Shalat Ya, Korupsi Ya!

Beberapa waktu lalu, Penulis mewakili SKK Ganto dalam kegiatan yang diselenggarakan sebuah Lembaga Pers Mahasiswa salah satu universitas di luar Sumatera Barat. Kembali dari perjalanan tentu Laporan Pertanggungjawaban harus diserahkan. Tapi, salah satu bukti_tiket bus yang harus dilampirkan hilang.

Untuk itu, penulis mendatangi loket tempat pembelian tiket tersebut. Dengan santai petugas loket mengatakan, “Bayar saja administrasinya, terserah adek mau menulis kapan berangkatnya dan berapa jumlah ongkosnya.” Dari pernyataan petugas tadi, penulis pun bertanya, “Kenapa seperti itu Pak? Bukannya seharusnya Bapak yang menuliskan?” Si Petugas langsung menjawab, “Itu biasa dek, sudah terlalu sering orang-orang yang melakukan perjalanan, meminta tiket kosong di sini, agar mereka bisa membubuhkan berapa ongkos mereka nantinya, bahkan aparat sekalipun,” tambahnya.

Itulah sekelumit pengalaman penulis. Korupsi itu adalah hal yang biasa dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Masyarakat lelah mengikuti kejadian politik yang terjadi di negara ini dan telah bosan bertanya kenapa dan akhirnya menjadi masa bodoh. Betapa tidak, ketika para pemimpin sibuk memperkaya diri dengan fasilitas negara dan berebut kantor dengan segala kemudahannya, melakukan korupsi terhadap harta negara dan rakyat dengan nilai yang tidak terbayangkan apabila dihitung mulai dari angka satu sampai ke angka uang yang telah dikorupsinya. Begitu juga ketika peristiwa suap-menyuap antara aparat dan masyarakat di depan umum adalah hal biasa.

Di negara kita yang mayoritas Islam ini patut kita memperhatikan bahwa dalam Islam kita diajarkan untuk mendapatkan sesuatu yang halal. Allah berfirman yang artinya: ”Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (Qs. al-Baqarah:188). Allah juga berfirman: ”Siapa saja yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. Kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang telah dilakukannya dan mereka tidak diperlakukan secara dzalim.” (Qs. Ali Imran: 161). Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: ”Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil selain dari (upah/gaji) itu adalah ghulul (kecurangan).” (HR. Abu Dawud).

Shalat Ya, Korupsi Ya!

Shalat dan korupsi. Sekilas keduanya tidak berhubungan sama sekali. Shalat adalah sebuah rutinitas ibadah bagi umat islam. Korupsi merupakan tindakan tercela. Namun, ada kesamaan diantara keduanya; dapat dilaksanakan secara berjamaah. Apabila shalat berjamaah pahalanya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri, apakah korupsi yang dilakukan secara berjamaah, dikerjakan bersama-sama, melibatkan banyak orang dengan kerugian negara yang banyak, juga dapat dikenai hal yang demikian; dosa yang berlipat-lipat?

Jika diperhatikan lebih jauh, setiap manusia sebenarnya memiliki sifat serakah, hanya ada yang berkembang dalam dirinya, dan ada terkalahkan oleh keimanannya. Kalau dibawa ke zaman sekarang, memang banyaknya orang yang korupsi menandakan keserakahan mengalahkan keimanan mereka, banyak dari mereka yang Islam, shalat juga, sudah haji pula, tapi kenapa bisa korupsi? Bukan kesalahan shalat dan hajinya, tapi bagaimana ibadah yang mereka lakukan tidak memberi manfaat pada mereka, karena mereka melakukannya juga tidak khusyu, tidak mencari pahala Allah, mengharap terhindar dari neraka Allah, mereka berhaji hanya untuk dipanggil pak haji, bu haji. Mereka shalat hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim. Tanpa merefleksikan ke dalam perilaku mereka sehari-hari. Akhirnya itulah yang terjadi, ibadah terus, tapi mencuri, merampok, korupsi, ya jalan terus.

Dulu, pada tahun 2002 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta mengadakan penelitian tentang Islam dan demokrasi. Penelitian ini dilakukan di 16 propinsi seluruh Indonesia dan mewawancarai langsung 2000 responden. Banyak temuan yang menarik dalam penelitian ini. Salah satunya adalah bahwa umat Islam di Indonesia semakin tinggi tingkat kesalehannya. Misalnya, adanya kecenderungan makin dominannya kelas santri.

Kecenderungan ini terlihat dari makin merebaknya kesalehan dalam masyarakat. Sayangnya, tingginya kesalehan ini dibarengi dengan semakin tinggi pula tingkat kecurigaan dan tidak tolerannya terhadap kelompok di luar Islam. Majalah Tempo yang memuat laporan penelitian itu merumuskan temuan itu dalam kalimat pendek yang cukup baik, “More Pious, Less Tolerant”. Artinya: kian saleh, kian enggan menoleh. Maksudnya “menoleh” kepada golongan-golongan yang berbeda agama.

Jika kita lihat sampai sekarang, fenomena ini masih juga terjadi. Kalau manusia kurang hati-hati tergelincirlah mereka. Mereka berfikir sanggup memerdekakan dirinya sendiri, mereka akan sanggup berjuang dengan setan dengan hawa. Padahal dengan tidak disadarinya mereka telah terpengaruh oleh setan, dan hawa nafsu. Bahkan kadang-kadang dirinya sendiri telah jadi setan dengan tidak disadarinya karena yang diikutinya bukan perintah Tuhan yang tidak setuju dengan kehendak nafsunya, maka diputarnya, didalihnya, dibajui dengan baju agama.

Kadang-kadang orang yang lancar lidahnya untuk berpidato, tidak gugup untuk naik podium sanggup memegang pimpinan kumpulan dan orang banyak, padahal mereka menurutkan hawa nafsu. Apa saja tipuan yang dilakukannya kepada orang banyak, diberinya cap “atas nama agama”, “demikian firman Allah”, demikian “titah Rasul” tidak boleh dilanggar, siapa melanggar berdosa. Padahal ayat dan hadits itu hanya mereka ambil sebagai penguat hawa mereka. Bukan hawa mereka yang mereka taklukkan kepada Al Quran dan Hadits.

Sesungguhnya shalat merupakan sarana pengendali terbaik untuk mencegah perbuatan menyimpang apabila seseorang melaksanakan dengan benar. Orang yang menegakkan shalat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal. Begitu pula sebaliknya, semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya. Sebagaimana Firman Allah, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).

Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada kesesatan.Firman Allah, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).

Dari ayat di atas dapat kita maknai bahwa orang yang melakukan korupsi adalah mereka yang memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu akan memiliki harta yang banyak. Tanpa memperhatikan dari mana harta tersebut diperoleh. Bisa dikatakan mereka adalah orang yang gila akan uang atau harta. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Qs. Al Adiyat:8 ”Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat ini ialah manusia itu sangat kuat cintanya kepada harta shingga ia menjadi bakhil.

Maka di sini manusia dituntut untuk memerangi hawa nafsu mereka ketika mereka telah dihadapkan kepada kekuasaan dan jabatan. Karena ini nantinya akan mempengaruhi tindakan mereka selama berkuasa.

Memerangi Hawa Nafsu

Untuk mencegah korupsi ini, manusia dituntut bisa memerangi hawa nafsunya. Di dalam perjuangan melawan hawa nafsu, Hamka di dalam bukunya ‘Tasauf Modern’, membagi manusia menjadi 3 bagian; Yang kalah dirinya oleh hawa sampai ditahan dan diperbudak oleh hawa itu sendiri djadikannya Tuhan, perperangan antara keduanya berganti-ganti, kalang dan menang jatuh dan tegak, dan orang yang dapat mengalahkan hawanya.

Manusia golongan ketiga inilah yang mampu mengalahkan hawa nafsunya sehingga mereka yang memerintah hawa bukan hawa yang memerintah mereka. Tidak bisa hawa mengutak-atikkannya, mereka yang jadi raja, penguasa, dan mereka yang merdeka_tidak terpangaruh dan tidak diperbudak hawa. Rasulullah S.A.W bersabda: “Tidak seorang pun di antara kita yang tidak bersetan, saya sendiri pun ada juga bersetan tetapi sesungguhnya Allah telah menolong saya menghadapi setean saya itu sehingga dia saya kalahkan.” (HR. Ibnu Jauzi dan Ibnu Abdurrahman As-Sulami).

Jika manusia tidak hati-hati dalam memerangi hawa nafsunya, maka akan membawa mereka ke jalan yang sesat. Oleh karena itu, sebelum bertindak perlulah kita mengawasi atau memikirkan apakah yang akan kita lakukan merupakan perintah hawa atau perintah akal. Biasanya akal mempertahankan sesuatu yang pahit tetapi manis akibatnya, sedangkan nafsu mempertahankan sesuatu yang manis tapi pahit bekasnya. Itulah sebabnya, Rasulullah bersabda: “Diramaikan syurga dengan barang yang berat mengerjakan dan diramaikan neraka dengan syahwa.,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila segala sesuatu yang kita lakukan berdasarkan perintah akal, mudah-mudahan segala tindakan kecurangan tidak akan dilakukan. Ketika kita dihadapkan kepada sesuatu yang meragukan, menggiurkan, tertarik kepada sesuatu keinginan yang besar, maka lekaslah pertimbangkan. Ketika hawa membawa kita jauh berangan-angan, maka akal akan dibawa untuk mempertimbangkan. Tetap teguh kepada pedoman kita sebagaimana manusia dalam hidup. Yakni, Al Quran dan Hadits.***


*)masih klipingan opini, ditulis 2008 lalu

0 comments:

Posting Komentar