Dari Lhok Nga, Hafalan Shalat Delisa

  Judul         : Hafalan Shalat Delisa
  Pengarang : Tere Liye
  Cetakan    : XIII, Februari 2011
  Halaman   : vi + 270 hal
  Penerbit    : Republika
  Harga       : Rp 46.000,-


Hafalan Shalat Delisa bukanlah novel terbitan terbaru. Kali kedua saya membacanya. Pertama membaca, kira-kira empat tahun lalu. Membaca untuk kedua kalinya sama sekali tidak membosankan. Malah semakin mengharu-biru.

Salah seorang kakak sama bekerja, saya tulari untuk membaca novel ini. "Ingin punya anak seperti Delisa," komentarnya ketika membaca buku ini. Kebetulan ia tengah hamil lima bulan.

Satu lagi, teman yang tak hobi membaca secara mengejutkan meminjam buku saya. Ia butuh hampir seminggu untuk menamatkan buku yang tebalnya tak seberapa ini.  "Ini buku pertama yang saya baca hingga selesai," katanya.

Berikut ulasan tentang novel yang ditulis oleh Tere Liye. Sebuah nama pena berbahasa India yang berarti; untukmu. Lewat tulisan yang lembut, sederhana, dan jujur ini, saya tak menyangka bahwa penulis adalah laki-laki. Berawal dari tontonannya di televisi yang menampilkan anak-anak Aceh yang kakinya terpaksa diamputasi setelah bencana tsunami, Tere Liye bersumpah untuk menulis sebuah kisah yang menyakitkan itu. 

Hafalan Shalat Delisa, Novel berkisah dramatis diawali dengan kisah romantis. Sebuah keluarga romantis. Saya memiliki makna tersendiri ketika sebuah keluarga dikatakan romantis. Tak ada pertengkaran, tak ada kegaduhan, tak ada siasat untuk saling menelikung dalam sebuah persaudaraan. Pun itu ada, sekali-sekali hanya sekadar bumbu penyedap ketika keluarga itu diselimuti sepi. Sepi karena pekerjaan kepala keluarga (Abi Usman) yang membuat mereka hanya bisa bertemu triwulanan. Abi Usman bekerja di sebuah kapal tanker minyak yang berkelana dari satu negara ke negara lainnya. Sebagai pengobat rindu itu, percakapan melalui satelit telepon  setiap ba'da subuh di awal pekan menjadi sungguh berarti. Setiap kali telpon berdering di Senin Subuh, Ummi Salamah orang pertama yang akan menerima telpon tersebut. Kemudian diikuti empat anak perempuannya.  Si sulung Fatimah, si kembar Aisyah-Zahra dan si bungsu Delisa. Keempat anak perempuan ini benar-benar anak solehah. Rajin ibadah dan belajar. Semua itu tak terlepas dari didikan Ummi Salamah yang begitu tegas dan kuat agama.

Tere Liye menuliskan kisah yang sangat sederhana dengan latar belakang bencana tsunami enam tahun yang lalu dengan settingan kampung Lhok Nga, Banda Aceh. Dengan tokoh utama Delisa, seorang gadis kecil berusia enam tahun, novel ini menceritakan kisah tentang dunia  kanak-kanak.

Berawal dari kebiasaan di keluarga Umi Salamah, setiap anak akan dihadiahi kalung ketika mereka telah hafal bacaan shalat dengan sempurna. Seperti halnya Fatimah, Aisyah dan Zahra, Delisa juga dijanjikan kalung oleh Ummi Salamah. Menjelang ujian praktik bacaan shalat di sekolahnya, Delisa diajak Umi Salamah memilih kalung di toko Koh Acan. Koh Acan, China tulen adalah tempat langganan Ummi Salamah untuk membeli hadiah untuk putri-putrinya sejak zamannya Fatimah dulu. Koh Acan juga begitu baik kepada umi Salamah, "Kalau untuk untuk hadiah hafalan shalat ini, Ummi Salamah bayar separuh saja, haiya!" kata pria 100% konghucu ini. .

Sejak umi Salamah mengantongi kalung itu, Delisa semakin bersemangat untuk terus menghafal bacaan shalatnya hingga sempurna. Ditambah lagi, kalungnya berbeda dengan kakak-kakak sebelumnya. Delisa dihadiahi Koh Acan liontin dengan abjad D. D untuk Delisa. Riang sekali Delisa setiap kali mengeja D untuk Delisa, D untuk Delisa.. Sehingga mengundang kecemburuan Aisyah, kakaknya yang selalu usil kepadanya. 

Meski kalung telah dikantongi Umi Salamah, Delisa mesti bersabar dulu untuk bisa segera mengenakannya, melihat pun Delisa tak diizinkan Ummi. Oleh karena itu, Delisa gigih sekali mengulang-ulang bacaannya yang sering kali terbolak-balik. Bacaan ruku' dan sujud yang hampir serupa membuat Delisa kebingungan.

Hari uji untuk bacaan shalat Delisa dan teman-temannya di Madrasah Ibtidaiyah pun tiba. Hari Minggu, 26 Desember 2004. Delisa bangun dengan semangat, shalat subuh dengan semangat, berangkat ke sekolah dengan semangat. Janji kalung itu membuatnya sumringah. Selepas shalat subuh, Delisa sempat memaksa Ummi untuk memperlihatkan kalung tersebut, Ummi dengan tegas menolak lagi.

"Alisa Delisa," ibu guru Nur memanggil nama Delisa. Delisa bergerak maju ke depan kelas untuk mempraktikkan bacaan shalatnya, bacaan yang sempurna tentunya. Selesai bertakbiratul Ihram; persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. Persis di sana, lantai laut retak seketika. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian itu mencuat. Mengirimkan pertanda kelam-menakutkan.

Di tengah bumi diguncang gempa, Delisa lancar benar menghafal bacaan shalatnya. Sampai saat Delisa akan melanjutkan ke bacaan sujud tiba-tiba tubuhnya terseret air besar sekali. Ya, hari itu tsunami terjadi. Memporakporandakan Lok Nga hingga tak tersisa. Menelan banyak korban yang sampai kini tidak dapat diketahui jumlah pastinya.

Aceh bersedih, Indonesia bersedih. Berita bencana tsunami di Aceh itu pun mendunia. Seorang gadis kecil berumur enam tahun, Delisa kehilangan banyak hal; ummi dan kakak-kakaknya, serta sebelah kakinya. Meskipun telah kehilangan segalanya, itu tidak membuat Delisa hancur. Hanya satu yang membuatnya sedih, karena kehilangan hafalan shalatnya. Sesuatu yang mungkin tidak akan menjadi prioritas bagi sebagian besar dari kita pada umur enam tahun ketika kehilangan semuanya. Sejak kejadian itu pula Delisa benar-benar lupa akan bacaan shalatnya.

Pada akhir novel diceritakan penyebab hafalan shalat Delisa yang hilang. Karena sebelum bencana tsunami terjadi, ia menghafal bacaan shalat tersebut karena iming-iming hadiah, bukan karena ikhlas karena Allah. Ketika ia menyadari hal itu dan menyatakan tidak menginginkan hadiah kalung tersebut, bacaan shalat itu seolah-olah bicara padanya.

Akhirnya Delisa bisa menyempurnakan shalatnya. Pada saat itulah Allah memberikan hadiah besar padanya. Ia menemukan jasad (tulang belulang) Ummi-nya yang selama ini hilang akibat tsunami dalam keadaan memegang kalung yang akan dihadiahkan padanya itu. Ya, Delisa amat tegar, tetap semangat apapun kondisinya, bisa menerima kehilangan akan orang-orang yang dicintainya dengan sederhana. Sungguh, dari Delisa kita bisa belajar banyak hal tentang makna hidup. Bahwa hidup memang sungguh sederhana, belajar tentang rasa ikhlas dan tulus hati, senantiasa bersyukur dan terus memperbaiki diri.

Begitulah ketegaran dan keikhlasan seorang anak berumur enam tahun yang kehilangan banyak hal berharga dalam hidupnya. Sebuah pelajaran yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh kita. Kisah yang sangat menyentuh dan membuka hati. Membuat siapa saja yang membacanya terharu kemudian tanpa sadar meneteskan air mata. Seolah hanyut dalam ceritanya. Ada beberapa bagian dimana penulis memberi catatan kaki tentang doanya untuk Delisa, mengungkapkan kecemburuannya tentang gadis cilik itu. Sungguh membuat hati terenyuh.***






*)saya benar-benar cemburu dengan Delisa, ia punya kisah sungguh penuh makna ketika belajar menyempurnakan bacaan shalatnya. Sementara, saya tak ada apa-apanya. Hanya ada sedikit hal lucu, ketika saya menaruh buku tuntunan shalat lengkap pada sajadah ketika belajar shalat. Melirik ke arah buku untuk menirukan gerakan dan mengintip bacaan shalat.

 

0 comments:

Posting Komentar