Telpon Mak Ida (I)

Setelah penat dari rutinitas pekerjaannya dari Senin hingga Sabtu, hari Minggu merupakan hari yang cukup dinantikan oleh Ais. Tapi, hari Minggu bukanlah suatu hari yang spesial bagi Ais. Karena di hari itu ia tak ada melakukan rutinitas yang begitu berarti atau layaknya anak muda yang begitu menantikan akhir pekan. Jika Senin hingga Sabtu rutinitas Ais adalah 'ngantor' tapi hari Minggu adalah hari yang membebaskan bagi Ais. Bebas bukan berarti Ais senang, kadangkala rasa jenuh itu pun ada. Untuk menghilangkan kejenuhan karena tak ada rutinitas, Ais menyibukkan diri dengan beragam aktivitas di rumah saja. Bersih-bersih, menonton, dan membaca, kadang ada pula sedikit olahraga.

Satu lagi yang membuat akhir pekan Ais agak berbeda dari hari biasa adalah acap kali Ais menerima telpon dari sanak saudara dan keluarga di kampung halamannya. Maklum, Ais merantau kurang lebih sejak enam bulan lalu. Di suatu Minggu, cukup banyak yang menelpon Ais, mulai dari orang tua, kakak, adik, dan abang Ais. Tak hanya itu, Ais juga menerima telpon dari tetangga dan adik perempuan dari Ayah Ais. Keduanya sudah dianggap Ais sebagai orangtuanya sendiri. Kenapa tidak? Dua perempuan paruh baya itu begitu perhatian kepada Ais, sering kali Ais dinasihati dan banyak lagi cerita-cerita menarik seputar kampung Ais. Cerita yang begitu menghibur dan mampu mengobat rindu Ais akan kampung halamannya, walaupun hanya untuk sejenak. Dua perempuan itu Ais memanggilanya Mak Ida dan Mak Iyet.

Suatu siang di hari Minggu, Ais tengah asyik membaca novel yang baru saja ia beli. Mak Ida memanggil. Dengan berat hati Ais mengabaikan panggilan Mak Ida. "Kalau aku terima telpon dari Mak Ida, pasti panjang ceritanya," Ais membatin. Panggilan Mak Ida diabaikan Ais. Ia lanjutkan bacaannya, tapi sejak ada telpon dari Mak Ida Ais tak lagi fokus membaca. Sudahlah, biarkkan saja, kata Ais dan melanjutkan bacaannya. Ternyata Mak Ida kembali memanggil. Dua kali, tiga kali hingga panggilan keempat. Maafkan aku Mak Ida, aku telah berdosa kepadamu, mengabaikan telponmu demi kesenangannku. Agaknya Mak Ida sudah putus asa, dan tak ada panggilan lagi.

Ashar menjelang, Ais menutup novelnya sejenak untuk tunaikan kewajibannya. Setelahnya, Ais kembali membaringkan tubuhnya di kasur yang akhir-akhir ini begitu akrab dengannya. Baru saja Ais membuka novel, kembali telepon genggamnya berdering. Tapi kali ini bukan telepon dari Mak Ida, melainkan Mak Iyet. "Ya sudah, tak baik aku abaikan panggilan Mak Iyet. Cukup aku berdosa kepada Mak Ida saja," Ais kemudian menerima panggilan Mak Iyet.

"Assalamua'alaikum"
"Wa'alaikumsalam..."
"Apa kabar Mak?"
"Alhamdulillah sehat, Ais bagaimana?"
"Alhamdulillah sehat juga Mak, lagi dimana Mak?"
"Amak lagi di Mushala, o ya ini Amak (ibu Ais) mau ngomong, Amak ambil wudhu dulu ya, amak belum shalat"
"Iya Mak"

Pembicaraan Ais dilanjutkan dengan orangtua perempuannya, Ais memanggil ibunya 'Amak'.
"Halo Ais"
"Iya Mak, Amak lagi di mushala ya?"
"Iya, Amak baru saja sembahyang Ashar, di sini rame, ada Mak Ida juga"
"Oh, rame ya Mak? Ais jadi rindu juga shalat di mushala"
"Kata Mak Ida tadi dia telepon Ais, tapi nggak diangkat, kenapa?"
Ais bingung, mau jawab apa. Apakah dia harus berbohong atau jawab apa adanya. Dengan alasan agar Mak Ida tak tersinggung, Ais berbohong. "Ia, tadi waktu Mak Ida nelpon Ais lagi di luar, hp ketinggalan di kamar," jawab Ais.
"Iya, Mak Ida bilang mungkin Ais lagi tidur," jawab Ibu Ais.'
"Ndak mak, Ais ndak tidur.." Ais menjawab dengan perasaan bersalah. Ais sungguh merasa berdosa sudah mengabaikan orangtua yang begitu memperhatikannya. Ketika dibohongi Ais pun, Mak Ida masih menaruh prasangka baik pada Ais.
"Kalau begitu, Ais ngomong sama Mak Ida ya?" Ibu Ais meminta.
"Iya mak"

Dari kejauhan terdengar suara khas dari Mak Ida. Suara yang begitu lembut dan penuh kasih sayang. Layaknya sayang seorang ibu kepada anak kandungnya.
"Hallo, Assalamu'alaikum, nak"
"Wa'alaikumsalam, Mak Ida," jawab Ais dengan nada suara bersalah.
"Apa kabar nak? Adakah sehat-sehat saja?"
"Alhamdulillah sehat, Mak Ida ada sehat?
"Alhamdulillah kami di rumah masih sehat dan beraktivitas seperti biasa. Udah makan nak?" suara Mak ida begitu menyentuh.
"Udah tadi siang.. Mak Ida lagi di mushala ya?
"Iya, seperti biasa selesai shalat duduk-duduk dulu di mushala sambil cerita-cerita. Termasuk menceritakan Ais," ujar mak Ida.
"He...," Ais nyengir.

Tiba-tiba nada suara mak Ida mulai serius. Seakan ada pembicaraan penting yang akan ia sampaikan. Ais pun penasaran. Perlahan-lahan mak Ida membuka pembicaraan. Ia bertanya kepada Ais.
"Ais, akhir-akhir ini ada telponan sama ayah?"
"Sering mak Ida, ayah sering telpon Ais, kenapa ya mak?"
"Begini Ais, ayah Ais sudah tak ada lagi shalat, cobalah Ais ngomong sama ayah minta dia untuk shalat," jawab mak Ida.
Mendengar penjelasan mak Ida, jantung Ais langsung berdegup. "Ayahku yang dulu kembali lagi, Ya Allah kenapa Engkau lengah dari ayahku? Apakah Engkau tak lagi sayang kepada ayahku?" Ais menyesal dalam hati.

"Terimakasih mak Ida sudah kasih tau Ais". Ais juga menceritakan kepada mak Ida, akhir-akhir ini setiap kali Ais telponan dengan ayahnya dan menanyakan apakah ayahnya sudah salat atau belum, ayah Ais hanya menjawab dengan enteng 'sudah'. Berarti prasangka Ais selama ini tak keliru. Ayah Ais tak lagi menunaikan kewajibannya kepada Sang Khalik.

"Setiap kali nelpon, Ais tanya ke ayah sedang berada dimana, kata ayah sedang di lepau rendah, mak Ida," kata Ais lagi ke mak Ida.
Mendengar ucapan Ais, mak Ida mencoba menyemangati Ais untuk kembali mengingatkan ayahnya.
"Cobalah Ais ngomong sama ayah, mak Ida yakin, kalau Ais bicara sama ayah, ayah Ais pasti dengarkan."
"Ia, tapi Ais takut ayah tersinggung, mak Ida kan tau sendiri ayah bagaimana?"
Mendengar Ais mengeluh, mak Ida tak henti-hentinya menyemangati Ais. "Percayalah nak, tak akan ada orangtua yang akan marah ketika anaknya membicarakan kebaikan, berpandai-pandai saja Ais ngomong sama ayah ya." Demikian pesan mak Ida. Dalam hati Ais kembali menyesali diri. Begitu baiknya mak Ida kenapa aku malah mengabaikan telponnya tadi siang?

"Udah dulu ya nak, lain kali mak Ida telpon lagi, jangan lupa shalat, makan dan jaga diri ya..!"
"Insyaallah mak,"
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalaam.." klik.

***

Usai menerima telpon dari ketiga 'amak'nya, Ais melamun. Masih terngiang di telinga Ais kabar yang disampaikan mak Ida. Ais kebingungan, ta tahu mau berbuat apa. Penuh tanya dari kedalaman hati Ais. Ya Allah, apa yang harus kuperbuat? Ayah begitu jauh dariku. Ingin sekali aku menjumpai ayah. Bicara dari hati ke hati. Mana ayahku yang selalu ke mushala? Mana ayahku yang selalu mengumandangkan Azan dari corong musala sehingga lantunan azan yang indah bergema ke seantero kampungku? Mana ayahku yang selama ini rajin beribadah?

Ais kalut. Ia mengumpat Tuhannya. "Ya Allah, Engkau begitu tak menyayangi ayahku dan keluargaku. Engkau belokkan dia dari jalan-Mu. Kenapa engkau tak pelihara langkah ayahku? Kenapa Engkau tunjukkan ini ketika aku sudah jauh dari ayahku?"---be continue---

***


*)rukan panggung, 25th March 4:39 AM

0 comments:

Posting Komentar