Sedikit Catatan untuk Film "?"

Saya cukup menantikan film Hanung yang satu ini. Tertarik dengan tema yang diusung dari film ke-14 yang telah digarap sang sutradara. Kali ini Hanung hadir dengan mengusung tema toleransi beragama. Dalam salah satu surat kabar yang saya baca, Hanung mengatakan, "Saya sebagai orang islam jadi risih karena ada stigma bahwa agama islam itu agama yang berbahaya, tidak toleran dan teroris. Itu sebenarnya yang mau saya luruskan."

Berangkat dari inilah Hanung menghadirkan film yang berjudul "?" (baca: tanda tanya). Judul yang hanya membubuhkan satu tanda baca--tanda tanya-- cukup membuat saya bertanya-tanya, apa maksud Hanung memilih judul demikian? Di bawah judul "?", Hanung juga memberikan sebuah kalimat "Masih Pentingkah Kita Berbeda?" yang menjadi tagline dari film yang menghabiskan budget 5 milyar ini.

Kesempatan untuk menontonpun ada, hari Minggu (10/4) saya, kakak dan teman sama bekerja memanfaatkan waktu libur untuk menonton film yang baru rilis Sabtu kemarin di kota ini. "?" hanya ditayangkan di 21 (twenty one) Palembang Indah Mall (PIM), salah satu dari dua 21 di kota Palembang, 21 satu lagi bertempat di International Plasa (IP)--mall pertama di kota Pempek. Setiba di PIM kami langsung menuju 21 untuk beli tiket. Lumayan ramai, tapi tak terlalu. Entah film ini tak begitu menarik bagi penikmat film, entah karena saya sudah terlambat untuk menonton. Entahlah...

G16, nomor kursi saya. Tak lama setelah memasuki cinema 2, kira-kira 10 menit "?" dimulai.


Scene pertama dibuka dengan potret sebuah kota yang multikultural, berlokasi di Semarang dengan settingan Semarang 2010. Terpampang gapura bertuliskan 'Kota Baru'--nama kota itu. Gambar masjid, gereja dan wihara menunjukkan aktivitas masing-masing di lingkungan rumah ibadah yang berbeda. Ketika melihat scene di awal ini, langsung tertangkap bahwa tema yang akan diusung Hanung adalah toleransi beragama dan kehidupan sosial di antara masing-masing pemeluk agama tersebut.


Dikisahkan ada 3 keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Keluarga Tan Kat Sun (Henky Solaiman) memiliki sebuah restoran masakan Cina yang tidak halal. Namun sang pemilik terkenal sangat toleran dengan para pekerjanya yang kebanyakan dari kalangan muslim. Bahkan ia memisahkan seluruh alat masaknya untuk masakan yang halal dan tidak halal. "Yang pake ikat merah babi dan tidak pake ikat merah bukan babi," salah satu percakapan Tan dengan Ping Hen ketika mengajarkan anaknya mengelola restorannya.

Di keluarga lain, Soleh (Reza Rahardian) memiliki istri yang cantik dan taat beragama bernama Menuk (Revalina S. Temat) yang bekerja di restoran milik Tan Kat Sun. Canton Chinese Food nama restoran itu. Soleh adalah seorang suami dan bapak tanpa pekerjaan yang sedang berusaha keras agar menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab. Di ujung keputusasaannya, akhirnya Soleh bekerja sebagai Anggota Banser Ansori, salah satu Ormas Islam.

Sedangkan Rika (Endhita) seorang janda beranak satu yang harus dikucilkan keluarganya karena berpindah agama. Anak Rika bernama Abi (Baim), rajin mengaji. Sesuatu yang agak janggal memang ketika kita diperlihatkan dalam sebuah keluarga ibu mengantarkan anaknya mengaji, sementara anak mengaji ibunya ke gereja untuk beribadah juga. Dalam film ini diceritakan juga Rika menjalin hubungan dengan Surya (Agus Kuncoro) seorang pemuda tanpa pekerjaan tetap. Surya seorang muslim dan kerap kali ikut mengambil peran dalam drama perayaan paskah di gereja tempat Rika.

Hubungan antar keluarga ini dalam kaitannnya dengan masalah perbedaan pandangan status, agama dan suku. Semuanya dipaparkan menarik dalam film berdurasi 100 menit ini. Penyanyi, Glenn Fredly juga turut meramaikan film bikinan suami Zascia Adya Mecca ini. Glen sebagai Doni berperan sebagai teman sesama jemaat di gereja tempat biasa Rika beribadah. Doni menaruh hati pada Rika, tapi di lain pihak Rika lebih memilih Surya sebagai pasangannya meski mereka berbeda keyakinan.

Konflik mengenai percintaan tak hanya pada Doni, Surya dan Rika. Menuk dulunya ternyata juga memiliki kisah dengan Ping Hen (Rio Dewanto) anak dari Tan si pemilik restoran. Perbedaan keyakinan membuat mereka tak menyatu. Rasa tak berbalas membuat Ping Hen menaruh dendam pada Soleh dan Hen juga tak menyukai Menuk bekerja di restoran ayahnya. Semata karena cemburu. Soleh juga menaruh dendam serupa kepada Ping Hen. Konflik memuncak ketika Hen mengambil alih restoran ayahnya yang sudah sakit-sakitan sejak lama. Jika biasanya Tan memberi jatah libur kepada karyawan muslimnya libur selama seminggu di waktu lebaran, tak demikian halnya Hen. Di hari kedua pada hari raya, Hen memutuskan untuk tetap membuka restorannya. Hal ini memicu Soleh dan rekannya di Banser Ansori mengamuk. Restoran Hen diserbu dan diamuk masa Ansori. Amarah Soleh pun tak terbendung yang akhirnya menerjang Tan.

Tak lama setelah penyerbuan Restoran, Tan meninggal. Diikuti juga dengan meninggalnya Soleh saat bertugas mengamankan perayaan Paskah di gereja. Soleh menyelamatkan jemaat dari serangan bom yang akhirnya merenggut nyawanya.

Ada satu adegan yang saya rasa terlalu dipaksakan. Hanung memunculkan Zaskia beserta anaknya (Sybil) pada adegan Surya bertamu kerumah ustad yang diperankan oleh David Chalik. Zaskia dalam cerita sebagai istri ustad, tak ada percakapan hanya selintas kemunculan Zaskia dan anaknya, beberapa detik saja. Menurut saya Hanung ingin pula mengeksiskan istri dan anaknya pada filmnya. (he...)

Di akhir cerita Hen mencoba kembali sadar dan membuat perubahan besar dalam hidupnya. Yakni, memeluk keyakinan baru. Restoran Canton Chinese Food pun menjelma menjadi Barokah Chinese Food. Sedangkan 'Kota Baru' pada gapura kota berganti nama menjadi 'Kota Soleh'.

Semuanya tersaji sederhana. Perbedaan begitu mengindahkan bukan mengacaukan. Film yang berangkat dari kisah-kisah nyata ini cukup mampu memunculkan decak kagum dari penonton. Tak sengaja saya mendengar tanggapan dari beberapa penonton di pintu Exit. Mereka berada di belakang saya, "Keren, keren, keren filmnya," kurang lebih begitu saya mendengar komentar mereka.

Terlepas dari pujian itu, karya Hanung banyak pula menuai pro dan kontra. Hal yang wajar karena tema yang diusung sangat sensitif. Tak ada yang mesti dipermasalahkan baik yang pro maupun kontra. Keduanya punya alasan yang kuat. Tapi, menurut saya Hanung mesti berhati-hati lagi ketika masih ingin terus membuat karya dengan tema serupa. Kritikan datang kepadanya bukan hanya kali ini saja, di beberapa film sebelumnya (Perempuan Berkalung Sorban dan Sang Pencerah) Hanung telah menghadapi permasalahan yang sama.

Agaknya Hanung terjebak dalam tema yang ia usung. Ketika awalnya Hanung ingin menonjolkan kehidupan sosial dan toleransi beragama serta sisi humanisnya, malahan akhirnya Hanung terjebak pada ide pluralisme. Ide yang selama ini banyak ditentang banyak orang. Adegan penusukan pastur, kekerasan oleh banser Ansori (Soleh, khususnya), dan bom pada gereja bukannya meluruskan stigma masyarakat terhadap islam yang berbahaya, melainkan hal yang berbalik ditangkap oleh sebagian orang. Lebih lengkapnya silahkan baca beberapa protes terhadap film "?" pada link ini. Juga ini dan ini.

Dengan banyaknya kritikan yang diterima Hanung, semoga lebih banyak lagi film-film berkualitas lahir dari tangan pria keturunan Jawa-Cina ini. Sementara untuk penikmat film, ambil saja baiknya dan terus mempertembal iman agar bisa memilah baik pun buruk dari film yang disuguhkan.

Have a nice watch.. :))

nunggu cinema 2 'open'
jelang 17.15


@rukan panggung, 11th April 2011, jelang Maghrib

2 comments:

Anonim mengatakan...

bedahfilm.com

tutihandriani mengatakan...

sedikit sj buk... :)

Posting Komentar