Telpon Mak Ida (II)

Hampir seminggu sudah Ais menerima telpon dari Mak Ida. Selama itu pula pikiran Ais tak tenang. Ais mulai memikirkan, apa yang harus ia lakukan. Andai saja, keberadaan Ais dengan ayahnya tak jauh seperti sekarang, tentu Ais akan mengajak ayahnya berbicara. Berbicara dari hati ke hati. Mengajak ayahnya untuk kembali membuka hati. Meski belum tentu ada penerimaan yang baik dari ayah Ais. Tapi, sedikitnya ada usaha nyata yang bisa dilakukan ais.

Tak lama larut dalam pikirannya, Ais mencari nama ayahnya pada phonebook. Luphly Pa. Ais hendak menelpon ayahnya. Tapi, ada keraguan di hati Ais. Ragu untuk menelpon. Ais begitu takut kalau-kalau ayahnya akan marah. Seperti dalam waktu sebelumnya, ayah Ais adalah sesosok yang agak temperamental. Mempunyai emosi yang tak stabil. Meledak-ledak. Gampang sekali tersinggung. Dan perkataan orang adalah salah satu musabab yang seringkali membuat ayah Ais tersinggung.

Ais kembali berpikir, "Bagaimana kalau nanti saya menelpon ayah, tiba-tiba ayah tak terima, ayah akan merasa digurui, saya bukanlah seorang yang pantas menggurui ayah," Ais kian larut dalam pikiran tak menentu. Ais mengira-ngira, seandainya ia menelpon ayah tiba-tiba keluarganya di rumah yang menjadi sasaran. Sasaran amarah ayah Ais karena beranggapan keluarga ais di rumah memberi tahu Ais perihal ayahnya yang tak lagi shalat. Suasana akan semakin runyam. Ada mudarat yang akan datang. Rumah ais tak akan lagi nyaman disebabkan kegaduhan karena kesalahan Ais.

Pikiran Ais membuntu. Handphone masih di genggaman Ais. Hanya tinggal menekan tombol berwarna hijau, panggil. Tapi, ibu jari ais terlalu berat. Ah, sudahlah. "Mungkin belum saatnya saya menelpon ayah," handphone tak lagi dalam genggaman Ais. Ia abaikan saja.

Ais kembali menerawang. Ia baringkan tubuhnya di atas kasur yang tak seempuk biasanya dirasai Ais. Mata ais tak bisa terpejam. Dari ujung ke ujung langit-langit kamar, muak sudah dipandangi Ais terus-menerus. Pandangan kosong. Terlalu banyak banyak yang melintas di pikiran Ais.

Terbayang-bayang pula di ingatan Ais, ketika ia, ibu, adik, kakak, tentu ayahnya juga bergegas menuju mushala ketika waktu shalat menjelang. Ayah ais bersiap, menyiapkan perangkat pengeras suara untuk mengumandangkan adzan. Menggelar tikar untuk jamaah. Sementara itu, ais, adik, kakak dan ibunya tengah berlomba-lomba ambil wuduk. Siapa cepat, dia yang akan mendapatkan shaf terdepan. Shaf yang dijanjikan Tuhan pahala lebih dibandingkan barisan di belakangnya. Selesai shalat berjamaah, sejenak keluarga ais duduk di mushala, tentunya hanya sekadar menjaga silaturahim dengan jamaah lainnya. Setelahnya, Ais dan keluarga akan kembali ke rumah. Tentu, dengan wajah baru. Wajah penuh semangat, wajah yang bersih setelah menghadap sang khalik. Terlalu indah, kalau dikenang.

Apakah moment itu sebentar saja? Semenjak ais tak lagi tinggal bersama keluarga di rumah, berhenti pulalah kebiasaan yang demikian? Ais bertanya-tanya. Malam kian larut, akhirnya mata Ais mengalah. Terpejam dalam keadaan hati yang tak tenang.

Esok pagi, Ais terbangun. Selesai shalat subuh, Ais terpaku duduk di atas sajadahnya. Memohon kepada Tuhan, untuk menunjukkan jalan keluar. Ais meminta agar ayahnya kembali diberi petunjuk ke jalan yang benar. Menunaikan kewajibannya sebagai makhluk ciptaanNya.

Sejak itu, setiap pekerjaan yang dilakukan Ais terasa begitu membosankan. Ais tak lagi fokus. Layaknya seseorang yang tengah berhadapan dengan hutang. Hutang yang mesti dibayarkan. Selama itu hutang belum terbayar, selama itu pula hati Ais tak tenang. Kali ini, hutang Ais adalah mengembalikan ayahnya yang dulu lagi. Ayah yang begitu taat beribadah.

Tak mau berlama-lama dihantui hutang, akhirnya di malam berikutnya Ais memutuskan untuk menelpon ayahnya. Luphly Pa, panggil. Dari ujung telepon, terdengar suara ayah Ais yang telah lama tak bersua dengannya.

Ayah: Assalamu'alaikum
 Ais: Wa'alaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh
Ayah: Ais, apa kabar?
Ais: Alhamdulillah, sehat yah. Ayah bagaimana?
Ayah: Ayah sehat juga
Ais: Ayah udah shalat?
Ayah: Sudah
Ais: Apa benar, ayah sudah shalat?
Ayah: Benar. (terdengar suara ayah Ais yang tak serius, dan sedikit ada candaan)
Ais: Ais tak percaya, akhir-akhir ini Ais dengar ayah tak lagi shalat
Ais: Ini ibu, mau bicara (tiba-tiba ayah Ais mengalihkan telpon ke ibu Ais)
Ibu: Ada apa Ais? sudah shalat?
Ais: Sudah bu, Ais mau bicara sama ayah, kenapa telpon diberikan sama ibu?
tiba-tiba Ibu Ais diam, langsung mengembalikan telpon ke ayah Ais. Mungkin ibu Ais sedikit tersinggung karena merasa Ais tidak mengharapkan telpon darinya.
Ayah: Kenapa Ais?
Ais: Ais mau bicara sama ayah, Ais cuma ingin mengatakan kalau Ais sedih sekali sejak mendengar ayah tak lagi shalat. Kemana ayah yang dulu? Ais ingin ayah berubah lagi, ayah mengurusi mushala lagi, tak pernah meninggalkan shalat lagi. Sekarang sudah saatnya ayah fokus hanya untuk beribadah. Terlalu banyak nikmat Tuhan yang harus kita syukuri, yah. (Pembicaraan Ais terkesan menggurui, ia mulai cemas. Tapi, hasrat untuk bicara dengan ayahnya menggebu-gebu. Di kedalaman hati, Ais berharap ayahnya tidak tersinggung).
Ayah: Ayah juga tidak tahu, kenapa ayah akhir-akhir ini terlalu berat hati untuk shalat. Ayah tidak mau memaksakan kalau bukan dari niat hati yang tulus untuk beribadah.
Ais: Ayah, itu ujian untuk ayah, kalau ayah ikut demikian berarti ayah sudah kalah. Kalah atas godaan setan. Ayah.... ayolah, shalat lagi. Ais merengek, layaknya anak kecil. Ayolah yah....
Tiba-tiba ayah Ais tertawa. "Kenapa anak ayah seperti anak kecil ya,?"
Ais hanya kembali merengek. Ia merengek hanya ingin agar ayahnya tak marah dan tak merasa digurui.

Tak mau lama-lama berbicara lewat telpon, takut ayahnya tersinggung, akhirnya Ais mengakhiri pembicaraan.
"Ayah, sudah dulu ya, Ais mau shalat. Pokoknya mulai besok Subuh ayah shalat. Biar Ais yang bangunkan ayah," ucap Ais tegas.
"Insyaallah,"

***

Subuh sudah lewat, Ais sibuk dengan rutinitasnya pagi itu. Sehingga melupakan janji membangunkan ayahnya shalat. Ketika berkemas hendak bekerja, Ais baru ingat, segera ia raih handphone yang ia abaikan dari tadi subuh. Tingga panggilan tak terjawab, Luphly Pa.

Hari itu benar-benar hari sibuk buat Ais, sehingga untuk mengangkat telpon pun ia tak sempat. Siangnya, ayah Ais menelpon lagi. Panggilan keempat, Ais baru mengangkat telpon ayahnya.

"Assalamu'alaikum, Ais. Alhamdulillah ayah sudah shalat sejak subuh tadi, ayah cuma mau mengabarkan Ais."

Tiba-tiba jantung Ais berdegup. Berdegup atas bahagia. "Alhamdulillah, untuk seterusnya ya, yah.. tak hanya sementara waktu ini," ucap Ais haru. Tak sengaja, bulir bening membasahi sudut mata Ais. Air mata bahagia.

"Iya, insyaallah ini untuk seterusnya, ayah Ais yang dulu telah kembali lagi. Ais jangan risau lagi ya, baik-baik di sana. Terimakasih nak, sudah mengingatkan ayah, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam.." klik. Telpon ditutup.

Ais menghela nafas, nafas panjang. Bahagia tak terkira, hanya itu yang dirasakannya. Ternyata, Tuhan begitu cepat mendengarkan permintaannya. Alhamdulillah ya Rabb.

Terimakasih Mak Ida, atas telponmu, kamu begitu menyayangi kami.

Note: lanjutan dari postingan saya sebelumnya, dengan judul serupa. Telpon Mak Ida (I)

***

@rukan panggung, 04th April 2011, 17:53..with inspirasi--Edcoustic backsound...

0 comments:

Posting Komentar