Teman, tapi Saya tak Suka

"Jika kamu tidak memahami teman kamu dalam semua keadaan, maka kamu tidak akan pernah memahaminya sampai kapanpun."

Dari dulu saya sudah dibiasakan untuk berteman dengan siapa saja. Tak perlu memilih siapa yang akan dijadikan teman. Mulai dari masa kanak-kanak, sekolah dasar, menengah, dan di masa kuliah saya sudah bergaul dengan berbagai ragam teman. Namun saat ini, ketika saya sudah digolongkan menjadi manusia dewasa, mengapa saya mulai merasa. Merasa bahwa teman yang satu ini sangat tidaklah bisa saya pahami sifatnya. Saya sangat tahu bagaimana sifatnya, namun saya tak mampu untuk memahami. Memahami dalam pengertian saya, harus bisa menerima sifatnya yang 'aneh', persepsi saya, juga harus mampu perlahan-lahan untuk mengubah. mengubah ke arah yang lebih baik.

Sifat 'aneh' teman saya ini tak akan saya jelaskan di sini. kesimpulannya sangatlah 'aneh' dan sangat melenceng jauh dari jalur pemikiran saya.  Masih banyak lagi yang aneh yang teman saya lakukan. Tak mungkin lagi saya beberkan di sini. Saya tak mau menyalahkan itu teman, saya hanya tengah memikirkan mengapa saya dengan mudah menyimpulkan saya tak mampu lagi untuk menerima ke'anehan' dari teman saya yang satu ini. Bukankah dari dahulunya, saya selalu berusaha  untuk bisa bergaul dengan siapapun, mulai dari yang baik sampai sejelek apa pun tingkahnya, insyaallah saya bisa. namun sekarang, beriring bertambahnya umur saya, beriring sudah tergolong dewasanya saya, saya mulai merasa tidak bisa menerima. Apakah seiring bertambahnya umur saya, bertambah tinggi pulakah keegoisan saya??

Ingin lepas, ingin terlepas dari teman saya. lebih tepatnya, saya ingin terpisah dari dia. Terpisah dalam artian tak mesti tinggal bersama di ruang 3x3m itu. Hidup bersama dalam ruangan itu, menurut saya harus bisa saling mengerti, saling memahami, dan saling mempercayai. namun, yang saya alami berbalik. tak ada pengertian, tak ada pemahaman, dan tak ada kepercayaan.

Saya tengah berusaha mencari bagaimana solusi atas permasalahan yang begini adanya. Berbagai pilihan saya buat. Komunikasi. Ingin saya berbicara dari hati ke hati, berkeluh-kesah satu sama lainnya. Tapi saya tak yakin, apakah teman saya ini benar-benar bisa mendengar dan mencerna apa yang saya sampaikan. Karena, sejauh ini saya menyimpulkan teman saya ini bukanlah tipe orang yang mau mendengarkan dan mau paham. kesimpulan saya ini mungkin terlalu kejam karena saya memberi penilaian hanya dari perspektif saya sendiri. Namun, saya juga merasa tak sembarang menilai. Dari cerita  teman lainnya, teman saya yang satu ini memang demikian. Apa yang kami--saya dan teman lainnya, rasakan sama. Berarti, saya masih merasa kesimpulan saya mengenai teman saya ini tak keliru.

Dengan demikian, opsi pertama saya abaikan. Tak ada ruang untuk komunikasi. Percuma. Selanjutnya saya mulai berfikir, bagaimana kalau saya menghindar saja. Menghindar agar saya terbebas dari polemik ini. Nah, jalan untuk menghindar ini tak mudah. Menghindar salah satu jalannya adalah saya harus keluar dari ruang 3x3m itu. Bahkan yang lebih ekstrimnya kalau saya memilih menghindar, ya saya harus hengkang dari 'dunia' yang tengah saya lakoni akhir-akhir ini. Mengapa saya memilih menghindar, karena ketika seseorang yang menyandang status pendatang seperti saya, orang baru, pada umumnya kita berasumsi tak layak pendatang tersebut membuat penghuni hengkang. Dengan sok bijak mungkin saya menyebutnya mengalah.

Persoalan mengalah, hal ini agaknya telah lumayan sering saya lakukan. Mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, organisasi semasa kuliah dulu, hingga seluruh anggota keluarga di rumah sewa saya dulu. Saya mulai merasa nyaman setiap kali saya mencoba mengalah. Membiarkan teman saya berbuat sesukanya, sayapun berupaya untuk menyingkirkan segala yang tidak meng-enakkan, saya mencoba untuk tidak memikirkan, saya mencoba untuk amnesia. Amnesia, itu tepatnya. Berusaha melupakan kalau saya bermasalah dengan siapapun. Namun, dibalik ke-mengalahan saya, secara tidak langsung saya akan menjelma menjadi pribadi yang mungkin menurut orang lain tak menarik lagi. Saya akan memilih bungkam, bicara seperlunya, saya memilih menghindar-mengindari pertengkaran, dan saya mulai sok menyibukkan diri saya sendiri. Sejauh ini, inilah yang selalu saya lakukan.

Entah sampai kapan saya demikian, menurut saya mengalah sama halnya dengan kabur dari masalah. mengalah yang sebenarnya bukanlah begitu. Tapi, apa daya sejauh ini saya tak punya banyak kemampuan, juga belum cukup dewasa untuk mengatasinya. Biarlah..


rukan panggung, 22 Feb 2011

u: teman saya yang akhir-akhir ini sering bersama saya

0 comments:

Posting Komentar