'Bertandang'


Bertandang. Satu kata ini cukup tidak mengenakkan di telinga saya. Sejak masa kecil hingga kini, kata bertandang memiliki konotasi negatif bagi saya. Bertandang menurut pemahaman saya adalah ketika seseorang yang bertamu ke rumah orang lain dalam waktu yang cukup lama. Seperempat, setengah, satu, bahkan berhari-hari.

Semasa kecil saya termasuk salah seorang anak yang suka bertamu ke rumah teman. Berbagai alasan yang membuat saya demikian. Pertama, rumah teman saya lebih bagus daripada rumah saya. Kedua, saya suka sekali berkumpul dengan teman-teman sebaya. Ketiga, saya juga senang sekali apabila bisa mengenal seisi rumah tempat saya bertandang. Keempat, kelima, keenam dan seterusnya banyak lagi alasan lain yang membuat saya tertarik untuk bertandang.

Mengapa bertandang memiliki makna negatif bagi saya? Hal ini pertama kali muncul ketika ayah saya menegur kebiasaan kurang baik saya ini. Kata ayah saya, anak perempuan tidak baik kalau sering sekali bertandang ke rumah orang lain. Masih kata ayah saya, anak perempuan itu harusnya menghuni rumahnya dan menjadikan rumahnya itu tempat yang nyaman baginya. Bagaimanapun keadaan rumahnya, anak perempuan harus bisa menjadikan rumahnya layaknya istana.

Sejak ayah saya memberikan pemahaman demikian, saya mulai berpikir. Ternyata ayah saya sama sekali tak menyukai anaknya bertandang ke rumah orang lain. Lambat laun saya menyadari, yah saya tak menyukai, bukan berarti membatasi pergaulan saya. Hanya saja, saya berasal dari negeri yang penuh dengan norma, sopan dan santun, lebih luasnya disebut negeri beradat. Kaum perempuan diperlakukan istimewa, garis keturunan dilimpahkan kepadanya, harta warisan diprioritas kepada mereka, banyak lagi hal lain yang membuat si perempuan begitu teristimewa di negeri saya itu. Karena itu pulalah ada aturan yang berlebih dibandingkan kaum laki-laki. Tak ada yang salah memang, Sang Pencipta pun menciptakan kaum hawa sebagai makhluk yang mulia. Itu salah satu bagian terkecil yang menurut saya termasuk kepada falsafah di negeri saya, "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Kalimat yang begitu agung. Sederhana disebutkan, namun terlalu rumit untuk diaplikasikan.

Kali ini, saya juga tidak hendak membahas tentang adat di negeri saya. Kembali ke persoalan bertandang. Kemarin, beberapa minggu lalu, akhir-akhir ini, salah seorang teman (kakak) sesama bekerja seringkali mengajak saya untuk menginap di rumahnya. Seingat saya, baru dua kali saya menerima tawarannya. Sisanya, saya tolak. Menolak dengan berbagai alasan yang membuat dia tidak tersinggung, tentunya.

Di rumah si'kakak' apa yang tidak ada? Ada semua. Berbagai fasilitas lengkap, rumah yang lumayan luas. Ya, si 'kakak' bersuamikan orang kaya. Bekerja di salah satu perusahaan minyak ternama di negeri ini, bahkan hingga luar negeri.

Apa yang ada di rumah si 'kakak' berbanding terbalik dengan fasilitas yang ada di mess. Di tempat ini, saya hanya menghabiskan malam pada ruang lebih kurang 4x3 meter. Sebuah televisi, sebatang baling-baling angin, sebentang kasur lumayan empuk, serta sebiji lemari tempat saya menyimpan seluruh 'properti'.

Tapi biarlah, biarlah saya tinggal di istana mungil--mess-- saya ini. Meski mungil dan apa adanya selama saya masih berkesempatan menghuni, seperti yang dikatakan ayah saya, akan saya jadikan istana. Istana yang membuat hati bahagia menghuninya.

Tidak juga saya akan menginap di rumah indah si 'kakak. Biarlah si pemilik saja yang menikmati istana mereka. Bukan berarti saya angkuh, bukan berarti saya tak menghargai kebaikannya, bukan berarti saya individualis. Melainkan saya masih memegang erat petuah ayah saya. Selama itu tidak darurat, selama itu tidak ada kepentingan, saya akan tinggal di istana saya sendiri.

Rasul kita, kalau saya tidak salah mengingat, juga mengingatkan umatnya. "Janganlah kamu bertandang ke rumah orang lain melebihi tiga hari," kurang lebih begitu isinya. Kenapa Rasul melarang kita? ya, karena bagaimanapun tuan rumah akan merasa terganggu dengan keberadaan si tamu.

Ya, demikian beberapa alasan saya menolak ajakan si 'kakak'. Setelah memilah manfaat dan mudarat, lebih banyak manfaatnya ketika saya memilih berdiam di 'istana' saya ini. Si 'kakak' baru saja berkeluarga, kini tengah hamil, di rumahnya ada suami dia. Tentunya suami si 'kakak' bukan muhrim saya. Di lain hal, rutinitas di pagi hari, tanggung jawab saya selama bekerja di kantor ini akan terbengkalai ketika harus mengingap di rumah si 'kakak'.***

==Messku, Istanaku==

*)Bertandang mungkin kata yang tidak baku dalam Bahasa Indonesia, saya juga kurang tahu. Selama ini, saya hanya mengenal istilah tandang pada laga sepak bola. Meski demikian, harap dimengerti saja. Saya hanya tertarik untuk memakai kata 'Bertandang'. :))

@rukan panggung, 07th Apr '11, 17:41--Kotak Backsound--

0 comments:

Posting Komentar