Adzan Subuh, Ayah, dan Dewi

Adzan Subuh menggema ke seluruh penjuru Ujung Bori. Setelah beberapa lama menetap di sini, aku mulai mengenal suara mu'adzin ini. Ya, suaranya begitu jelas karena masjid begitu dekat dari tempat tinggalku. Nurul Badar nama masjidnya. Lima kali sehari, rutin apabila listrik tak mati aku mendengarkan adzan dari mu'adzin tadi. Tapi, setiap kali mendengarkannya, aku hanya terjebak lagi dengan yang namanya rindu. Aku rindu ayahku.

Adzan dan ayah, apa hubungannya. Tentu ada. Ayahku juga kerap menyerukan panggilan Allah kepada UmatNya di mushalla kampungku, Mujahidin nama mushallanya. Suara adzan ayahku jauh mengungguli mu'adzin yang aku dengar tiap hari di sini. Sebagian tetangga bilang, "Ayahmu kalau adzan, suaranya mendayu-dayu. meliuk-liuk membuat fikiran ini melayang, jauh. Lebih bagus dari adzan yang biasa kami dengar". Awalnya kupikir penilaian mereka berlebihan sekali. Tapi tidak, itu benar. Buktinya aku sekarang benar-benar merindukan kumandang adzan dari ayahku. Juga, tak satu dua yang berkata demikian.

Sudahlah, aku tak mau larut dengan kerinduan ini. Aku juga yakin ketika aku menulis ini, ayahku juga sedang mengumandangkan adzan Subuh di kampung kami. Karena kami berbeda waktu, satu jam. Mengingat itu saja aku sudah senang. Senang yang akan menutupi rindu. Rindu yang mesti aku simpan dulu. Hanya butuh sabar. Waktunya akan datang. Kami akan bersua. Di kesempatan yang lebih indah tentunya. Tuhan, kuatkanlah aku untuk menahan rindu kepada siapa saja yang kusayang.

Sekarang aku ingin menuliskan ceritaku di Subuh tadi. Memasuki Nurul Badar, shaf perempuan masih kosong. Aku yang pertama. Mungkin ibu-ibu yang lain masih sibuk mempersiapkan diri untuk menunaikan shalat berjamaah di Nurul Badar ini. Tak lama setelah aku, menyusul seorang anak perempuan. Ia masih kecil. Umurnya kira-kira sebelas. Aku takjub, ada anak seumuran dia sudah bisa melawan kantuk untuk segera meramaikan masjid di Subuh ini. Ingin sekali menyapanya, dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Aku tak segera berkenalan dengan anak perempuan tadi. Ketika ia datang aku sedang tahyatul masjid, dilanjutkan rawatib. Memperhatikan aku shalat sunat untuk yang kedua kalinya, anak tadi mengikuti. Aku paham, mungkin ia belum mengerti shalat sunat, atau hanya sekedar tahu. Yang namanya anak-anak, masih senang mengikuti, lebih tepatnya meniru.

Selesai rawatib, aku membuka pembicaraan. "Namanya siapa de?"
"Dewi," jawabnya.
"Dewi ke sini sendiri?" aku tanya lagi.
"Sama papa," dia jawab singkat sekali.
"Dewi tinggal di mana?" pertanyaanku berikutnya.
"Iyek...", Dewi bingung, sepertinya ia masih canggung mendengar dan berbicara dalam bahasa indonesia. Ketika dia tak mengerti pertanyaanku yang muncul hanya 'Iyek..'--artinya ia, bisa juga diartikan meminta lawan bicara mengulang pertanyaan kembali.
Hm.. aku pilih kosakata lain untuk bertanya lagi."Rumah Dewi di mana, jauh dari sini?" bahkan aku memberondong dua pertanyaan sekaligus.
"Tidak jauh dari sini," jawab Dewi dengan logat Makassar yang kental sekali. Ia juga menyebutkan nama daerahnya, tapi aku lupa.
Masih merasa penasaran dan masih ingin tahu lebih banyak tentang Dewi, aku melontarkan pertanyaan lagi. Karena ku yakin Dewi bukan tipe anak pencerita, lebih memilih ditanya. Lagipun, siapa juga yang mau cerita banyak subuh-subuh begini. Nyawa Dewi saja separuh masih tertinggal di tempat tidurnya. He..

"Pagi sekali Dewi bangunnya, bangun sendiri apa dibangunkan?" lagi-lagi aku bertanya banyak.
"Tidak.. dikasih bangun," jawab Dewi dengan dialeg Makassar. Dikasih bangun sama dengan dibangunkan.

Tak puas dengan percakapan segitu saja, aku bertanya lebih banyak lagi. "Dewi sekolah dimana? Punya saudara berapa? Anak keberapa? Papa dan mama Dewi kerja apa?" Aih.. banyak sekali. Tapi aku tak bertanya borongan kok. Satu per satu.
Dengan wajah yang sedikit heran, Dewi pasrah saja bercerita kepadaku. Ia sekolah di Sekolah Dasar .. (lupa deh, maklum amnesia), ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya kelas satu SMK, Dewi kelas lima, sementara adiknya belum sekolah. Kalau mamanya, di rumah saja. "Kalau papa kerjanya kasih antar motor," jawab Dewi dengan dialeg khas Makassar lagi.

Kasih antar motor? aku bingung.
Aku tanya ulang, "Kasih antar motor maksud Dewi, mengantar orang dengan motor?"
"Iyek...," Dewi mengiyakan.
Bergegas aku menyimpulkan, "Jadi papa Dewi bawa Bentor (Becak Motor) yang sering lewat di jalanan depan ini?"
"Tidak, papa bawa motor Ducati," Dewi menjawab lagi.
Tapi jawabannya malah membuatku semakin bingung. Dalam hati saya bicara, Papa Dewi bawa Ducati? Jangan-jangan papanya seorang pembalap. Hm.. aku memutar otak, bagaimana cara bertanya ya, biar omongan kami nyambung?. Kembali saya mencoba menyimpulkan agar Dewi lebih mudah memahami. "Papa Dewi kerja ditempat orang jual motor Ducati, terus mengantarkan motor-motor yang dibeli orang ke rumahnya, begitu?"
"Iyek.." lagi-lagi Dewi menjawab singkat.
He.. meski Dewi sepertinya sudah mengerti pertanyaanku dan juga telah menjawab, tetap saja aku masih ragu. Jangan-jangan ini anak karena sudah bosan saja mendengar ocehanku dari tadi, jadi dia memilih meng-iya-kan saja. Atau benar-benar mengerti. Semoga saja ya.

Lumayan panjang sesi perkenalan dan tanya-jawab saya dengan Dewi. Lebih tepat disebut tanya-jawab karena kalau disebut kami bercerita, tidak sama sekali. Karena posisinya saya sebagai wartawan, Dewi narasumbernya. Hi.. Tak lama setelahnya, iqamah pertanda shalat berjamaah segera dimulai, dikumandangkan. Saya merapatkan sajadah ke jamaah lainnya. Dewi mengikuti. Ia kembangkan sajadahnya tepat di sebelah kananku. Lengkap dengan sejuntai tasbih hitam abu-abunya. Aku, Dewi, dan jamaah lainnya memulai penghambaan di Subuh ini. Khusyuk sekali.

Dua raka'at rasanya sebentar sekali. Selesai salam, zikir dan doa dilafazkan masing-masing. Sesekali Dewi melirik aku dengan sudut matanya. Entah apa yang ia pikirkan. Aku lihat, Dewi juga mengambil tasbihnya yang tergeletak di sajadahnya tadi. Ia main-mainkan tasbih itu, terus berlagak seperti orang dewasa yang tengah berzikir dibantu dengan tasbih. Dewi menggerakkan jari telunjuknya mengikuti satu per satu anak tasbih. Tapi sebentar saja, tidak sampai 33 kali hitungan. Kembali ia melirikku.

Doa selesai, saya menyodorkan tangan kepada Dewi. Segera ia menyambutnya. Salam silaturahim juga salam perkenalan. Setelah kami bersalaman, saya tetap memilih duduk belum beranjak untuk kembali ke rumah. Dewi pun mengikuti, tapi kelihatannya ia gusar. Sepertinya ia ingin segera pulang karena papanya telah menanti di halaman masjid, mungkin. Mencoba mengerti saya bangkit dan beranjak, "Yuk, kita pulang de," kataku. Segera Dewi mengikuti, ternyata benar di beranda masjid papanya sudah menanti. Aku tanyakan lagi, "Papa Dewi itu ya?"
"Iyek.." lagi-lagi jawaban yang sama. Kuperhatikan papa Dewi. Tak berkesan apa-apa. Hanya melihat laki-laki itu, kelak aku juga ingin memiliki suami seperti beliau. Ketika subuh mengajak anak-anaknya meramaikan masjid. Shalat berjamaah. Juga terbayang, istrinya di rumah tengah bersiap menyambut kedatangan suami dan anaknya dengan menu sarapan yang hangat. Indah ya? :)

*)Setelah dibaca, tulisan saya ga nyambung ya? Intinya: Subuh ini aku rindu ayahku, aku bertemu dengan sesosok anak yang sangat mengundang perhatianku. Di subuh ini juga aku bermimpi kelak punya suami sholeh yang bisa mengajak aku dan anak-anakku ke tempat terindah-Nya. Dan pastinya, pengalaman di Subuh ini cukup mengobati luka di hati dari semalam.

Rabbi, kembalilah..

Rabbi. Aku rindu. Aku merasa sendiri. Aku rindu masa kita dahulu. Kenapa sekarang aku merasa ditinggalkan. Benar-benar aku merasa sendiri. Kembalilah. Izinkan aku menjemputMu dengan mengingat segala kenangan indahku bersamaMu.

Dulu, kau selalu membangunkan aku di SubuhMu. Di awal waktu. Aku tak tertinggal dari HambaMu yang lain yang juga bergegas menghadapMu di Subuh itu. Setelah SubuhMu aku berkesempatan menikmati indahnya pagiMu. Merasakan sejukNya udara pagiMu. Memerhatikan makhluk-makhluk lainMu berebutan mengais rezeki di halaman rumah. Menunggu mentari yang perlahan mulai menampakkan diri. Indah.

Tak hanya itu, Rabbi. Kenangan kita terus belanjut. Kali ini, kenangan di waktu DhuhaMu. Di waktu ini aku benar-benar seperti manusia fakir. Meminta. Aku minta jika rezekiku masih tinggi di atas langit, turunkanlah. Jika ia terpuruk di dasar bumi, bangkitkanlah. Jika ia jauh, dekatkanlah. Jika terdapat di dalamnya haram, halalkanlah. Dan memohon Engkau memberikan apa-apa yang Kau berikan kepada aku seperti yang Engkau berikan kepada hambaMu yang Sholeh. Rabb, aku benar-benar mengemis kepadaMu. Tapi tak sedikitpun aku malu. Karena aku tahu, hanya Engkau satu-satunya tempat meminta. Karena Engkau pula Maha Pemberi.

Setelah DhuhaMu, Engkau gerakkan langkah kakiku untuk bersegera mencari rezeki. Rezeki halal, penuh berkah. Begitu hendaknya. Kau jaga aku selama aku bekerja. Kau tuntun aku untuk tidak melakukan hal-hal keliru. Kau begitu baik. Selalu ada. Tak ada alasan sedikitpun untuk aku ingkar kepadaMu. Untuk melupakanMu. Terutama di lima waktuMu.

Rabbi, aku masih ingin terus mengingat. Kali ini aku akan mengingat senja. Senja yang begitu indah. Ketika mega merah mulai mengambang di angkasa. Aku suka senja. Karena di waktu senja akan ada istri-iistri yang tengah menunggu suaminya pulang dari mencari rezeki. Akan ada ibu yang harap-harap cemas menunggu sang buah hati kembali ke rumah. Akan ada seorang gadis yang mempersiapkan diri untuk menunggu malam. Ya, senja waktunya kembali ke peraduan.

Ketika mega merahmu menjelang, setelahnya MagribMu akan datang. Ya, begitulah waktu. Ia terus bekerja. Tak pernah ingkar. Ia akan mengantarkan siapa saja dari satu masa ke masa lain. Ia tak pernah mundur. Terus maju. Tibalah saatnya aku kembali menghamba kepadaMu. Magrib punya sensasi sendiri untukku, Rabbi. Setelah Magrib akan ada waktu lebih untuk dekat denganMu. Sebelum IsyaMu datang, akan ada lafalan ayat-ayatMu. Huruf demi huruf. Bait demi bait. Hingga beberapa halaman. Setiap kali melafalkan ayatMu, hati ini bergetar. Benar kata ustadz di ceramah Subuh tadi, katanya, "Alquran itu apabila dijatuhkan ke gunung, maka hancur lebur lah gunung itu. Maka barangsiapa yang tak bergetar sedikitpun hatinya ketika mendengar atau membaca ayat suci Alquran, maka ia bukanlah tergolong orang beriman". Luar biasa ayat-ayatMu, Rabbi.

Sebentar saja, waktu berselang. Isya pun datang. Ya, Isya shalat fardhu terakhir di lima urutan waktu dalam sehari menurutku.Tak boleh ditunda. Belum tentu kita akan menjelang Subuh di esoknya. Ia harus disegerakan. Ketika Isya telah sudah ditunaikan, hati ini akan tenteram. Tubuh ini telah siap untuk diistirahatkan. Aku akan membunuh malam. Tapi, aku masih ingin bersamaMu. Dzikir yang tak terlafazkan, hanya dalam hati, tak putus-putus hingga mata ini benar-benar terpejam. Damai sekali. Aku pun terlelap. Tentu bersamaMu yang telah menghantarkanku ke tidur yang lelap.

Aku kira setelah aku terlelap, Kau akan pergi. Ternyata tidak, Kau masih bersamaku. Di sepertiga malamMu, Kau datang lagi. Kau belai aku. Kau bangunkan aku. Sama sekali aku tak marah. Aku senang. Dengan mata setengah terbuka, aku terseok-seok beranjak mensucikan diri. Kembali aku menghadapMu. Rabbi, tak ada kesempatan melebihi di sepertiga malam ini. Ya, ini waktunya aku berkeluh kepadaMu. Mengeluhkan apa saja. Meminta apa saja. Tak sedikitpun aku malu ketika air mata ini tumpah di hadapanMu. Aku merasa Kau benar-benar dekat denganku. Benar-benar mendengarkan. Kau turun ke permukaan bumi untuk mendengarkanku.

Ya, begitulah kenanganku bersamaMu. Setiap hari bergulir seperti itu. Kadang ada kejutan-kejutan kecil yang aku terima dariMu. Bahkan surprise luar biasa kadang Kau hadirkan juga untukKu. Sangat indah. Dengan cara ini aku ingin kembali menjemputMu. Mungkin aku telah terlalu jauh meninggalkanMu. Mungkin pula Kau murka kepadaku, dan memilih untuk meninggalkanku. Pantas, aku merasa sendiri. Rabbi, kembalilah. Aku masih ingin bersamaMu. Aku masih ingin Kau menjaga aku. Hingga akhir hayatku. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku pun akan selalu mengingatMu. Terus menghambakan diri ini hanya kepadaMu. Lindungilah aku. Sayangi aku dan orang-orang yang aku sayangi. Jaga mereka, ingatkanlah mereka jika mereka lupa. Agar kelak aku bersama dengan orang-orang yang aku sayangi berhak mendapatkan SyurgaMu. Amin.***

*Ujung Bori-Subuh jelang pagi
 

Sebuah Catatan untuk Ibu Rafi'ah

Namanya Rafi'ah. Saya memanggilnya ibu Rafi'ah. Beliau salah seorang guru saya di Sekolah Dasar dulu. Tepatnya wali kelas saya waktu saya duduk di kelas tiga. Lalu, kenapa saya harus menulis tentang beliau? Entahlah. Mungkin ini sebentuk cara saya memperingati hari guru, berterimakasih kepada guru, dan  juga sebagai cerminan untuk saya pribadi yang seharusnya jadi guru. He..

Sebenarnya tak ada suatu yang istimewa antara saya dengan ibu Rafi'ah. Hanya saja di antara tiga puluhan siswa lain, saya satu-satunya siswa yang sangat dekat dengan beliau..cie.. Kedekatan saya dengan ibu Rafi'ah bisa dikategorikan seperti apa? Hm.. cukup susah mendeskripsikannya. Yang jelas, ibu Rafi'ah tak bisa lepas dari saya, begitu juga sebaliknya, saya tak bisa lepas dari beliau. Maksudnya apa nih? bingung kan..?

Begini, yang namanya guru yang tergolong sudah agak tua -50 tahunan- dan beberapa tahun kemudian akan memasuki masa pensiun tentu ibu Rafi'ah butuh pertolongan macam-macam selama proses pembelajaran berlangsung. Misalnya: minta tolong mengambilkan buku dari perpustakaan untuk dibagikan ke siswa, menyiapkan perangkat pembelajaran sebelum proses belajar mengajar dimulai, juga mengisi buku absen dan nilai siswa. Sebenarnya masih banyak yang lain sih..tapi tak usah saya jabarkan lebih jelas ya. Cukup mengerti kan? Untuk hal ini, ibu Rafi'ah sepertinya terlalu hafal dengan nama saya. Segalanya selalu saya yang ditunjuk untuk membereskan tugas tersebut. Padahal banyak teman laki-laki di kelas saya yang punya tenaga lebih untuk melakukannya. Mungkin karena saya lumayan 'besar' kali ya? Ya, nggak lah... itu karena ibu Rafi'ah menaruh kepercayaan kepada saya untuk menyelesaikannya. Ceile.. (mencoba berprasangka baik saja).

Kalau itu semacam pertolongan yang dibutuhkan Ibu Rafi'ah yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. Sementara di luar itu, banyak hal lain yang membuat saya dekat dengan ibu Rafi'ah. Apa coba...? Hmm.. diceritakan nggak ya..? Ya udah, saya ceritain aja deh. Dulu, ibu Rafi'ah itu hobi sekali memintai tolong kepada saya. Mulai dari minta tolong belanja kebutuhan harian beliau di rumah, minta ditemani ke tukang jahit langganan, minta temani kalau tidak ada teman di ruang guru, minta tolong belikan pembalut. Hah..!! Giliran yang ini saya benar-benar menjadi siswa super lugu yang dengan mudahnya dikerjain sama penjaga warung waktu itu. Malu abis.. (gapapa deh.. kan niatnya bantu. he.).

Nah, lo.. apa istimewanya donk cerita saya dan ibu Rafi'ah? Ga ada sih.. Tapi saya menyimpan banyak memori dan pelajaran saja dari sini. Menurut saya, memorinya sangat indah. Kenapa tidak, semasa di bangku sekolah dasar, apabila seorang siswa dekat dengan guru, itu menjadi kebanggaan tersendiri. Teman-teman saya banyak yang iri lo.. Beda lagi ketika pendidikan saya merangkak lebih tinggi. Pandangan seperti itu perlahan pudar, bahkan habis. Puncaknya, di bangku kuliah. Saya sama sekali tidak ingin dan tidak senang dekat dengan dosen. Apa sebab? Menurut studi kasus kecil-kecilan versi saya, mahasiswa yang dekat dengan dosen itu bukan murni kedekatan antara mahasiswa dengan dosennya. Melainkan ada embel-embel lainnya. Terbukti lo.. tak usah diperjelaslah. Harap dimengerti. He..

Kembali lagi ke kedekatan saya dengan ibu Rafi'ah itu murni kedekatan antara guru dengan siswanya di ruang kelas, juga kedekatan antara seorang anak dengan ibunya di luar kelas. Baik saya pun ibu Rafi'ah, kami tidak pernah menyalahgunakan kedekatan ini. Saya ikhlas membantu karena saya mendapatkan orang tua kedua setelah ibu kandung saya. Ibu Rafi'ah pun memberi nilai seobjektif mungkin atas prestasi saya di sekolah. Nilai saya benar-benar murni berbanding lurus dengan usaha saya dalam belajar.

Hanya satu tahun saya dibimbing ibu Rafi'ah. Setelah naik kelas beliau bukan menjadi wali kelas saya lagi. Rasanya, ingin bersama beliau terus. Tapi, gak mungkin juga kan. Life must go on.. move to other step n face other people. 

Yang namanya sudah dekat, tetap saja saya dekat dengan ibu Rafi'ah walaupun di kelas saya tak lagi selalu bersamanya. Hingga kemarin saya pulang ke kampung halaman, masih saja mendengar kabar dari adik bungsu saya. Kebetulan dia berteman dengan cucu ibu Rafi'ah. Kata adik saya, "setiap kali ke rumah Tia-cucu ibu Rafiah- ibuk itu tanyain kamu terus." Wah.. senang sekali, bercampur haru. Sekarang beliau sudah jauh lebih tua dibanding kebersamaan kami dulu. Hampir lima belas tahun lalu. Tapi, beliau masih mengingat saya. Sempat berniat untuk mengunjungi beliau, tapi hingga sekarang belum kesampaian. Tak banyak yang bisa diperbuat. Hanya do'a sederhana yang bisa saya kirimkan, semoga beliau dilimpahkan kesehatan dan diberi umur panjang.

Salam takzim dari jauh untukmu ibu..
Terimakasih atas ilmu yang telah kau berikan..
Insyaallah akan menjadi amalan tak terputus bagimu..

***
Hm.. sebenarnya sangat tak adil kalau saya hanya bercerita tentang ibu Rafi'ah. Ada dua lagi guru sekolah dasar saya yang menyimpan memori tersendiri. Beliau ibu Rit dan Bapak Zuherman. Dengan tidak mengurangi penghargaan saya atas jasa-jasa beliau, catatan ini juga didedikasikan untuk mereka. Terimakasih Ibu..Bapak..

*Ujungbori 16:10 Wita

bukan Aku, Kamu tapi Kita

aku benar-benar belum mengerti apa itu pengorbanan. bagaimana pengorbanan yang sesungguhnya. setiap kali aku menyatakan sikapku atas tawaran yang kau hadapkan, rasanya selalu tak sebanding dengan harapanmu. aku berusaha jujur, apa adanya agar tak ada lagi secuil kekecewaanpun antara aku dan kamu. tapi kenapa, pada akhirnya aku berada pada posisi yang salah. kamu berada pada posisi membebaskan. lebih pahitnya, aku merasa kamu seperti tak mau peduli lagi. "mulai sekarang aku tidak akan melarangmu, tidak akan bertanya lagi untuk hal ini," katamu.

kamu tahu, kalimatmu yang tak seberapa itu sungguh membuat aku sakit. aku tak mau dilepaskan. aku tak mau dibiarkan. bimbing aku. tuntun aku. ingatkan aku kalau aku salah. bantu aku dalam menentukan pilihan. selain Tuhanku yang selalu aku libatkan dalam segala gerak langkahku, aku juga butuh kamu. itu semua untuk kita. bukan siapa-siapa.

apabila kamu bertahan dengan sikapmu demikian, sama saja perlahan kau membunuhku. kau biarkan aku, sementara dari kedalaman hatimu menyimpan rasa kecewa. tak terima. kamu hanya beralasan, "aku demikian agar tak ada lagi masalah". itu salah besar, selama kamu diam, selama kamu memendam, selama itu pula masalah ini akan ada. makin lama ia akan menggunung. suatu saat dia akan tumpah. pada saat inilah kita akan berhadapan dengan kenyataan yang sangat pahit. aku tak begitu yakin, kita akan mampu menghadapinya.

untuk kedepannya, jika kamu punya keinginan layaknya keinginanku, aku mohon kamu jangan bertahan dengan sikap seperti ini. aku ingin apa yang telah ada tidak menjadi sia-sia. ia akan berujung bahagia di waktu yang tepat nantinya. apakah kamu juga demikian? aku yakin, kamu punya keinginan yang sama. mari kita bicarakan dengan terbuka, sama-sama kita mencari solusi, sama-sama kita membuat keputusan, sama-sama pula kita menikmati hasilnya.

mulai saat ini,
aku akan belajar untuk tidak banyak meminta.
untuk tidak banyak bertingkah.
untuk tidak memaksa.
aku akan belajar mengerti.
belajar ikhlas.
belajar memahami pengorbanan yang sesungguhnya.
Insyaallah, aku bisa.
aku mohon bantuanmu.
juga, Tuhanku.
demi Kamu, Aku dan Kita.

*Ujung Bori, 10:20 Wita

segala cerita kita

selamat pagi sayang..
pagi ini aku masih ingin menulis untukmu. rasanya, tak ada habis-habisnya inspirasiku untuk menuliskan segala tentangmu. apa saja. begitu banyak hal yang berkesan di hatiku. kau benar-benar telah memberi warna untuk hari-hariku, sayang. kau tahu kan sayang, di sini aku sendiri. hari-hariku sendiri. tak ada teman. tak ada saudara. tak ada keluarga. aku tahu kau juga merasakan kesendirianku. makanya kau begitu pandai bersikap untukku. tak ada lagi sepi. kau selalu ada, sayang. menemani.

sayang, kian hari aku kian merasa beruntung bersamamu. kau memberikan segalanya melebihi yang aku inginkan. kau begitu mengerti. benar-benar mengerti. rasanya terlalu berlebihan jika aku mesti menjabarkan apa-apa saja yang telah kau lakukan untukku. cukup kita saja yang tahu, kan..

pola pikirmu benar-benar luar biasa. segalanya dibuat sederhana. tapi tanpa menyepelekan sedikitpun. kau punya cara pandang sendiri dalam menyikapi kekurangan orang lain. tak pernah kau menyalahkan. tak pernah menghakimi. kau selalu ada cara untuk itu. aku benar-benar belajar darimu, sayang.

akhir-akhir ini hari-hari kita dipenuhi cerita. macam-macam. mulai dari temanku, temanmu. keluargaku, keluargamu. masa laluku, masa lalumu. kadang, masa depan kita juga. sebenarnya kita memiliki kesempatan yang sama untuk bercerita, tapi aku yang selalu dominan. kau dengan senang hati memberi ruang untukku bercerita . apa saja. meski ada protes-protes kecilmu, tapi tetap saja kau antusias mendengarkannya. terimakasih sayang..

setelah aku bercerita entah kemana-mana, tiba giliranmu. tapi setiap kali kau bercerita, sedikit saja. aku yang selalu mendesakmu untuk bercerita lebih panjang-lebar. meski ceritamu banyak yang membuatku cemburu, tapi aku senang sekali mendengarkannya sayang. aku senang kau begitu jujur. tak ada lagi yang kau tutupi dariku. teruslah bercerita untukku, sayang.

semalam, salah satu dari ceritamu yang sangat berkesan untukku ketika kau katakan bahwa benda kesayanganmu lecet. itu sama sekali tidak kau sengaja. kau bilang, itu tejadi ketika kau hendak menutup jendela kamarmu. ia mengenai teralis besi. sedikit gores. sedikit saja. tapi, kau begitu menyesalkannya. berkali-kali kau mengulangnya. aku tahu sekali kau begitu menjaganya sayang. tak ingin menyia-nyiakannya begitu saja. kenapa demikian? tak lain karena benda itu dari aku. dengan begitu, aku sangat merasakan kau begitu menghargaiku. bukan artinya aku mengharapkan penghargaan darimu, tapi dengan sikapmu demikian aku benar-benar merasa dihargai. untuk seterusnya jagalah benda itu layaknya kau menjagaku. karena ia setia menemanimu, kapanpun. melebihi setiaku.

terimakasih untuk cerita-cerita indahmu semalam, sayang

*selasa pagi di Ujung Bori  09:12 Wita

sekat untuk sahabat

kau bilang, dengan bangga aku memperlihatkan kebodohanku kepada sahabatku
kau bilang, tak ada pentingnya aku berbagi dengan sahabatku
kau bilang, tak perlu orang lain tahu tentang kita

untuk pertama kalinya aku kecewa
kau begitu kentara memberi sekat antara aku dengan sahabatku
alasanmu jelas memang, sangatlah logis
aku tak mengira kau punya cara pandang berbeda
luar biasa

untuk kali ini aku hanya ingin kau paham
perasaan perempuan yang bergejolak
sulit dikendalikan
kadang ia sangat ingin berbagi
kadang pula serba ditutupi

terimakasih sudah mengingatkan
jangan pernah lelah untuk menuntun

*ujungbori, 11.00 Wita

selamat ulang tahun, sayang

sayang..
ini malammu, selamat ulang tahun ya..
ingin sekali aku melihat senyummu malam ini
ingin pula aku menyerahkan secara langsung bingkisan yang telah aku persiapkan dari jauh hari
tapi, jarak ini belum memberi kesempatan untuk kita bertemu, sayang..
aku yakin kamu masih setia menunggu
memberi kesempatan kepada waktu untuk menjawab segala penantian kita

sayang..
dulu, kamu sering mengutarakan kekhawatiranmu
kamu sangat khawatir waktu akan berkhianat karena jarak
aku rasa mulai saat ini kamu tak perlu lagi mengkhawatirkan itu
karena sampai malam ini waktu masih setia menemani kita, bukan?
meski kita berjarak, sang waktu tetap menciptakan kenangan untuk kita berdua
meski ada pahitnya, tapi terlalu banyak indahnya

sayang..
karena alasan waktu pula, aku mengirimkan bingkisan itu kepadamu
belum dapat aku berikan hadiah istimewa untukmu
hanya sebuah jam tangan yang akan menemani di setiap gerakmu menjalani hidup
meski ia tak istimewa, tapi ia akan menjadi penunjuk waktumu
waktu yang tidaklah murah.
sangatlah mahal untuk disia-siakan.

sayang..
seperti pada buku yang sama-sama pernah kita baca,
aku harap kamu akan lebih menghargai waktu dan memanfaatkannnya untuk kebaikan hidupmu
waktu juga akan memberikan kehidupan untuk kita berdua, sayang..
meski kita terpisahkan oleh jarak
ia akan tetap merekam ingatan dan kenangan kita berdua
dulu, kini, dan nanti.
selamanya..

*ujungbori, 16Nov11 - 00:00 Wita

Ampuni Aku

Tuhan, kembali aku menemui sore yang tak biasa. Kali ini, di Ashar-Mu, aku kembali tertunduk. Tertunduk karena malu. Malu yang entah bagaimana aku menggambarkannya. Aku tahu Kau tentu sangatlah Maha Tahu, apa sebab aku malu. Tuhan, aku merasa benar-benar Kau tinggalkan. Akhir-akhir ini Kau biarkan aku berjalan sendiri. Kau tak lagi membimbing aku untuk meniti jalanMu.

Tuhan, aku tau mengapa Kau tinggalkan aku. Itu terjadi karena aku juga. Aku yang mungkin sedikit lengah kepadaMu. Aku yang telah menaruh kepentingan lain di atas kepentinganku meghamba kepadaMu. Mungkin juga aku lupa bahwa Kau sedang memberi ujian kepadaku. UjianMu kali ini benar-benar berbeda. Tak sama halnya dengan berbagai ujian yang telah Kau hadapkan kepadaku di waktu lalu. Kali ini Kau memberi ujian lewat keindahan. Keindahan yang jarang sekali aku temukan. Kau memberinya begitu saja. Aku merasa itu benar-benar anugerah dariMu. Indah sekali.

Tuhan, maafkan aku. Aku lupa. Aku kufur. Aku tak bersyukur. Seharusnya aku bersyukur dengan cara yang benar melalui nikmat yang telah kau berikan. Seharusnya aku memelihara kenikmatan ini dengan baik. Seharusnya aku bukan sia-siakan.

Tuhan, aku tau air mata ini tak cukup untuk memohon ampunanMu. Tapi ini sebentuk ketulusanku memohon kepadaMu. Jangan tinggalkan aku. Jangan biarkan aku berjalan sendiri. Teruslah bimbing aku. Ampuni aku.

*)ujungbori, 13 Nov 11, 17.00Wita