Perempuan dan Ayam Jantan Berkawan di Subuh Tadi

--kaki merapi dari jendela belakang tingkat dua-- f/brother inlaw
Subuh di hari Minggu. Subuh yang lain. Subuh yang tak menuntut hati untuk mulai mengerayangi hari ini dengan berbagai pekerjaan. Subuh di Minggu ini begitu Subuh yang membebaskan, Subuh yang mengindahkan, Subuh yang memilukan, juga.

Hingga ke suara kokok ayam jantan pun membuat Subuh di hari Minggu begitu berbeda. Kokok-an ayam jantan di halaman rumah begitu nyaring. Tak henti-hentinya ia berkokok. Sahut-menyahut dengan ayam jantan yang berada di sisi utara, timur dan selatan, tetangga beberapa rumah.
Kukuruyuk...k, begitu nyaring, begitu panjang. Di halaman.
Kukuruyuk...k, agak nyaring, agak tersendat seperti ayam yang tertelan karet gelang. Di timur.
Kukuruyuk...k, sayup-sayup, seketika lenyap. Di utara dan selatan, bergantian.

Mereka berkokok tak mau mendahului adzan Subuh. Setelah adzan telah bersahut-sahutan dari berbagai penjuru, barulah mereka bersahut-sahutan pula. Seolah memperpanjang lidah muadzin yang sudah sedari tadi mengumandangkan seruanNya dari Meunasah.

Seorang perempuan berusaha bangun dari tidurnya yang nyenyak. Tidur yang baru saja pulas setelah ia baru tertidur dua jam yang lalu. Kebiasaannya bangun di sepertiga malam untuk berkehendak apa saja, membuat ia terjebak dalam pikiran panjang. Setelah memohon kepada Sang Khalik yang sepengetahuannya turun ke bumi untuk memperdengarkan permohonan hambaNya di sepertiga malam, mata si perempuan tak lantas terpejam. Ada-ada saja yang ia pikirkan. Mulai dari A hingga Z, andai saja masih ada alfabet setelah itu mungkin masih ada saja yang ia pikirkan. Alhasil, dua jam saja waktu perempuan tadi untuk terlelap.

Mata masih setengah terbuka, mulai menggerak-gerakkan jari-jemari, duduk di kapuk yang begitu empuk, tangannya sibuk meraih kerudung dari penggantung pakaian, pintu kamar di buka, menerabas ke kamar mandi. Berwudu'. Dinginnya air menyapu wajah dan membasahi pori-pori, begitu nikmat rasa itu bagi si perempuan tadi.

Si ayam jantan tak henti-hentinya berkokok Begitu juga rekan sejawatnya di halaman tetangga tiga rumah. Mereka tak berhenti bertugas karena belum ada juga yang bangkit dari kapuknya. Kukuruyuk.... sahut-menyahut, tak henti. Hingga sang fajar mulai muncul dari ufuk timur.

Sementara setelah si perempuan tadi selesai menghambakan dirinya di Subuh Minggu ini, ia begitu tergoda dengan kapuk yang begitu empuk. Masih terduduk di atas sajadah setianya, ia menoleh si kapuk. "Ayo, tidur kembali masih terlalu pagi, hari ini kan libur, ayo....!!" si kapuk begitu menggoda.

Perempuan tadi bangkit. Melipat mukena dan sajadah setianya. Menoleh lagi ke si kapuk, "Ah tidak, perempuan itu tidak baik tidur setelah subuh," si perempuan membalas godaan si kapuk sembari memencongkan bibirnya bermaksud meledek godaan si kapuk.

Ia raih kembali kerudungnya. Kerudung yang agak lebar dan panjang. Sengaja memilih kerudung yang demikian agar dingin yang lumayan menusuk tulang tak begitu terasa ketika kepalanya dan separuh badan diselimuti kerudung lebar. Si perempuan beranjak keluar, duduk di beranda rumah. Ada pemandangan yang tak biasa. Lima belas merpati tengah berpesta di halaman rumah, tepat di depan beranda tempat si perempuan duduk. Ia perhatikan satu per satu burung yang dikata orang paling setia itu. Semuanya didominasi bulu putih hanya saja beberapa dari mereka berparuh hitam, coklat, dan abu-abu. Merpati-merpati itu tengah berebut sisa makanan dari bungkusan nasi si penghuni rumah. Kaki-kaki mungil merah muda mereka berlarian, kadang-kadang saling menelikung untuk mendapatkan beberapa butir nasi. Kini, merpati itu tak lagi berjumlah lima belas, tujuh belas sudah. Dua kawannya baru saja tiba, mungkin mereka tertinggal atau baru saja juga mengais rejeki di halaman rumah yang lain.

Si ayam jantan masih saja berkokok dan bersahut-sahutan dengan teman sejawatnya. Masih belum ada yang bangkit dari pembaringan. Mungkin saja mereka telah lelah berkokok hingga kehausan, tapi tugas mereka belum selesai. Belum juga ada yang bangun. Belum juga ada yang menyaingi mereka dan merpati tadi untuk mengasis rejeki.

Merpati dan ayam jantan, ada juga beberapa burung pipit beterbangan di halaman. Si burung pipit memilih bertengger di arm penghubung bucket dengan controller pada alat berat yang terparkir di halaman rumah, Excavator. Si burung pipit memandangi dari ketinggian, teman sama spesies dengannya tengah berjuang untuk mendapatkan butir-butir nasi sisa makan si penghuni rumah. Dari ketinggian itu, si burung pipit juga memperhatikan si perempuan berkerudung lebar tadi. "Asyik sekali ia melamun, apa yang ia pikirkan?"

Perempuan tadi melirik satu per satu pada makhluk yang telah sibuk di subuh hari itu. Merpati, burung pipit, dan ayam jantan yang masih saja sibuk berkokok. Si perempuan mulai terganggu dengan kokokan si ayam jantan. Ia membatin, saya sudah bangun dari tadi janganlah berisik juga, biarkanlah saya merasakan indahnya pagi ini tanpa lagi mendengar lengkingan suaramu yang tak lagi merdu layaknya yang saya dengar setelah adzan subuh tadi. Memekakkan telinga, si perempuan mulai mengumpat.

Di tengah kesibukan makhluk-makhluk tadi mengais rejeki, perempuan tadi meraih telepon genggamnya. Menelpon salah seorang kawan yang pasti sudah bangun sejak subuh tadi. Ia begitu mengetahui kawannya yang satu ini selalu memulai aktivitasnya di Subuh hari, Violin namanya.  Jempolnya mengutak-atik telpon genggam yang akhir-akhir ini mulai berulah. Violin, memanggil...

"Hallo, Assalamu'alaikum," salam Violin agak parau mungkin karena masih terlalu pagi untuk menjawab telpon.
"Wa'alaikumsalam, Vio sudah shalat dan sedang apa?" perempuan tadi memberikan pertanyaan beruntun.
"Sudah, baru saja selesai. Ais sudah shalat?
"Sudah juga, kira-kira setengah jam lalu."
"Subuh lebih duluan di sana ya.." Vio menyadari jarak ia dan Ais lumayan jauh, menempuh kurang lebih 20 jam perjalanan via bus.
"Iya, hanya beda beberapa menit dari ibu kota negara," Ais menimpali.

*bla..bla..bla..bla..*

Percakapan perempuan tadi dengan kawannya itu begitu seru, sepertinya. Sehingga ia mengacuhkan kawan-kawannya yang menemaninya duduk di beranda tadi. Merpati, Ayam jantan dan si burung pipit belum juga menyudahi kesibukan mereka.

Si perempuan juga tidak mau kalah, selesai melepas selaksa rindu pada kawannya tadi, ia kembali meraih telpon genggamnya yang ditaruh di kursi kosong di sebelahnya. Kali ini ia menelpon kedua orang tua nun jauh di kampung halaman. Ibu jarinya kembali menari-nari di atas key pad telpon genggam itu. Luphly Pa, memanggil..
"Assalamu'alaikum," suara pria paruh baya dari ujung telpon.
Perempuan tadi kembali mendengar suara parau dari kejauhan. Memang, masih terlalu pagi di kampung halamannya.
"Wa'alaikumsalam.., sudah bangun pa, papa sudah shalat?" si perempuan menyuguhkan pertanyaan serupa dengan pertanyaan beruntunnya kepada Violin tadi. Kenangannya tiba di kampung halaman. Kampung yang berada di kaki gunung merapi. Apabila Subuh hari, dinginnya cuaca begitu menusuk tulang. Brr... dingin minta ampun. Hanya yang benar-benar memiliki kebulatan hati yang bisa bangun di subuh hari untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Pemberi Rejeki.
"Sudah nak, papa baru saja kembali dari mushalla. Nih, amak juga baru pulang."
Si Perempuan mulai merasakan pilunya pagi ini. Andai saja ia tak berjarak dari tanah kelahirannya itu, tentu ia juga turut meramaikan subuh yang dingin itu. Ketika suara azan dari Inyiak berkumandang, ia bergegas bangkit dari kapuk, dan menuruni anak tangga dari tingkat dua rumahnya. Berlarian menuju mushala merasakan air 'es' yang mengucur dari tedmond, penyimpan air mushala. Brr.. kali ini si perempuan tadi benar-benar merasai dingin itu.
"Apa kabar Ais, sehat-sehat sajakah?" tidak lagi suara papa, melainkan Amak.
Oh, amak yang membuat perempuan tadi semakin merasakan dinginnya pagi ini.

*Bla, bla, bla......*

Percakapan kedua orang tua dan anak perempuannya yang berada jauh di negeri orang. Entah apa yang mereka bicarakan. Hanya saja si burung pipit yang masih bertengger di ketinggian tadi sesekali melirik perempuan itu tengah tertunduk dan sesekali mengusap matanya.

Matahari mulai memperlihatkan wajahnya. Cerah. Si perempuan mulai bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan beranda. Memulai aktivitas di Minggu yang membebaskan. Kokokan ayam jantan tak terdengar lagi, entah kapan berakhirnya, si perempuan tak menyadarinya. Merpati mulai berhamburan seiring dengan langkah perempuan tadi. Mungkin mereka sudah kenyang, sudah mendapat rejeki, mengalahkan penghuni rumah yang mulai terseok-seok keluar dari kamarnya untuk mencuci muka, pun mandi. Si burung pipit juga sudah meninggalkan arm yang dari tadi ia hinggapi. Terbang menikmati Minggu pagi yang begitu membebaskan.


--mega merah di penghujung senja, masih dari jendela belakang tingkat dua--f/broher inlaw
 @rukan panggung, 17th April 2011, 7:56 AM

2 comments:

Anonim mengatakan...

Memulai pagi lebih awal membuat badan dan pikiran menjadi sehat.

Violin pun aku rasa tak mau kalah dengan ayam jantan, merpati dan burung pipit, menjemput rezeki lebih awal.

tutihandriani mengatakan...

that's right.. mari kita hidup sehat

Posting Komentar