Ibu Guru

Dalam suatu diskusi ada yang mengatakan guru adalah seseorang yang tanpa mengenal lelah, selalu mengajar, mendidik, memberi keterampilan dan pengetahuan untuk selalu meraih cita-cita peserta didiknya. Walaupun peserta didiknya sering menyakiti hati mereka, tapi mereka selalu sabar mendidik siswanya. Sebagai mahasiswa kependidikan, tentu saya harus menjalani ini. 

Tak pernah sebelumnya terfikir kalau saya akan menjadi seorang calon guru. Semasa sekolah, saya tergolong siswa bandel dan suka mempermainkan guru. Tapi apa daya, semua itu berbalik kepada saya sekarang. Mau tak mau, praktik lapangan di sekolah latihan harus diikuti. 

Beberapa waktu sebelum saya dan teman-teman memulai praktik lapangan, salah seorang dosen yang memberikan pembekalan kepada kami, cukup mampu memberikan motivasi kepada seluruh mahasiswa yang hadir di ruangan waktu itu. Terutama saya. Ia memulai materi dengan deretan kata yang sangat berarti bagi saya; “Tanpa Guru Tak Akan Ada Profesi  Lain”. Ungkapan yang cukup menyemangati saya untuk mencoba praktik di situasi yang sebenarnya. Tak seperti praktik yang saya lakukan selama ini di kampus.  

Saya ditempatkan di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Padang ini. Banyak pengalaman yang sudah saya dapatkan dan akan saya jalani sampai praktik akan berakhir. Praktik di sekolah yang siswanya baru berumur belasan tahun cukup menuntut kesabaran saya. Kenapa tidak? Tingkah laku mereka sungguh amat beragam. Mulai dari yang suka menarik perhatian guru dan temannya, berkelahi dalam kelas, sampai kepada mereka yang terlibat cinta lokasi di kelas. Ini parah sekali, mereka tak peduli dengan guru yang tengah serius mengajar di depan kelas. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang mau patuh atau pun memiliki minat belajar. Di balik itu, juga ada yang sangat patuh dan menuruti apa yang diinstruksikan gurunya. 

Kenapa kebanyakan peserta didik tidak memiliki minat belajar yang baik, tidak punya kesadaran dari diri sendiri untuk belajar? Tentu banyak faktornya. Guru, orang tua, lingkungan, dan perkembangan zaman. Hal ini berdampak pada etika mereka kepada guru. Banyak siswa yang kurang menghargai guru. Pernah saya ajak siswa di kelas menyadari arti seorang guru bagi mereka. Satu per satu mereka berpendapat. Semuanya, tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dan dihindari. ”Guru itu, adalah orang tua bagi saya,” dengan polos siswa di kelas saya waktu itu menjawab. Temannya yang lain menambahkan, karena itu saya harus patuh kepada guru. Di sini mereka mengerti akan arti keberadaan seorang guru. Tapi, kesadaran mereka hanya pada saat itu saja. Perubahan pun tak berlangsung lama.  

Nah, sedikit berbagi pengalaman, sebagai seorang mahasiswa praktik kita harus mampu mendekatkan diri kepada siswa agar mereka bisa menghargai kita layaknya guru mereka di sekolah. Selain di kelas, kita bisa memanfaatkan di luar waktu mengajar untuk berkomunikasi lebih banyak dengan siswa. Semakin siswa merasa dekat_dalam batas yang wajar dengan guru, maka siswa merasa segan dan menghargai gurunya. Pada saat ini jugalah muncul motivasi siswa untuk belajar karena mereka telah terlanjur senang dengan gurunya.  Seperti yang dikatakan John Lubbock, ”Hal yang penting bukanlah setiap anak harus diberi pelajaran, tetapi bahwa setiap anak seharusnya diberikan keinginan untuk belajar.” 

Inilah saatnya. Salam dan semangat untuk semua teman saya yang sedang menjalani praktik lapangan di manapun.*** 


*) Ditulis awal 2009 lalu ketika mengikuti praktik mengajar di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota Padang. Sebuah klipingan catatan kuliah saya. Kuliah yang mendidik saya seharusnya jadi guru. Tapi, realitanya hingga saat ini saya tak mengikuti alurnya. 



0 comments:

Posting Komentar