari kita pada umur enam tahun ketika kehilangan semuanya. Sejak kejadian itu pula Delisa benar-benar lupa akan bacaan shalatnya.

Pada akhir novel diceritakan penyebab hafalan shalat Delisa yang hilang. Karena sebelum bencana tsunami terjadi, ia menghafal bacaan shalat tersebut karena iming-iming hadiah, bukan karena ikhlas karena Allah. Ketika ia menyadari hal itu dan menyatakan tidak menginginkan hadiah kalung tersebut, bacaan shalat itu seolah-olah bicara padanya.

Akhirnya Delisa bisa menyempurnakan shalatnya. Pada saat itulah Allah memberikan hadiah besar padanya. Ia menemukan jasad (tulang belulang) Ummi-nya yang selama ini hilang akibat tsunami dalam keadaan memegang kalung yang akan dihadiahkan padanya itu. Ya, Delisa amat tegar, tetap semangat apapun kondisinya, bisa menerima kehilangan akan orang-orang yang dicintainya dengan sederhana. Sungguh, dari Delisa kita bisa belajar banyak hal tentang makna hidup. Bahwa hidup memang sungguh sederhana, belajar tentang rasa ikhlas dan tulus hati, senantiasa bersyukur dan terus memperbaiki diri.

Begitulah ketegaran dan keikhlasan seorang anak berumur enam tahun yang kehilangan banyak hal berharga dalam hidupnya. Sebuah pelajaran yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh kita. Kisah yang sangat menyentuh dan membuka hati. Membuat siapa saja yang membacanya terharu kemudian tanpa sadar meneteskan air mata. Seolah hanyut dalam ceritanya. Ada beberapa bagian dimana penulis memberi catatan kaki tentang doanya untuk Delisa, mengungkapkan kecemburuannya tentang gadis cilik itu. Sungguh membuat hati terenyuh.***






*)saya benar-benar cemburu dengan Delisa, ia punya kisah sungguh penuh makna ketika belajar menyempurnakan bacaan shalatnya. Sementara, saya tak ada apa-apanya. Hanya ada sedikit hal lucu, ketika saya menaruh buku tuntunan shalat lengkap pada sajadah ketika belajar shalat. Melirik ke arah buku untuk menirukan gerakan dan mengintip bacaan shalat.

 

Boleh Idola tapi Jangan Menggila

Akhirnya Justin Bieber menginjakkan kaki di Jakarta, Jumat (22/3) lalu. Kedatangannya penuh histeria, terutama bagi penggemarnya yang disebut 'Beliebers' ini. Apa benar yang ada pada diri justin bieber? Di usianya yang masih belia, baru 17 tahun, ia sudah berprestasi. Bukan sembarang prestasi. Prestasi mendunia. Jika kita bandingkan dengan 'Artis Youtube' keluaran lokal, tentu belum apa-apa dibanding Bieber. Sebut saja, Shinta-Jojo, Bona 'Gayus Tambunan', Soaludin 'Udin Sedunia' dan yang teranyar Briptu Norman Camaru. Mereka semua juga telah menghentak se-isi Indonesia, tapi sayang mereka tak begitu menggaung ke seantero dunia.

Justin bieber telah menunjukkan eksistensinya melalui konser bertajuk 'My World Tour'. Telah hampir seluruh belahan dunia ia datangi untuk unjuk aksi panggung, termasuk Indonesia. Dan di seluruh kesempatan itu pula ia mampu membuat penggemarnya di luar kendali. Tangis, tawa, dan teriak. semuanya berpadu. Sejauh perhatian saya, ada seorang remaja di Israel memakai gaun layaknya seorang pengantin perempuan dan mengusung board bertuliskan, Justin, marry me!! hah, apa-apaan ini?

Pada salah satu acara televisi, terlihat para Anak Baru Gede (ABG) sangat histeris ketika akan menyambut kedatangan Bieber di Jakar. Bahkan ada yang mau bunuh diri jika keinginannya untuk bertemu justin tidak kesampaian. Ada lagi yang mengumpat promotor pengundang Justin dikarenakan mereka tak kebagian tiket untuk menyaksikan konser secara langsung. Ada juga yang ketipu oleh calo. Bertempat di Sentul International Convention Centre, promotor hanya menyediakan 10.000 tiket. Tiket dijual online, pada penjualan pertama, 6000 tiket ludes terjual via online. Hanya menghabiskan waktu 2 jam. Gila...!!

Membludaknya penggemar Justin membuat banyak yang tak kebagian tiket. Di salah satu tayangan televisi diperlihatkan sekelompok remaja yang meluapkan emosinya. Sumpah serapah pun tak dapat dielakkan, *^%&$###@&*. Mereka mengaku telah puasa belanja selama sebulan demi mengantongi tiket nonton justin. ada pula yang berani membohongi orang tua demi bisa bertemu sang idola. Memang, tak tanggung-tanggung pengorbanan mereka. Harga tiket jutaan tak jadi masalah. pada akhirnya mereka yang tak kebagian menonton pun terjebak oleh ulah calo yang meraup keuntungan dari acara ini.

Belum lagi dari situs youtube, saya melihat beberapa anak ABG bahkan anak kecil berteriak-teriak, mengamuk, menentang orang tua karena keinginannya bertemu Justin juga tak terpenuhi. Ah, sungguh menggila mereka ini.

Menurut saya luapan emosi remaja tanggung yang mayoritas perempuan itu adalah sesuatu yang kurang wajar. Bukan bermaksud mencela perbuatan mereka, hanya saja ada banyak cara lain untuk mengungkapkan kekaguman kepada sang idola. tak mesti menguntit, mengikuti style, hingga melakukan hal-hal yang tak logis.

Segala bentuk ketidakwajaran sikap mereka ini tentu tak terlepas dari didikan orang tua masing-masing. Ada orang tua yang terlalu memberikan kebebasan kepada anaknya untuk mengekspresikan diri terhadap sang idola,  ada juga yang terlalu mengekang. Dua-duanya ada tak baiknya. Jika mereka terlalu diberi kebebasan, para remaja yang masih membutuhkan perhatian ini akan terjebak, kehilangan identitas diri. Apabila terlalu dikekang, mereka akan menentang orang tua. Berbagai cara pun mereka tempuh untuk mengikuti kehendak.

Kata Psikolog Tika Bisono dalam suatu situs internet, hal ini merupakan fase yang dialami oleh sebagian besar para remaja, sebagai orang tua suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, itulah tahapan yang dilalui yang ada pada diri remaja dan ketika umur mereka bertambah perilaku tersebut berangsur-angsur berkurang seiring dengan bertambah kedewasaannya.

Ya, persoalan remaja memang agak sedikir rumit (sok tau..he..). Bukanlah perkara mudah untuk mendidik mereka di tengah lajunya arus globalisasi sekarang ini. Butuh berbagai pendekatan untuk mereka. Menurut saya, yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada mereka (remaja) dari segala sisi. Orang tua perlu menjelaskan bahwa perbuatan 'menggila' kepada idola bukanlah suatu prilaku yang baik. Setiap anak yang demikian akan kehilangan identitas diri, senantiasa mengikuti segala tingkah dan gaya sang idola. Nah, bukankah lebih baik kita percaya pada diri sendiri? dan bukankah kita harus bisa mengeksplorasi potensi diri sendiri untuk berkarya?

Selain itu, dari sudut pandang agama (islam), remaja yang demikian yang cenderung mengidolakan penyanyi, aktris, aktor yang bergaya hidup tidak islami (apalagi dari manca negara yang jelas-jelas sangat berbeda gaya hidupnya dan kebanyakan mempunyai perilaku yang jauh dari budaya timur). Apabila remaja tersebut terpengaruh dengan kebiasaan demikian tentu sangatlah bertentangan dengan ajaran agama dan budaya kita. Alangkah lebih baiknya mengidolakan tokoh-tokoh yang bisa menjadi panutan dan teladan semisal ulama, ilmuwan, para pahlawan pembela bangsa, dan seniman yang islami.

Disamping mengidolakan tokoh yang pantas diidolakan, alangkah lebih baik pula kita mengidolakan diri sendiri. Maksudnya bukan meyakini diri sendiri sebagai orang hebat, melainkan mengidolakan diri sendiri dengan yakin atas kemampuan yang dimiliki dan terus menggali segala potensi yang ada. Dengan kebiasaan seperti ini remaja akan terbentengi dari fenomena, arus atau trend yang terus berkembang seiring berkembangnya zaman.

Membentengi diri dari fenomena atau trend yang tengah berlangsung bukan berarti membuat remaja kurang pergaulan alias kuper. Tak ada salahnya mereka sekadar mengikuti--bukan berlebihan,  agar tidak ketinggalan informasi. Tidak semua pula idola memberikan dampak negatif terhadap sikap remaja. Kembali ke justin biebier, para remaja bisa saja mengambil yang baiknya. Kegigihan biebier untuk terus berlatih dan menjaga eksistensi dirinya juga patut ditiru. Salah satunya, melalui lagu Never Say Never-nya, ia mengajarkan agar kita jangan pernah mengatakan tidak. Teruslah berusaha.. Nah, ada bagusnya juga bukan. yang ini, tak apa ditiru. Justin tak apa dijadikan inspirasi untuk terus berbuat mewujudkan mimpi kita, jangan mudah menyerah.

So, ikuti baiknya, tinggalkan buruknya. Tak perlu meraung-raung karena tak bisa ikut menonton.Dan tak perlu memaksakan diri agar bisa bertemu si Justin,bukan..? Having fun.. ***

*)postingannya telat kali ya? udah nggak update lagi. si Justin entah sudah kemana pula, nih tulisan baru muncul.. whatever lah. kali-kali aja ada guna.
rukan panggung, 26th apr 2011. sepasang headset menempel di telinga.. salah satu pada playlist, Never Say Never -- Justin Biebier.

Bumi Sriwijaya Part II

 

Medio Oktober 2010, kali kedua menginjakkan kaki di negeri mpek2. Kali pertama, pada mei 2008, masih menyandang status mahasiswa. Yang ini status berganti menjadi karyawan. Seorang teman, meluangkan waktu untuk jalan-jalan. Jalan-jalan kilat, dikira hanya sementara untuk kali kedua ini, karena tugas awalnya hanya menggantikan karyawan cuti di kantor cabang Palembang, ternyata hingga detik ini saya 'dipaksa' untuk terus bersahabat dengan Bumi Sriwijaya ini. Indah, Pahit.. kisahnya. 




Eh, Sinetron…

Untuk kali ini saya begitu tergila-gila untuk menonton sinetron. Ops, tunggu dulu. Tak sembarang sinetron yang saya tonton. Setelah muak dengan suguhan sinetron yang alangkah banyaknya di beberapa stasiun tv swasta di negeri ini, terutama R***, akhirnya saya menemukan juga salah satu sinetron yang menurut saya tak ada kelirunya apabila saya ikut menonton. (he.. kalimat yang bikin bingung).

Merujuk ke berbagai sinetron yang mereka (stasiun tv) tayangkan selama ini, menurut saya tak ada manfaatnya sedikitpun untuk ditonton. Yang ada hanyalah drama kelebayan dan berbagai alur cerita yang tak masuk di akal. Tak jarang mulut saya turut mengumpat ketika melihat adegan demi adegan dari sinetron yang mereka tayangkan. Daripada saya mengumpat, baiklah saya putuskan pada waktu tertentu saya tidak akan menyetel stasiun tv yang sudah ada dalam blacklist saya.

Nah, kali ini sinetron apakah yang tengah membuat saya tergila-gila? Ah, macam apa sajalah sinetron ini, sehingga membuat saya tergila-gila. Hm, tak lain dan tak bukan sinetron yang saya maksud adalah Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Menurut saya, inilah sinetron terbaik untuk saat ini. Itu kan menurut saya, tak tau pula saya bagaimana pendapat Anda. He..
Bagi saya yang awam tentang dunia perfilman, persinetronan, ataupun pertontonan, sinetron KCB cukup memberi arti dalam setiap episodenya. Baiklah, saya tidak akan berlama-lama mengomentari sinetron ini. Namun, di halaman ini saya akan coba menguraikan apa saja yang dapat dipetik dari setiap karakter dan akting tiap lakon di sinetron ini.

Pertama, Ustadz Azzam. Untuk selanjutnya, Azzam saja saya menyebutnya. Dari sosok Azzam saya jadi tahu bagaimana tanggung jawab seorang laki-laki di dalam keluarganya. Ia mampu memimpin keluarganya dan adik-adiknya tentunya. Azzam juga mempunyai kelapangan hati yang sangat ketika ia dihadapkan dengan masalah apapun. Ia tak pernah kelihatan begitu panik, hanya saja ada sedikir raut wajah lusuh, demikian saya menyebutnya.

Kedua, Anna yang diperankan Okky Setiana Dewi. Anna seorang putri kyai tersohor di negerinya menampilkan sosok perempuan solehah dan paham agama. Istri Azzam ini begitu taat beribadah. Tutur bahasa begitu lembut, bersikap sopan dan rajin membantu. Cantik dan berilmu, begitu saya menyimpulkannya.

Ketiga, Husna. Saya begitu tertarik dengan tokoh yang diperankan Meyda Safira ini. Penulis yang baik, perempuan berhati baik, dan berpenampilan menarik. Menurut saya, Husna memiliki penampilan yang melihatkan kesederhanaan. Tak ada yang mencolok. Husna bukanlah perempuan berpenampilan seperti Anna. Ia tak mengenakan gamis seperti yang biasanya dikenakan Anna. Hanya saja, Husna memakai kerudung lebar. Kerudung segiempat seperti kebanyakan orang memakai--termasuk saya--juga sering dikenakan Husna. Husna juga diceritakan sebagai seorang penulis. Semangat Husna untuk menulis berpengaruh sekali kepada saya. Sejak mengikuti sinetron ini saya jadi keranjingan menulis. Menulis apa saja. Mungkin sebagian menganggap tulisan saya banyak yang nggak mutu. He.. biarlah, yang penting saya menulis. Menulis untuk kepuasan batin.

Cukuplah tiga tokoh yang menurut saya tokoh utama itu saja yang saya paparkan. Masih ada, Ilyas, Sarah, Lia, Ustad Mujab, dan lainnya. Mereka tak saya bahas karena terlalu banyak dan jika ada yang membaca tentu akan merasa bosan. Masih menurut saya, kesemua dari tokoh yang ditampilkan di sinetron KCB memiliki karakter yang kuat dalam perannya masing-masing. Banyak pelajaran yang bisa dikutip. Mulai dari persaudaraan, percintaan, keluarga, dan dakwah. Tentu semuanya dari sudut pandang agama islam.

Terlepas dari semua kebaikan dari sinetron KCB yang saya sebutkan di atas, memang sinetron ini juga tak luput dari kekurangan. Saya tahu, banyak juga yang kontra dengan sinetron, pun film KCB. Banyak yang menganggap semuanya ditampilkan begitu berlebihan alias lebay. Bahkan beberapa teman saya berkomentar, “Mana ada orang bisa se-sabar itu? Berlebihan semuanya.” Demikian teman saya mengomentari beberapa peran dari tokoh KCB.

Mungkin ada benarnya komentar teman saya karena kadang-kadang saya pun merasakan hal yang sama. Tapi ada banyak juga bagian dari setiap adegan film dan sinetron itu yang dapat diraih manfaatnya. “Ambil saja yang baiknya, setidaknya kita bisa belajar agama dengan mudah dari sinetron ini,” saya menjawab komentar teman.
Tak ada yang salah ketika ada pro dan kontra terhadap apa pun yang dihadapkan kepada kita. Apalagi persoalan karya. Tak semua karya yang menurut si pembuat bertujuan baik dapat diterima serupa oleh orang yang menikmati karyanya. Begitu pula, ketika saya menyukai sinetron ini dan ada yang begitu jengah, biarlah. Mari kita memilih. Memilih berdasarkan kacamata masing-masing. Kacamata yang merekam dari sudut pandangnya masing-masing.***


*)catatan ini saya tulis ketika saya menginginkan sinetron KCB diputar lagi. Belum lama ini, KCB II telah ditayangkan tapi tak bertahan lama. Tak mencapai 50 episode. Saya tak tau pasti penyebabnya, prasangka saya mungkin karena ratingnya tidak bagus. Stasiun tv lebih mempertahankan sinetron yang memiliki rating bagus dengan menambah-nambahkan episode bahkan season hingga selusin. Ah, sudahlah…!!

Hari Rohana Kudus tanpa Kartini

Memperingati 21 April dengan Hari Kartini sepertinya kita hanya akan mengakui bahwa yang punya sejarah hanyalah orang Jawa. Bukan bermaksud mendiskreditkan sosok Kartini, saya hanya merasa tidak adil saja apabila ada hari spesial yang dikhususkan untuk Kartini.  Terlepas dari Kartini, kita punya sesosok perempuan yang mempunyai perjuangan nyata melebihi perjuangan Kartini, yaitu Rohana Kudus. Begitu banyak kiprahnya semasa hidup yang membuat kaum hawa bangga.

Mengapa saya merasa perlakuan tersebut tidak adil? Ya, karena Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Sama halnya bahkan lebih dari Kartini, Rohana telah berbuat banyak untuk kaum perempuan di negerinya semasa itu. Tak hanya di bidang pendidikan, jurnalistik, politik, bahkan meningkatkan kualitas perekonomian kaum perempuan pun telah ia lakoni. Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa ada diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena yang harus dilawan.

Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884  dan meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972. Terlahir dari sepasang orang tua yang bernama Rasjad Maharaja Soetan dan Kiam. Rohana Kudus juga memiliki hubungan keluarga dengan Perdana Menteri Indonesia pertama, Soetan Sjahrir. Selain itu, ia juga bibi atau 'mak tuo' dari penyair terkenal Chairil Anwar dan ia juga sepupu dari H. Agus Salim.

Berbekal kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan. Pada usia 24 tahun setelah menikah dengan Abdul Kudus yang waktu itu berprofesi sebagai notaris, Rohana pulang ke kampung halamannya. Pada 11 Februai 1911 ia mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan bermana 'Sekolah Kerajinan Amai Setia'. Di sekolah ini ia mengajarkan anak didiknya mulai dari mengelola keuangan, baca-tulis, budi pekerti, pendidikan agama, bahkan Bahasa Belanda.

Perjuangan Rohana tak serta-merta mulus begitu saja, banyak tantangan yang ia hadapi. Pergerakannya berbenturan dengan kehidupan sosial yang biasanya berlaku di ranah minang. Meski ia harus berhadapan dengan para pemuka adatdan pihak lain yang menentangnya, hal ini tak membuat Rohana mundur, melainkan ia semakin kuat dan yakin dengan apa yang tengah diperjuangkannya hingga meraih kesuksesan.

Kesuksesan Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama. Pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang anak didiknya yang telah diajarkan hingga pintar telah menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya dan dukungan seluruh keluarga. Beberapa kali persidangan,  tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun Rohana menolak tawaran tersebut karena ia berniat pindah ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama 'Rohana School'. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun. Rohana School sangat terkenal, muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Di Bukittinggi  Rohana juga memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina.

Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga piawai berwirausaha. Dari sekolah kerajinannya, ia dengan mudah menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda. Kerjasama untuk pengadaan peralatan dan kebutuhan sekolahnya hingga memasarkan hasil kerajinan anak didiknya ke Eropa. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau. Ditambah lagi, Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.

Kiprah Rohana membuat banyak petinggi Belanda kagum. Kagum akan wawasannya yang luas dan fasih berbahasa Kompeni. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.

Perjuangan Rohana tak sampai disitu saja. Pada tanggal 10 Juli 1912 ia mendirikan Surat Kabar Perempuan Pertama di Indonesia, 'Sunting Melayu' namanya. Pendirian surat kabar ini berawal dari keinginan Rohana untuk membagi cerita tentang perjuangannya memajukan pendidikan kaum perempuan dan juga tak lepas dari kebiasaannya menulis. Sunting Melayu digawangi kaum perempuan, Pemimpin Redaksi, Redaktur hingga Penulisnya adalah perempuan.

Masih dalam pergulatan tulis-menulis, Rohana juga aktif turut serta dalam dunia politik. Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Koto Gadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatera.

Demikian Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam kegiatan yang menjadi kebanggan kaum hawa yang ia perjuangkan. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.***



Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan:

"Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan."

Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.--wikipedia

*)Tulisan yang tak seberapa ini saya rangkum dari sedikit sumber, teruntuk teman-teman perempuan saya yang sekarang mulai berkutat di dunia jurnalistik (sebelumnya baru menjadi wartawan kurcaci di media kampus masing-masing): Septri Lediana, Meidella Syahni, Sonya Winanda, Adek Risma Dedees, Anies Zenevieva, dan Ivo Yasmine. Semoga terlahir 'Sunting Melayu' jilid II dari tangan dan pikiran cerdas nan kreatif kalian.. he


========

@rukan panggung, 21 Apr 2011--tanggal ini juga bertepatan dengan ulang tahun (Alm.) kakak sulung saya yang semasa hidupnya telah menjadi pahlawan bagi adik-adiknya. Do'aku selalu untukmu.. uni.

Perempuan dan Ayam Jantan Berkawan di Subuh Tadi

--kaki merapi dari jendela belakang tingkat dua-- f/brother inlaw
Subuh di hari Minggu. Subuh yang lain. Subuh yang tak menuntut hati untuk mulai mengerayangi hari ini dengan berbagai pekerjaan. Subuh di Minggu ini begitu Subuh yang membebaskan, Subuh yang mengindahkan, Subuh yang memilukan, juga.

Hingga ke suara kokok ayam jantan pun membuat Subuh di hari Minggu begitu berbeda. Kokok-an ayam jantan di halaman rumah begitu nyaring. Tak henti-hentinya ia berkokok. Sahut-menyahut dengan ayam jantan yang berada di sisi utara, timur dan selatan, tetangga beberapa rumah.
Kukuruyuk...k, begitu nyaring, begitu panjang. Di halaman.
Kukuruyuk...k, agak nyaring, agak tersendat seperti ayam yang tertelan karet gelang. Di timur.
Kukuruyuk...k, sayup-sayup, seketika lenyap. Di utara dan selatan, bergantian.

Mereka berkokok tak mau mendahului adzan Subuh. Setelah adzan telah bersahut-sahutan dari berbagai penjuru, barulah mereka bersahut-sahutan pula. Seolah memperpanjang lidah muadzin yang sudah sedari tadi mengumandangkan seruanNya dari Meunasah.

Seorang perempuan berusaha bangun dari tidurnya yang nyenyak. Tidur yang baru saja pulas setelah ia baru tertidur dua jam yang lalu. Kebiasaannya bangun di sepertiga malam untuk berkehendak apa saja, membuat ia terjebak dalam pikiran panjang. Setelah memohon kepada Sang Khalik yang sepengetahuannya turun ke bumi untuk memperdengarkan permohonan hambaNya di sepertiga malam, mata si perempuan tak lantas terpejam. Ada-ada saja yang ia pikirkan. Mulai dari A hingga Z, andai saja masih ada alfabet setelah itu mungkin masih ada saja yang ia pikirkan. Alhasil, dua jam saja waktu perempuan tadi untuk terlelap.

Mata masih setengah terbuka, mulai menggerak-gerakkan jari-jemari, duduk di kapuk yang begitu empuk, tangannya sibuk meraih kerudung dari penggantung pakaian, pintu kamar di buka, menerabas ke kamar mandi. Berwudu'. Dinginnya air menyapu wajah dan membasahi pori-pori, begitu nikmat rasa itu bagi si perempuan tadi.

Si ayam jantan tak henti-hentinya berkokok Begitu juga rekan sejawatnya di halaman tetangga tiga rumah. Mereka tak berhenti bertugas karena belum ada juga yang bangkit dari kapuknya. Kukuruyuk.... sahut-menyahut, tak henti. Hingga sang fajar mulai muncul dari ufuk timur.

Sementara setelah si perempuan tadi selesai menghambakan dirinya di Subuh Minggu ini, ia begitu tergoda dengan kapuk yang begitu empuk. Masih terduduk di atas sajadah setianya, ia menoleh si kapuk. "Ayo, tidur kembali masih terlalu pagi, hari ini kan libur, ayo....!!" si kapuk begitu menggoda.

Perempuan tadi bangkit. Melipat mukena dan sajadah setianya. Menoleh lagi ke si kapuk, "Ah tidak, perempuan itu tidak baik tidur setelah subuh," si perempuan membalas godaan si kapuk sembari memencongkan bibirnya bermaksud meledek godaan si kapuk.

Ia raih kembali kerudungnya. Kerudung yang agak lebar dan panjang. Sengaja memilih kerudung yang demikian agar dingin yang lumayan menusuk tulang tak begitu terasa ketika kepalanya dan separuh badan diselimuti kerudung lebar. Si perempuan beranjak keluar, duduk di beranda rumah. Ada pemandangan yang tak biasa. Lima belas merpati tengah berpesta di halaman rumah, tepat di depan beranda tempat si perempuan duduk. Ia perhatikan satu per satu burung yang dikata orang paling setia itu. Semuanya didominasi bulu putih hanya saja beberapa dari mereka berparuh hitam, coklat, dan abu-abu. Merpati-merpati itu tengah berebut sisa makanan dari bungkusan nasi si penghuni rumah. Kaki-kaki mungil merah muda mereka berlarian, kadang-kadang saling menelikung untuk mendapatkan beberapa butir nasi. Kini, merpati itu tak lagi berjumlah lima belas, tujuh belas sudah. Dua kawannya baru saja tiba, mungkin mereka tertinggal atau baru saja juga mengais rejeki di halaman rumah yang lain.

Si ayam jantan masih saja berkokok dan bersahut-sahutan dengan teman sejawatnya. Masih belum ada yang bangkit dari pembaringan. Mungkin saja mereka telah lelah berkokok hingga kehausan, tapi tugas mereka belum selesai. Belum juga ada yang bangun. Belum juga ada yang menyaingi mereka dan merpati tadi untuk mengasis rejeki.

Merpati dan ayam jantan, ada juga beberapa burung pipit beterbangan di halaman. Si burung pipit memilih bertengger di arm penghubung bucket dengan controller pada alat berat yang terparkir di halaman rumah, Excavator. Si burung pipit memandangi dari ketinggian, teman sama spesies dengannya tengah berjuang untuk mendapatkan butir-butir nasi sisa makan si penghuni rumah. Dari ketinggian itu, si burung pipit juga memperhatikan si perempuan berkerudung lebar tadi. "Asyik sekali ia melamun, apa yang ia pikirkan?"

Perempuan tadi melirik satu per satu pada makhluk yang telah sibuk di subuh hari itu. Merpati, burung pipit, dan ayam jantan yang masih saja sibuk berkokok. Si perempuan mulai terganggu dengan kokokan si ayam jantan. Ia membatin, saya sudah bangun dari tadi janganlah berisik juga, biarkanlah saya merasakan indahnya pagi ini tanpa lagi mendengar lengkingan suaramu yang tak lagi merdu layaknya yang saya dengar setelah adzan subuh tadi. Memekakkan telinga, si perempuan mulai mengumpat.

Di tengah kesibukan makhluk-makhluk tadi mengais rejeki, perempuan tadi meraih telepon genggamnya. Menelpon salah seorang kawan yang pasti sudah bangun sejak subuh tadi. Ia begitu mengetahui kawannya yang satu ini selalu memulai aktivitasnya di Subuh hari, Violin namanya.  Jempolnya mengutak-atik telpon genggam yang akhir-akhir ini mulai berulah. Violin, memanggil...

"Hallo, Assalamu'alaikum," salam Violin agak parau mungkin karena masih terlalu pagi untuk menjawab telpon.
"Wa'alaikumsalam, Vio sudah shalat dan sedang apa?" perempuan tadi memberikan pertanyaan beruntun.
"Sudah, baru saja selesai. Ais sudah shalat?
"Sudah juga, kira-kira setengah jam lalu."
"Subuh lebih duluan di sana ya.." Vio menyadari jarak ia dan Ais lumayan jauh, menempuh kurang lebih 20 jam perjalanan via bus.
"Iya, hanya beda beberapa menit dari ibu kota negara," Ais menimpali.

*bla..bla..bla..bla..*

Percakapan perempuan tadi dengan kawannya itu begitu seru, sepertinya. Sehingga ia mengacuhkan kawan-kawannya yang menemaninya duduk di beranda tadi. Merpati, Ayam jantan dan si burung pipit belum juga menyudahi kesibukan mereka.

Si perempuan juga tidak mau kalah, selesai melepas selaksa rindu pada kawannya tadi, ia kembali meraih telpon genggamnya yang ditaruh di kursi kosong di sebelahnya. Kali ini ia menelpon kedua orang tua nun jauh di kampung halaman. Ibu jarinya kembali menari-nari di atas key pad telpon genggam itu. Luphly Pa, memanggil..
"Assalamu'alaikum," suara pria paruh baya dari ujung telpon.
Perempuan tadi kembali mendengar suara parau dari kejauhan. Memang, masih terlalu pagi di kampung halamannya.
"Wa'alaikumsalam.., sudah bangun pa, papa sudah shalat?" si perempuan menyuguhkan pertanyaan serupa dengan pertanyaan beruntunnya kepada Violin tadi. Kenangannya tiba di kampung halaman. Kampung yang berada di kaki gunung merapi. Apabila Subuh hari, dinginnya cuaca begitu menusuk tulang. Brr... dingin minta ampun. Hanya yang benar-benar memiliki kebulatan hati yang bisa bangun di subuh hari untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Pemberi Rejeki.
"Sudah nak, papa baru saja kembali dari mushalla. Nih, amak juga baru pulang."
Si Perempuan mulai merasakan pilunya pagi ini. Andai saja ia tak berjarak dari tanah kelahirannya itu, tentu ia juga turut meramaikan subuh yang dingin itu. Ketika suara azan dari Inyiak berkumandang, ia bergegas bangkit dari kapuk, dan menuruni anak tangga dari tingkat dua rumahnya. Berlarian menuju mushala merasakan air 'es' yang mengucur dari tedmond, penyimpan air mushala. Brr.. kali ini si perempuan tadi benar-benar merasai dingin itu.
"Apa kabar Ais, sehat-sehat sajakah?" tidak lagi suara papa, melainkan Amak.
Oh, amak yang membuat perempuan tadi semakin merasakan dinginnya pagi ini.

*Bla, bla, bla......*

Percakapan kedua orang tua dan anak perempuannya yang berada jauh di negeri orang. Entah apa yang mereka bicarakan. Hanya saja si burung pipit yang masih bertengger di ketinggian tadi sesekali melirik perempuan itu tengah tertunduk dan sesekali mengusap matanya.

Matahari mulai memperlihatkan wajahnya. Cerah. Si perempuan mulai bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan beranda. Memulai aktivitas di Minggu yang membebaskan. Kokokan ayam jantan tak terdengar lagi, entah kapan berakhirnya, si perempuan tak menyadarinya. Merpati mulai berhamburan seiring dengan langkah perempuan tadi. Mungkin mereka sudah kenyang, sudah mendapat rejeki, mengalahkan penghuni rumah yang mulai terseok-seok keluar dari kamarnya untuk mencuci muka, pun mandi. Si burung pipit juga sudah meninggalkan arm yang dari tadi ia hinggapi. Terbang menikmati Minggu pagi yang begitu membebaskan.


--mega merah di penghujung senja, masih dari jendela belakang tingkat dua--f/broher inlaw
 @rukan panggung, 17th April 2011, 7:56 AM

Sedikit Catatan untuk Film "?"

Saya cukup menantikan film Hanung yang satu ini. Tertarik dengan tema yang diusung dari film ke-14 yang telah digarap sang sutradara. Kali ini Hanung hadir dengan mengusung tema toleransi beragama. Dalam salah satu surat kabar yang saya baca, Hanung mengatakan, "Saya sebagai orang islam jadi risih karena ada stigma bahwa agama islam itu agama yang berbahaya, tidak toleran dan teroris. Itu sebenarnya yang mau saya luruskan."

Berangkat dari inilah Hanung menghadirkan film yang berjudul "?" (baca: tanda tanya). Judul yang hanya membubuhkan satu tanda baca--tanda tanya-- cukup membuat saya bertanya-tanya, apa maksud Hanung memilih judul demikian? Di bawah judul "?", Hanung juga memberikan sebuah kalimat "Masih Pentingkah Kita Berbeda?" yang menjadi tagline dari film yang menghabiskan budget 5 milyar ini.

Kesempatan untuk menontonpun ada, hari Minggu (10/4) saya, kakak dan teman sama bekerja memanfaatkan waktu libur untuk menonton film yang baru rilis Sabtu kemarin di kota ini. "?" hanya ditayangkan di 21 (twenty one) Palembang Indah Mall (PIM), salah satu dari dua 21 di kota Palembang, 21 satu lagi bertempat di International Plasa (IP)--mall pertama di kota Pempek. Setiba di PIM kami langsung menuju 21 untuk beli tiket. Lumayan ramai, tapi tak terlalu. Entah film ini tak begitu menarik bagi penikmat film, entah karena saya sudah terlambat untuk menonton. Entahlah...

G16, nomor kursi saya. Tak lama setelah memasuki cinema 2, kira-kira 10 menit "?" dimulai.


Scene pertama dibuka dengan potret sebuah kota yang multikultural, berlokasi di Semarang dengan settingan Semarang 2010. Terpampang gapura bertuliskan 'Kota Baru'--nama kota itu. Gambar masjid, gereja dan wihara menunjukkan aktivitas masing-masing di lingkungan rumah ibadah yang berbeda. Ketika melihat scene di awal ini, langsung tertangkap bahwa tema yang akan diusung Hanung adalah toleransi beragama dan kehidupan sosial di antara masing-masing pemeluk agama tersebut.


Dikisahkan ada 3 keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Keluarga Tan Kat Sun (Henky Solaiman) memiliki sebuah restoran masakan Cina yang tidak halal. Namun sang pemilik terkenal sangat toleran dengan para pekerjanya yang kebanyakan dari kalangan muslim. Bahkan ia memisahkan seluruh alat masaknya untuk masakan yang halal dan tidak halal. "Yang pake ikat merah babi dan tidak pake ikat merah bukan babi," salah satu percakapan Tan dengan Ping Hen ketika mengajarkan anaknya mengelola restorannya.

Di keluarga lain, Soleh (Reza Rahardian) memiliki istri yang cantik dan taat beragama bernama Menuk (Revalina S. Temat) yang bekerja di restoran milik Tan Kat Sun. Canton Chinese Food nama restoran itu. Soleh adalah seorang suami dan bapak tanpa pekerjaan yang sedang berusaha keras agar menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab. Di ujung keputusasaannya, akhirnya Soleh bekerja sebagai Anggota Banser Ansori, salah satu Ormas Islam.

Sedangkan Rika (Endhita) seorang janda beranak satu yang harus dikucilkan keluarganya karena berpindah agama. Anak Rika bernama Abi (Baim), rajin mengaji. Sesuatu yang agak janggal memang ketika kita diperlihatkan dalam sebuah keluarga ibu mengantarkan anaknya mengaji, sementara anak mengaji ibunya ke gereja untuk beribadah juga. Dalam film ini diceritakan juga Rika menjalin hubungan dengan Surya (Agus Kuncoro) seorang pemuda tanpa pekerjaan tetap. Surya seorang muslim dan kerap kali ikut mengambil peran dalam drama perayaan paskah di gereja tempat Rika.

Hubungan antar keluarga ini dalam kaitannnya dengan masalah perbedaan pandangan status, agama dan suku. Semuanya dipaparkan menarik dalam film berdurasi 100 menit ini. Penyanyi, Glenn Fredly juga turut meramaikan film bikinan suami Zascia Adya Mecca ini. Glen sebagai Doni berperan sebagai teman sesama jemaat di gereja tempat biasa Rika beribadah. Doni menaruh hati pada Rika, tapi di lain pihak Rika lebih memilih Surya sebagai pasangannya meski mereka berbeda keyakinan.

Konflik mengenai percintaan tak hanya pada Doni, Surya dan Rika. Menuk dulunya ternyata juga memiliki kisah dengan Ping Hen (Rio Dewanto) anak dari Tan si pemilik restoran. Perbedaan keyakinan membuat mereka tak menyatu. Rasa tak berbalas membuat Ping Hen menaruh dendam pada Soleh dan Hen juga tak menyukai Menuk bekerja di restoran ayahnya. Semata karena cemburu. Soleh juga menaruh dendam serupa kepada Ping Hen. Konflik memuncak ketika Hen mengambil alih restoran ayahnya yang sudah sakit-sakitan sejak lama. Jika biasanya Tan memberi jatah libur kepada karyawan muslimnya libur selama seminggu di waktu lebaran, tak demikian halnya Hen. Di hari kedua pada hari raya, Hen memutuskan untuk tetap membuka restorannya. Hal ini memicu Soleh dan rekannya di Banser Ansori mengamuk. Restoran Hen diserbu dan diamuk masa Ansori. Amarah Soleh pun tak terbendung yang akhirnya menerjang Tan.

Tak lama setelah penyerbuan Restoran, Tan meninggal. Diikuti juga dengan meninggalnya Soleh saat bertugas mengamankan perayaan Paskah di gereja. Soleh menyelamatkan jemaat dari serangan bom yang akhirnya merenggut nyawanya.

Ada satu adegan yang saya rasa terlalu dipaksakan. Hanung memunculkan Zaskia beserta anaknya (Sybil) pada adegan Surya bertamu kerumah ustad yang diperankan oleh David Chalik. Zaskia dalam cerita sebagai istri ustad, tak ada percakapan hanya selintas kemunculan Zaskia dan anaknya, beberapa detik saja. Menurut saya Hanung ingin pula mengeksiskan istri dan anaknya pada filmnya. (he...)

Di akhir cerita Hen mencoba kembali sadar dan membuat perubahan besar dalam hidupnya. Yakni, memeluk keyakinan baru. Restoran Canton Chinese Food pun menjelma menjadi Barokah Chinese Food. Sedangkan 'Kota Baru' pada gapura kota berganti nama menjadi 'Kota Soleh'.

Semuanya tersaji sederhana. Perbedaan begitu mengindahkan bukan mengacaukan. Film yang berangkat dari kisah-kisah nyata ini cukup mampu memunculkan decak kagum dari penonton. Tak sengaja saya mendengar tanggapan dari beberapa penonton di pintu Exit. Mereka berada di belakang saya, "Keren, keren, keren filmnya," kurang lebih begitu saya mendengar komentar mereka.

Terlepas dari pujian itu, karya Hanung banyak pula menuai pro dan kontra. Hal yang wajar karena tema yang diusung sangat sensitif. Tak ada yang mesti dipermasalahkan baik yang pro maupun kontra. Keduanya punya alasan yang kuat. Tapi, menurut saya Hanung mesti berhati-hati lagi ketika masih ingin terus membuat karya dengan tema serupa. Kritikan datang kepadanya bukan hanya kali ini saja, di beberapa film sebelumnya (Perempuan Berkalung Sorban dan Sang Pencerah) Hanung telah menghadapi permasalahan yang sama.

Agaknya Hanung terjebak dalam tema yang ia usung. Ketika awalnya Hanung ingin menonjolkan kehidupan sosial dan toleransi beragama serta sisi humanisnya, malahan akhirnya Hanung terjebak pada ide pluralisme. Ide yang selama ini banyak ditentang banyak orang. Adegan penusukan pastur, kekerasan oleh banser Ansori (Soleh, khususnya), dan bom pada gereja bukannya meluruskan stigma masyarakat terhadap islam yang berbahaya, melainkan hal yang berbalik ditangkap oleh sebagian orang. Lebih lengkapnya silahkan baca beberapa protes terhadap film "?" pada link ini. Juga ini dan ini.

Dengan banyaknya kritikan yang diterima Hanung, semoga lebih banyak lagi film-film berkualitas lahir dari tangan pria keturunan Jawa-Cina ini. Sementara untuk penikmat film, ambil saja baiknya dan terus mempertembal iman agar bisa memilah baik pun buruk dari film yang disuguhkan.

Have a nice watch.. :))

nunggu cinema 2 'open'
jelang 17.15


@rukan panggung, 11th April 2011, jelang Maghrib

Kisah Nyata Pengantin Belia, Elissa di Sekte Poligami

Judul                 : Stolen Innocence Kisah Nyata Pengantin Belia di Sekte Poligami
Penulis              : Elissa Wall &Lisa Pulitzer
Penerbit            : Dastan Books
Cetakan            : I, September 2009
Jumlah Halmn    : 384 Halaman
Harga                : Rp 65.000,-

Kisah yang dituangkan dalam buku ini terlahir dari pemberontakan seorang mantan anggota sekte The Fundamentalist Church of Latter Day Saints_Gereja Fundamental Para Orang Suci Hari Akhir_(FLDS),  yang dipaksa menikah di usia 14 tahun, Elissa Wall.  FLDS yang terletak di Utah ini merupakan pecahan dari gereja Mormon. Kedua gereja ini pecah karena adanya perbedaan pendapat dalam hal poligami.
 Sebagai anggota dari FLDS, Elissa dibesarkan dengan doktrin bahwa pernikahan haruslah terjadi karena wahyu dari Tuhan dan wahyu tersebut disampaikan melalui sang Nabi, yang dianggap sebagai utusan Tuhan di muka bumi.

Menurut ajaran sekte FLDS, seorang suami harus memiliki minimal empat istri untuk dapat masuk surga. Dilahirkan sebagai anggota dari sekte poligami, tidak membuat Elissa menyetujui ajaran sektenya. Elissa terus-menerus mempertanyakan ajaran sektenya yang tidak masuk akal, misalnya saja utusan Tuhan, yaitu sang Nabi yang dipanggil Paman Warren dapat memperistri wanita mana pun yang ia inginkan walaupun masih di bawah umur. Anak-anak dilarang bersekolah di sekolah umum. Dan sering kali, anak-anak perempuan dipaksa menikah saat mencapai usia remaja.
   
Beberapa ajaran demikian membuat Elissa memberontak. Terlalu banyak ajaran yang tidak masuk akal menurutnya yang mesti dilakukan di sektenya. Sejak kecil Elissa hidup bersama keluarga dan tiga ibu tirinya. Kakak dan adik laki-lakinya diusir dari rumah karena dinilai telah melanggar ajaran FLDS.
   
Tak hanya itu, dalam bukunya Elissa menguraikan jika seorang gadis mengutarakan pendapatnya, maka nikahkan ia. Setelah menikah, buat dia segera hamil. Setelah memiliki anak, maka dia kan patuh seumur hidup_hampir tidak mungkin bagi wanita FLDS untuk membawa anak-anak mereka jika memutuskan untuk pergi, dan tidak ada satu ibu pun yang tega meninggalkan anak mereka. Sayangnya, saat itu, Elissa terlalu muda dan buta untuk bisa menyadari kenyataan itu. Tapi untuknya_dan untuk sebagian besar wanita FLDS_ada sebuah jebakan tersembunyi di dalamnya.
   
Ketika melihat Elissa memiliki sifat pemberontak, Warren menikahkan Elissa yang saat itu masih berusia 14 tahun dengan sepupunya yang bernama Allen, berumur 19 tahun. Pernikahan itu dilangsungkan secara diam-diam karena Elissa masih di bawah umur. Hampir tiap malam, Elissa diperkosa oleh Allen atas nama kewajiban sebagai anggota jemaah yang baik. Banyak sekali penderitaan dan tekanan yang dialami Elissa, sang pengantin belia, yang harus ia lalui hari demi hari, malam demi malam. Tapi Elissa tidak tinggal diam, ia berjuang keras untuk mendapatkan kebebasannya sendiri, juga kebebasan rekan-rekannya sepenanggungan.

Dalam kisahnya ini, Elissa menjabarkan setiap kejadian berdasarkan ingatannya yang benar-benar terjadi. Meski tak semua yang terlibat dalam kisah ini dituliskan Elissa dengan nama sebenarnya, namun segala yang ia alami tak luput dalam ceritanya dan tetap disajikan secara gamblang.  Deskripsinya mengenai sekte poligami yang diperkirakan memiliki anggota lebih dari 10 ribu orang ini, begitu mengejutkan dan perjuangan Elissa untuk meraih kebebasan dan keluar dari sekte tersebut sangat menakjubkan.  Buku ini juga pantas dibaca oleh berbagai kalangan yang tertarik dengan masalah poligami. Kisah yang dipaparkan Lessie_panggilan akrab ibu Elissa terhadapnya, akan mengubah pandangan pembaca tentang daya juang dan keteguhan seorang wanita. ***

*)masih sebuah klipingan, ditulis di akhir 2010

Shalat Ya, Korupsi Ya!

Beberapa waktu lalu, Penulis mewakili SKK Ganto dalam kegiatan yang diselenggarakan sebuah Lembaga Pers Mahasiswa salah satu universitas di luar Sumatera Barat. Kembali dari perjalanan tentu Laporan Pertanggungjawaban harus diserahkan. Tapi, salah satu bukti_tiket bus yang harus dilampirkan hilang.

Untuk itu, penulis mendatangi loket tempat pembelian tiket tersebut. Dengan santai petugas loket mengatakan, “Bayar saja administrasinya, terserah adek mau menulis kapan berangkatnya dan berapa jumlah ongkosnya.” Dari pernyataan petugas tadi, penulis pun bertanya, “Kenapa seperti itu Pak? Bukannya seharusnya Bapak yang menuliskan?” Si Petugas langsung menjawab, “Itu biasa dek, sudah terlalu sering orang-orang yang melakukan perjalanan, meminta tiket kosong di sini, agar mereka bisa membubuhkan berapa ongkos mereka nantinya, bahkan aparat sekalipun,” tambahnya.

Itulah sekelumit pengalaman penulis. Korupsi itu adalah hal yang biasa dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Masyarakat lelah mengikuti kejadian politik yang terjadi di negara ini dan telah bosan bertanya kenapa dan akhirnya menjadi masa bodoh. Betapa tidak, ketika para pemimpin sibuk memperkaya diri dengan fasilitas negara dan berebut kantor dengan segala kemudahannya, melakukan korupsi terhadap harta negara dan rakyat dengan nilai yang tidak terbayangkan apabila dihitung mulai dari angka satu sampai ke angka uang yang telah dikorupsinya. Begitu juga ketika peristiwa suap-menyuap antara aparat dan masyarakat di depan umum adalah hal biasa.

Di negara kita yang mayoritas Islam ini patut kita memperhatikan bahwa dalam Islam kita diajarkan untuk mendapatkan sesuatu yang halal. Allah berfirman yang artinya: ”Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (Qs. al-Baqarah:188). Allah juga berfirman: ”Siapa saja yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. Kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang telah dilakukannya dan mereka tidak diperlakukan secara dzalim.” (Qs. Ali Imran: 161). Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: ”Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil selain dari (upah/gaji) itu adalah ghulul (kecurangan).” (HR. Abu Dawud).

Shalat Ya, Korupsi Ya!

Shalat dan korupsi. Sekilas keduanya tidak berhubungan sama sekali. Shalat adalah sebuah rutinitas ibadah bagi umat islam. Korupsi merupakan tindakan tercela. Namun, ada kesamaan diantara keduanya; dapat dilaksanakan secara berjamaah. Apabila shalat berjamaah pahalanya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri, apakah korupsi yang dilakukan secara berjamaah, dikerjakan bersama-sama, melibatkan banyak orang dengan kerugian negara yang banyak, juga dapat dikenai hal yang demikian; dosa yang berlipat-lipat?

Jika diperhatikan lebih jauh, setiap manusia sebenarnya memiliki sifat serakah, hanya ada yang berkembang dalam dirinya, dan ada terkalahkan oleh keimanannya. Kalau dibawa ke zaman sekarang, memang banyaknya orang yang korupsi menandakan keserakahan mengalahkan keimanan mereka, banyak dari mereka yang Islam, shalat juga, sudah haji pula, tapi kenapa bisa korupsi? Bukan kesalahan shalat dan hajinya, tapi bagaimana ibadah yang mereka lakukan tidak memberi manfaat pada mereka, karena mereka melakukannya juga tidak khusyu, tidak mencari pahala Allah, mengharap terhindar dari neraka Allah, mereka berhaji hanya untuk dipanggil pak haji, bu haji. Mereka shalat hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim. Tanpa merefleksikan ke dalam perilaku mereka sehari-hari. Akhirnya itulah yang terjadi, ibadah terus, tapi mencuri, merampok, korupsi, ya jalan terus.

Dulu, pada tahun 2002 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta mengadakan penelitian tentang Islam dan demokrasi. Penelitian ini dilakukan di 16 propinsi seluruh Indonesia dan mewawancarai langsung 2000 responden. Banyak temuan yang menarik dalam penelitian ini. Salah satunya adalah bahwa umat Islam di Indonesia semakin tinggi tingkat kesalehannya. Misalnya, adanya kecenderungan makin dominannya kelas santri.

Kecenderungan ini terlihat dari makin merebaknya kesalehan dalam masyarakat. Sayangnya, tingginya kesalehan ini dibarengi dengan semakin tinggi pula tingkat kecurigaan dan tidak tolerannya terhadap kelompok di luar Islam. Majalah Tempo yang memuat laporan penelitian itu merumuskan temuan itu dalam kalimat pendek yang cukup baik, “More Pious, Less Tolerant”. Artinya: kian saleh, kian enggan menoleh. Maksudnya “menoleh” kepada golongan-golongan yang berbeda agama.

Jika kita lihat sampai sekarang, fenomena ini masih juga terjadi. Kalau manusia kurang hati-hati tergelincirlah mereka. Mereka berfikir sanggup memerdekakan dirinya sendiri, mereka akan sanggup berjuang dengan setan dengan hawa. Padahal dengan tidak disadarinya mereka telah terpengaruh oleh setan, dan hawa nafsu. Bahkan kadang-kadang dirinya sendiri telah jadi setan dengan tidak disadarinya karena yang diikutinya bukan perintah Tuhan yang tidak setuju dengan kehendak nafsunya, maka diputarnya, didalihnya, dibajui dengan baju agama.

Kadang-kadang orang yang lancar lidahnya untuk berpidato, tidak gugup untuk naik podium sanggup memegang pimpinan kumpulan dan orang banyak, padahal mereka menurutkan hawa nafsu. Apa saja tipuan yang dilakukannya kepada orang banyak, diberinya cap “atas nama agama”, “demikian firman Allah”, demikian “titah Rasul” tidak boleh dilanggar, siapa melanggar berdosa. Padahal ayat dan hadits itu hanya mereka ambil sebagai penguat hawa mereka. Bukan hawa mereka yang mereka taklukkan kepada Al Quran dan Hadits.

Sesungguhnya shalat merupakan sarana pengendali terbaik untuk mencegah perbuatan menyimpang apabila seseorang melaksanakan dengan benar. Orang yang menegakkan shalat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal. Begitu pula sebaliknya, semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya. Sebagaimana Firman Allah, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).

Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada kesesatan.Firman Allah, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).

Dari ayat di atas dapat kita maknai bahwa orang yang melakukan korupsi adalah mereka yang memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu akan memiliki harta yang banyak. Tanpa memperhatikan dari mana harta tersebut diperoleh. Bisa dikatakan mereka adalah orang yang gila akan uang atau harta. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Qs. Al Adiyat:8 ”Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat ini ialah manusia itu sangat kuat cintanya kepada harta shingga ia menjadi bakhil.

Maka di sini manusia dituntut untuk memerangi hawa nafsu mereka ketika mereka telah dihadapkan kepada kekuasaan dan jabatan. Karena ini nantinya akan mempengaruhi tindakan mereka selama berkuasa.

Memerangi Hawa Nafsu

Untuk mencegah korupsi ini, manusia dituntut bisa memerangi hawa nafsunya. Di dalam perjuangan melawan hawa nafsu, Hamka di dalam bukunya ‘Tasauf Modern’, membagi manusia menjadi 3 bagian; Yang kalah dirinya oleh hawa sampai ditahan dan diperbudak oleh hawa itu sendiri djadikannya Tuhan, perperangan antara keduanya berganti-ganti, kalang dan menang jatuh dan tegak, dan orang yang dapat mengalahkan hawanya.

Manusia golongan ketiga inilah yang mampu mengalahkan hawa nafsunya sehingga mereka yang memerintah hawa bukan hawa yang memerintah mereka. Tidak bisa hawa mengutak-atikkannya, mereka yang jadi raja, penguasa, dan mereka yang merdeka_tidak terpangaruh dan tidak diperbudak hawa. Rasulullah S.A.W bersabda: “Tidak seorang pun di antara kita yang tidak bersetan, saya sendiri pun ada juga bersetan tetapi sesungguhnya Allah telah menolong saya menghadapi setean saya itu sehingga dia saya kalahkan.” (HR. Ibnu Jauzi dan Ibnu Abdurrahman As-Sulami).

Jika manusia tidak hati-hati dalam memerangi hawa nafsunya, maka akan membawa mereka ke jalan yang sesat. Oleh karena itu, sebelum bertindak perlulah kita mengawasi atau memikirkan apakah yang akan kita lakukan merupakan perintah hawa atau perintah akal. Biasanya akal mempertahankan sesuatu yang pahit tetapi manis akibatnya, sedangkan nafsu mempertahankan sesuatu yang manis tapi pahit bekasnya. Itulah sebabnya, Rasulullah bersabda: “Diramaikan syurga dengan barang yang berat mengerjakan dan diramaikan neraka dengan syahwa.,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila segala sesuatu yang kita lakukan berdasarkan perintah akal, mudah-mudahan segala tindakan kecurangan tidak akan dilakukan. Ketika kita dihadapkan kepada sesuatu yang meragukan, menggiurkan, tertarik kepada sesuatu keinginan yang besar, maka lekaslah pertimbangkan. Ketika hawa membawa kita jauh berangan-angan, maka akal akan dibawa untuk mempertimbangkan. Tetap teguh kepada pedoman kita sebagaimana manusia dalam hidup. Yakni, Al Quran dan Hadits.***


*)masih klipingan opini, ditulis 2008 lalu

Teknologi untuk Menyelaraskan Vibrasi

Judul           :  The Secret Behind The Secret--Seni Mengelola Vibrasi Hati
Halaman      : 277 + xv
Penulis        : Yudi Sudjana
Penerbit      : PT Elex Media Komputindo, KOMPAS Gramedia
Thn Terbit   : Mei, 2009
Harga          : Rp 64.800,-




Sejak kemunculan film dan buku The Secret oleh Rhonda Byrne yang fenomenal itu,  banyak pula buku sejenis yang diterbitkan namun banyak pembacanya yang masih bingung dan bahkan tidak mencapai perubahan yang signifikan dalam hidupnya karena tidak adanya cara yang diberikan untuk mencapai perubahan itu.

Yudi Sujana, pendiri Suara Hati Foundation, seorang modern days spiritual messenger juga trainer transformasi diri, melalui The Secret behind The Secret menjawab tantangan itu dan memberikan How To atau cara mengaplikasikannya untuk kehidupan sehari-sehari yang tidak diajarkan dalam The Secret ataupun pendidikan formal lainnya. Pelopor manajemen vibrasi hati di Indoensia ini menuangkan caranya dalam bentuk latihan pikiran dan perasaan dan juga game vibrasi yang menyenangkan.

Dalam bukunya, Yudi membongkar rahasia untuk mencapai apa pun yang diinginkan atau untuk mengubah realita hidup. Namun, sebelum perubahan dari luar terlihat, diperlukan perubahan di dalam diri, perubahan pikiran dan perasaan, perubahaan gelombang energi atau vibrasi.

Penulis mengungkapkan semua yang ada di alam semesta adalah vibrasi atau gelombang energi. Semua benda padat adalah vibrasi. Benda padat memiliki vibrasi yang rendah dan pelan, karenanya tidak terlihat namun dirasakan. Sedangkan tubuh manusia memiliki sensor vibrasi melalui pancaindranya. Manusia sebagai makhluk cipaan tuhan yang paling sempurna memiliki vibrasi paling tinggi berupa pikiran dan perasan. Kita bisa tahu apakah sesauatu mempunyai vibrasi yang kuat atau tidak melalui sensor indra keenam, yaitu hati. Melalui pikiran dan perasaan inilah realita kita terbentuk.

Termuat dalam buku ini, seni mengelola vibrasi hati. Penulis lebih memfokuskan pada topik ini karena para pakar di bidang Fisika Quantum telah menyimpulkan bahwa hati itu seperti magnit, hati selalu menarik segalanya  sesuai dengan apa yang dirasakan di hati,dan daya tarik magnit ini kekuatannya ribuan kali dibanding otak. Oleh karena itu, barang siapa yang  trampil mengelola vibrasi hatinya dia akan mendapatkan segala kemudahan dan nikmatnya hidup,dan dia akan mengenal siapa jati dirinya dan barang siapa yang mengenal jati dirinya dia mengenal sang pencipta dan dia sadar bahwa Tuhan selalu membimbing dan berkomunikasi dengan manusia melalui hatinya setiap saat asalkan dia mendengarkan suara dari dalam hatinya.

Untuk mendapatkan hasil maksimal dari buku ini sebaiknya pembaca mendengarkan terlebih dahulu CD Relaksasi Alpha dari Sound Technology yang dilampirkan dalam buku ini. Teknologi Brainware yang terkandung di dalamnya akan membantu menenangkan otak dan masuk ke kondisi Alpha, kondisi yang sangat ideal untuk menyerap informasi dan meningkatkan kinerja otak. Tak ketinggalan penulis menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam menggunakan CD Alpha Sound Technology  di bagian akhir buku ini. Selamat membaca.***


*)masih sebuah klipingan, ditulis 2010 lalu

'Bertandang'


Bertandang. Satu kata ini cukup tidak mengenakkan di telinga saya. Sejak masa kecil hingga kini, kata bertandang memiliki konotasi negatif bagi saya. Bertandang menurut pemahaman saya adalah ketika seseorang yang bertamu ke rumah orang lain dalam waktu yang cukup lama. Seperempat, setengah, satu, bahkan berhari-hari.

Semasa kecil saya termasuk salah seorang anak yang suka bertamu ke rumah teman. Berbagai alasan yang membuat saya demikian. Pertama, rumah teman saya lebih bagus daripada rumah saya. Kedua, saya suka sekali berkumpul dengan teman-teman sebaya. Ketiga, saya juga senang sekali apabila bisa mengenal seisi rumah tempat saya bertandang. Keempat, kelima, keenam dan seterusnya banyak lagi alasan lain yang membuat saya tertarik untuk bertandang.

Mengapa bertandang memiliki makna negatif bagi saya? Hal ini pertama kali muncul ketika ayah saya menegur kebiasaan kurang baik saya ini. Kata ayah saya, anak perempuan tidak baik kalau sering sekali bertandang ke rumah orang lain. Masih kata ayah saya, anak perempuan itu harusnya menghuni rumahnya dan menjadikan rumahnya itu tempat yang nyaman baginya. Bagaimanapun keadaan rumahnya, anak perempuan harus bisa menjadikan rumahnya layaknya istana.

Sejak ayah saya memberikan pemahaman demikian, saya mulai berpikir. Ternyata ayah saya sama sekali tak menyukai anaknya bertandang ke rumah orang lain. Lambat laun saya menyadari, yah saya tak menyukai, bukan berarti membatasi pergaulan saya. Hanya saja, saya berasal dari negeri yang penuh dengan norma, sopan dan santun, lebih luasnya disebut negeri beradat. Kaum perempuan diperlakukan istimewa, garis keturunan dilimpahkan kepadanya, harta warisan diprioritas kepada mereka, banyak lagi hal lain yang membuat si perempuan begitu teristimewa di negeri saya itu. Karena itu pulalah ada aturan yang berlebih dibandingkan kaum laki-laki. Tak ada yang salah memang, Sang Pencipta pun menciptakan kaum hawa sebagai makhluk yang mulia. Itu salah satu bagian terkecil yang menurut saya termasuk kepada falsafah di negeri saya, "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Kalimat yang begitu agung. Sederhana disebutkan, namun terlalu rumit untuk diaplikasikan.

Kali ini, saya juga tidak hendak membahas tentang adat di negeri saya. Kembali ke persoalan bertandang. Kemarin, beberapa minggu lalu, akhir-akhir ini, salah seorang teman (kakak) sesama bekerja seringkali mengajak saya untuk menginap di rumahnya. Seingat saya, baru dua kali saya menerima tawarannya. Sisanya, saya tolak. Menolak dengan berbagai alasan yang membuat dia tidak tersinggung, tentunya.

Di rumah si'kakak' apa yang tidak ada? Ada semua. Berbagai fasilitas lengkap, rumah yang lumayan luas. Ya, si 'kakak' bersuamikan orang kaya. Bekerja di salah satu perusahaan minyak ternama di negeri ini, bahkan hingga luar negeri.

Apa yang ada di rumah si 'kakak' berbanding terbalik dengan fasilitas yang ada di mess. Di tempat ini, saya hanya menghabiskan malam pada ruang lebih kurang 4x3 meter. Sebuah televisi, sebatang baling-baling angin, sebentang kasur lumayan empuk, serta sebiji lemari tempat saya menyimpan seluruh 'properti'.

Tapi biarlah, biarlah saya tinggal di istana mungil--mess-- saya ini. Meski mungil dan apa adanya selama saya masih berkesempatan menghuni, seperti yang dikatakan ayah saya, akan saya jadikan istana. Istana yang membuat hati bahagia menghuninya.

Tidak juga saya akan menginap di rumah indah si 'kakak. Biarlah si pemilik saja yang menikmati istana mereka. Bukan berarti saya angkuh, bukan berarti saya tak menghargai kebaikannya, bukan berarti saya individualis. Melainkan saya masih memegang erat petuah ayah saya. Selama itu tidak darurat, selama itu tidak ada kepentingan, saya akan tinggal di istana saya sendiri.

Rasul kita, kalau saya tidak salah mengingat, juga mengingatkan umatnya. "Janganlah kamu bertandang ke rumah orang lain melebihi tiga hari," kurang lebih begitu isinya. Kenapa Rasul melarang kita? ya, karena bagaimanapun tuan rumah akan merasa terganggu dengan keberadaan si tamu.

Ya, demikian beberapa alasan saya menolak ajakan si 'kakak'. Setelah memilah manfaat dan mudarat, lebih banyak manfaatnya ketika saya memilih berdiam di 'istana' saya ini. Si 'kakak' baru saja berkeluarga, kini tengah hamil, di rumahnya ada suami dia. Tentunya suami si 'kakak' bukan muhrim saya. Di lain hal, rutinitas di pagi hari, tanggung jawab saya selama bekerja di kantor ini akan terbengkalai ketika harus mengingap di rumah si 'kakak'.***

==Messku, Istanaku==

*)Bertandang mungkin kata yang tidak baku dalam Bahasa Indonesia, saya juga kurang tahu. Selama ini, saya hanya mengenal istilah tandang pada laga sepak bola. Meski demikian, harap dimengerti saja. Saya hanya tertarik untuk memakai kata 'Bertandang'. :))

@rukan panggung, 07th Apr '11, 17:41--Kotak Backsound--

Ibu Guru

Dalam suatu diskusi ada yang mengatakan guru adalah seseorang yang tanpa mengenal lelah, selalu mengajar, mendidik, memberi keterampilan dan pengetahuan untuk selalu meraih cita-cita peserta didiknya. Walaupun peserta didiknya sering menyakiti hati mereka, tapi mereka selalu sabar mendidik siswanya. Sebagai mahasiswa kependidikan, tentu saya harus menjalani ini. 

Tak pernah sebelumnya terfikir kalau saya akan menjadi seorang calon guru. Semasa sekolah, saya tergolong siswa bandel dan suka mempermainkan guru. Tapi apa daya, semua itu berbalik kepada saya sekarang. Mau tak mau, praktik lapangan di sekolah latihan harus diikuti. 

Beberapa waktu sebelum saya dan teman-teman memulai praktik lapangan, salah seorang dosen yang memberikan pembekalan kepada kami, cukup mampu memberikan motivasi kepada seluruh mahasiswa yang hadir di ruangan waktu itu. Terutama saya. Ia memulai materi dengan deretan kata yang sangat berarti bagi saya; “Tanpa Guru Tak Akan Ada Profesi  Lain”. Ungkapan yang cukup menyemangati saya untuk mencoba praktik di situasi yang sebenarnya. Tak seperti praktik yang saya lakukan selama ini di kampus.  

Saya ditempatkan di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Padang ini. Banyak pengalaman yang sudah saya dapatkan dan akan saya jalani sampai praktik akan berakhir. Praktik di sekolah yang siswanya baru berumur belasan tahun cukup menuntut kesabaran saya. Kenapa tidak? Tingkah laku mereka sungguh amat beragam. Mulai dari yang suka menarik perhatian guru dan temannya, berkelahi dalam kelas, sampai kepada mereka yang terlibat cinta lokasi di kelas. Ini parah sekali, mereka tak peduli dengan guru yang tengah serius mengajar di depan kelas. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang mau patuh atau pun memiliki minat belajar. Di balik itu, juga ada yang sangat patuh dan menuruti apa yang diinstruksikan gurunya. 

Kenapa kebanyakan peserta didik tidak memiliki minat belajar yang baik, tidak punya kesadaran dari diri sendiri untuk belajar? Tentu banyak faktornya. Guru, orang tua, lingkungan, dan perkembangan zaman. Hal ini berdampak pada etika mereka kepada guru. Banyak siswa yang kurang menghargai guru. Pernah saya ajak siswa di kelas menyadari arti seorang guru bagi mereka. Satu per satu mereka berpendapat. Semuanya, tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dan dihindari. ”Guru itu, adalah orang tua bagi saya,” dengan polos siswa di kelas saya waktu itu menjawab. Temannya yang lain menambahkan, karena itu saya harus patuh kepada guru. Di sini mereka mengerti akan arti keberadaan seorang guru. Tapi, kesadaran mereka hanya pada saat itu saja. Perubahan pun tak berlangsung lama.  

Nah, sedikit berbagi pengalaman, sebagai seorang mahasiswa praktik kita harus mampu mendekatkan diri kepada siswa agar mereka bisa menghargai kita layaknya guru mereka di sekolah. Selain di kelas, kita bisa memanfaatkan di luar waktu mengajar untuk berkomunikasi lebih banyak dengan siswa. Semakin siswa merasa dekat_dalam batas yang wajar dengan guru, maka siswa merasa segan dan menghargai gurunya. Pada saat ini jugalah muncul motivasi siswa untuk belajar karena mereka telah terlanjur senang dengan gurunya.  Seperti yang dikatakan John Lubbock, ”Hal yang penting bukanlah setiap anak harus diberi pelajaran, tetapi bahwa setiap anak seharusnya diberikan keinginan untuk belajar.” 

Inilah saatnya. Salam dan semangat untuk semua teman saya yang sedang menjalani praktik lapangan di manapun.*** 


*) Ditulis awal 2009 lalu ketika mengikuti praktik mengajar di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota Padang. Sebuah klipingan catatan kuliah saya. Kuliah yang mendidik saya seharusnya jadi guru. Tapi, realitanya hingga saat ini saya tak mengikuti alurnya. 



Sembilan Belas Hari

Sembilan belas hari dia menempuh perjalanan. Perjalanan untuk ibadah. Katanya, dia punya do'a khusus untuk kami-- saya dan dia. Saya hanya turut meng-Amin-kan. Tak lupa saya minta oleh-oleh dari perjalanannya. "Oleh-olehnya tak banyak, hanya mau kamu menjdi pribadi yang lebih baik dari sebelum perjalanan ini," saya meminta. 
"Insyaallah," ia menjawab.

Sepulangnya ia, entah apalah yang akan terjadi. Baik, pun buruk mesti diterima. Karena Sang Maha yang berkehendak. Harapan saya, untuk kali ini janganlah dihadapkan kepada saya manusia yang berpura-pura. Atau manusia yang hanya menaruh rasa 'kasihan'. 


Tepat di hari ke-8, dia pun berkabar:


04 April at 16:21
Assalamu'alaikum ***....Sekarang *** DI Hotel Madinah...Mumpung ada Internet Gratis...*** cuman mau kasih kabr....*** pulang tgl 15 ke************...*** kangen lama gak dengar suara ***...*** jaga kesehatanx ya disana jangan nakal...wassalam

04 April at 17:16  
Wslm. wr.wb..
senang tak terkira ketika terima kabar..
bagaimana di sana? adakah sehat dan lancar ibadahnya..?
cepat pulang... :'(  

Sejak delapan hari berlalu hingga sepuluh hari ke depan, semuanya bergerak melamban. Saya bak mengikuti jalannya keong. Keong yang beringsut-ingsut lamban sekali sementara sang Elang terus membubung tinggi.

@rukan panggung, 05th April 2011, 17:23

Telpon Mak Ida (II)

Hampir seminggu sudah Ais menerima telpon dari Mak Ida. Selama itu pula pikiran Ais tak tenang. Ais mulai memikirkan, apa yang harus ia lakukan. Andai saja, keberadaan Ais dengan ayahnya tak jauh seperti sekarang, tentu Ais akan mengajak ayahnya berbicara. Berbicara dari hati ke hati. Mengajak ayahnya untuk kembali membuka hati. Meski belum tentu ada penerimaan yang baik dari ayah Ais. Tapi, sedikitnya ada usaha nyata yang bisa dilakukan ais.

Tak lama larut dalam pikirannya, Ais mencari nama ayahnya pada phonebook. Luphly Pa. Ais hendak menelpon ayahnya. Tapi, ada keraguan di hati Ais. Ragu untuk menelpon. Ais begitu takut kalau-kalau ayahnya akan marah. Seperti dalam waktu sebelumnya, ayah Ais adalah sesosok yang agak temperamental. Mempunyai emosi yang tak stabil. Meledak-ledak. Gampang sekali tersinggung. Dan perkataan orang adalah salah satu musabab yang seringkali membuat ayah Ais tersinggung.

Ais kembali berpikir, "Bagaimana kalau nanti saya menelpon ayah, tiba-tiba ayah tak terima, ayah akan merasa digurui, saya bukanlah seorang yang pantas menggurui ayah," Ais kian larut dalam pikiran tak menentu. Ais mengira-ngira, seandainya ia menelpon ayah tiba-tiba keluarganya di rumah yang menjadi sasaran. Sasaran amarah ayah Ais karena beranggapan keluarga ais di rumah memberi tahu Ais perihal ayahnya yang tak lagi shalat. Suasana akan semakin runyam. Ada mudarat yang akan datang. Rumah ais tak akan lagi nyaman disebabkan kegaduhan karena kesalahan Ais.

Pikiran Ais membuntu. Handphone masih di genggaman Ais. Hanya tinggal menekan tombol berwarna hijau, panggil. Tapi, ibu jari ais terlalu berat. Ah, sudahlah. "Mungkin belum saatnya saya menelpon ayah," handphone tak lagi dalam genggaman Ais. Ia abaikan saja.

Ais kembali menerawang. Ia baringkan tubuhnya di atas kasur yang tak seempuk biasanya dirasai Ais. Mata ais tak bisa terpejam. Dari ujung ke ujung langit-langit kamar, muak sudah dipandangi Ais terus-menerus. Pandangan kosong. Terlalu banyak banyak yang melintas di pikiran Ais.

Terbayang-bayang pula di ingatan Ais, ketika ia, ibu, adik, kakak, tentu ayahnya juga bergegas menuju mushala ketika waktu shalat menjelang. Ayah ais bersiap, menyiapkan perangkat pengeras suara untuk mengumandangkan adzan. Menggelar tikar untuk jamaah. Sementara itu, ais, adik, kakak dan ibunya tengah berlomba-lomba ambil wuduk. Siapa cepat, dia yang akan mendapatkan shaf terdepan. Shaf yang dijanjikan Tuhan pahala lebih dibandingkan barisan di belakangnya. Selesai shalat berjamaah, sejenak keluarga ais duduk di mushala, tentunya hanya sekadar menjaga silaturahim dengan jamaah lainnya. Setelahnya, Ais dan keluarga akan kembali ke rumah. Tentu, dengan wajah baru. Wajah penuh semangat, wajah yang bersih setelah menghadap sang khalik. Terlalu indah, kalau dikenang.

Apakah moment itu sebentar saja? Semenjak ais tak lagi tinggal bersama keluarga di rumah, berhenti pulalah kebiasaan yang demikian? Ais bertanya-tanya. Malam kian larut, akhirnya mata Ais mengalah. Terpejam dalam keadaan hati yang tak tenang.

Esok pagi, Ais terbangun. Selesai shalat subuh, Ais terpaku duduk di atas sajadahnya. Memohon kepada Tuhan, untuk menunjukkan jalan keluar. Ais meminta agar ayahnya kembali diberi petunjuk ke jalan yang benar. Menunaikan kewajibannya sebagai makhluk ciptaanNya.

Sejak itu, setiap pekerjaan yang dilakukan Ais terasa begitu membosankan. Ais tak lagi fokus. Layaknya seseorang yang tengah berhadapan dengan hutang. Hutang yang mesti dibayarkan. Selama itu hutang belum terbayar, selama itu pula hati Ais tak tenang. Kali ini, hutang Ais adalah mengembalikan ayahnya yang dulu lagi. Ayah yang begitu taat beribadah.

Tak mau berlama-lama dihantui hutang, akhirnya di malam berikutnya Ais memutuskan untuk menelpon ayahnya. Luphly Pa, panggil. Dari ujung telepon, terdengar suara ayah Ais yang telah lama tak bersua dengannya.

Ayah: Assalamu'alaikum
 Ais: Wa'alaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh
Ayah: Ais, apa kabar?
Ais: Alhamdulillah, sehat yah. Ayah bagaimana?
Ayah: Ayah sehat juga
Ais: Ayah udah shalat?
Ayah: Sudah
Ais: Apa benar, ayah sudah shalat?
Ayah: Benar. (terdengar suara ayah Ais yang tak serius, dan sedikit ada candaan)
Ais: Ais tak percaya, akhir-akhir ini Ais dengar ayah tak lagi shalat
Ais: Ini ibu, mau bicara (tiba-tiba ayah Ais mengalihkan telpon ke ibu Ais)
Ibu: Ada apa Ais? sudah shalat?
Ais: Sudah bu, Ais mau bicara sama ayah, kenapa telpon diberikan sama ibu?
tiba-tiba Ibu Ais diam, langsung mengembalikan telpon ke ayah Ais. Mungkin ibu Ais sedikit tersinggung karena merasa Ais tidak mengharapkan telpon darinya.
Ayah: Kenapa Ais?
Ais: Ais mau bicara sama ayah, Ais cuma ingin mengatakan kalau Ais sedih sekali sejak mendengar ayah tak lagi shalat. Kemana ayah yang dulu? Ais ingin ayah berubah lagi, ayah mengurusi mushala lagi, tak pernah meninggalkan shalat lagi. Sekarang sudah saatnya ayah fokus hanya untuk beribadah. Terlalu banyak nikmat Tuhan yang harus kita syukuri, yah. (Pembicaraan Ais terkesan menggurui, ia mulai cemas. Tapi, hasrat untuk bicara dengan ayahnya menggebu-gebu. Di kedalaman hati, Ais berharap ayahnya tidak tersinggung).
Ayah: Ayah juga tidak tahu, kenapa ayah akhir-akhir ini terlalu berat hati untuk shalat. Ayah tidak mau memaksakan kalau bukan dari niat hati yang tulus untuk beribadah.
Ais: Ayah, itu ujian untuk ayah, kalau ayah ikut demikian berarti ayah sudah kalah. Kalah atas godaan setan. Ayah.... ayolah, shalat lagi. Ais merengek, layaknya anak kecil. Ayolah yah....
Tiba-tiba ayah Ais tertawa. "Kenapa anak ayah seperti anak kecil ya,?"
Ais hanya kembali merengek. Ia merengek hanya ingin agar ayahnya tak marah dan tak merasa digurui.

Tak mau lama-lama berbicara lewat telpon, takut ayahnya tersinggung, akhirnya Ais mengakhiri pembicaraan.
"Ayah, sudah dulu ya, Ais mau shalat. Pokoknya mulai besok Subuh ayah shalat. Biar Ais yang bangunkan ayah," ucap Ais tegas.
"Insyaallah,"

***

Subuh sudah lewat, Ais sibuk dengan rutinitasnya pagi itu. Sehingga melupakan janji membangunkan ayahnya shalat. Ketika berkemas hendak bekerja, Ais baru ingat, segera ia raih handphone yang ia abaikan dari tadi subuh. Tingga panggilan tak terjawab, Luphly Pa.

Hari itu benar-benar hari sibuk buat Ais, sehingga untuk mengangkat telpon pun ia tak sempat. Siangnya, ayah Ais menelpon lagi. Panggilan keempat, Ais baru mengangkat telpon ayahnya.

"Assalamu'alaikum, Ais. Alhamdulillah ayah sudah shalat sejak subuh tadi, ayah cuma mau mengabarkan Ais."

Tiba-tiba jantung Ais berdegup. Berdegup atas bahagia. "Alhamdulillah, untuk seterusnya ya, yah.. tak hanya sementara waktu ini," ucap Ais haru. Tak sengaja, bulir bening membasahi sudut mata Ais. Air mata bahagia.

"Iya, insyaallah ini untuk seterusnya, ayah Ais yang dulu telah kembali lagi. Ais jangan risau lagi ya, baik-baik di sana. Terimakasih nak, sudah mengingatkan ayah, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam.." klik. Telpon ditutup.

Ais menghela nafas, nafas panjang. Bahagia tak terkira, hanya itu yang dirasakannya. Ternyata, Tuhan begitu cepat mendengarkan permintaannya. Alhamdulillah ya Rabb.

Terimakasih Mak Ida, atas telponmu, kamu begitu menyayangi kami.

Note: lanjutan dari postingan saya sebelumnya, dengan judul serupa. Telpon Mak Ida (I)

***

@rukan panggung, 04th April 2011, 17:53..with inspirasi--Edcoustic backsound...