Rinai Kabut Singgalang Hingga Palembang

Cukup menarik-menurut aku- cerita di balik buku Rinai Kabut Singgalang yang kupunya. Salah seorang sahabat, Fizy di suatu malam mengirim pesan singkat melalui ponselku. Sahabatku yang satu ini punya panggilan unik untukku. 'Bro' begitu dia memanggilku. Begitupun sebaliknya. Mungkin dengan panggilan seperti ini kami merasa lebih dekat. Tak perlu dibahas, kita lanjutkan. Kira-kira begini isi pesannya:

Fizy: Bro, loe kenal Muhammad Subhan?
Aku: Tau, MS Rinai Kabut itu kan? emang kenapa?
Fizy: Kok loe bisa tau?
Aku: Ya iyalah.. gw gitu.. he
Fizy: O y, kemarin gw ke Rumah Puisi, ketemu sama dia, terus dia tawarkan novel itu. Ya, gw beli deh. Buku itu langsung ditandatanganinya, Bro. Hebat gw kan?
Aku: Ye.. segitu aja hebat. Gw aja dikirimi AH buku A9ama Saya Adalah Jurnalisme langsung ditandatangani, biasa-biasa aja. (SMS angkuh)
Fizy: He.. Udah baca loe Rinai Kabut Singgalang bro?
Aku: Belum, gw jarang ke Gramedia sekarang, susah nembusnya.
Fizy: Gw sarankan, bacalah. Bukunya bagus, terharu gw.
Aku: Ya, nanti kalau ke Gramedia gw cari bukunya. Tapi, bukunya udah nyampe belum ya, di sini?
Fizy: Kalau g ada, nanti gw sms kan aja sama loe ceritanya.
Aku: Dasar.. kirimin donk bukune.

Sejak SMS dari Fizy, aku ingat bahwa di FB aku berteman dengan penulis RKS. Pada box search, aku ketik nama Muhammad Subhan. Ya, i get it. Aku baru ingat, kalau tidak salah MS selalu saja OL pada chat FB. Aku aktifkan chat pada FB ku yang biasanya jarang sekali OL. Yes, MS OL. Segera aku sapa. Aku memperkenalkan dari dan sedikit mengingatkan MS bahwa kita dulu pernah bertemu pada suatu acara di tempat bekerjaku dulu. Setelahnya, dengan berbaik hati MS mau membantu aku mengirimkan bukunya via pos. Kusimpan no. rekening yang dia berikan. "Nanti kalau sudah transfer, saya kabari," kurang lebih begitu aku tuliskan via chat. Sepertinya MS tak keberatan untuk mengirimkan buku itu, meskipun hanya 1 eksemplar. Sepertinya, tak ada pentingnya membahas bagaimana asal-muasal aku bisa membaca RKS. Berikut aku akan mencoba sedikit mengulas RKS, semoga bermanfaat bagi yang membaca, kalau tidak cukuplah sebagai dokumen tulisan saya pada blog ini. Akan aku beri judul: "Rinai Kabut Singgalang Hingga Palembang". Judul ini tak ada kaitannya dengan isi buku, hanya saja saya tertarik untuk membuatnya demikian karena luka yang diceritakan MS pada RKS sungguh berasa di mana aku berdomisili sekarang.

Judul: Rinai Kabut Singgalang
Penulis: Muhammad Subhan
Penerbit: Rahima Intermedia Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, Januari 2011
Halaman: 396 hal
Harga: Rp. 48.000,-

RKS tak lebih menceritakan luka, lebih tepatnya maha luka, luka beranak luka yang dirasakan oleh Fikri, tokoh utama dalam cerita ini. Alkisah, Maimunah--ibu Fikri, perempuan yang berasal dari Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya karena nekat menikah dengan Munaf yang tak lain tak bukan adalah ayah Fikri. Munaf adalah laki-laki asal Aceh yang mencoba mengadu peruntungan ke Pasaman. Munaf dianggap sebagai 'orang datang, orang yang tak berurat tak berakar, orang di pinggang'. Di ranah minang menurut adatnya, menerima 'orang datang' sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, nasib Maimunah tak sebaik yang dia harapkan. Hidup berkalang malu, sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia.

Yusuf, sahabat Fikri dalam buku ini menceritakan kisah luka yang beruntun, seakan tak ada hentinya dialami oleh Fikri. Berawal dari kehidupan di kampung pesisir Aceh, ayah Fikri meninggal dunia. Sejak ayah Fikri meninggal, ibu Fikri juga mulai sakit-sakitan. Dari sini Fikri mulai merencanakan untuk merantau ke Padang. Sebelum ke Padang Fikri singgah dahulu di nagari Kajai, kampung halaman ibundanya. Karena sebelum berangkat merantau, Fikri dipesankan oleh ibunya untuk mencari mamaknya--kakak laki-laki Maimunah. Maimunah menceritakan bahwa mamak Fikri bernama Safri, adalah satu-satunya anggota keluarganya yang begitu menyayangi Maimunah. Oleh karena itu, dia ingin sekali Fikri untuk menemui Mak Safri untuk mengabarkan bahwa adiknya baik-baik saja. Dengan kebulatan tekad, Fikri memulai kisah merantaunya. Menempuh perjalanan dengan bus, menuju nagari Kajai. Di dalam bus inilah Fikri pertama kali bertemu dengan Bu Aisyah, ibu dari Rahima yang merupakan kekasih tak sampai Fikri.

Sesampainya Fikri di Kajai, kisah luka kembali ditampilkan. Mak Safri ternyata mengalami gangguan jiwa karena menanggung malu akibat perbuatan Maimunah. Di negeri beradat, perbuatan Maimunah sangatlah menjadi aib yang tak tertanggungkan bagi Mak Safri. Selama di Kajai, Fikri mengabdikan diri untuk merawat mamaknya yang selama ini hidup terpasung dalam sebuah gubuk di tengah kebun Manggis.

Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Setelah memutuskan meninggalkan Kajai, Fikri merantau ke Padang. Ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Dalam prolog buku ini, Damhuri Muhammad seorang cerpenis menguraikan bahwa di titik inilah ada perubahan paradigmatik dalam konsep merantau. Bila masa lalu, merantau adalah pergi menuju sesuatu, tapi perantauan Fikri adalah sebuah ikhtiar meninggalkan sesuatu: luka. Riwayat perjalanan Fikri dimanfaatkan penulis untuk merekam jejak luka sepanjang hidup Fikri.

Semasa perantauan Fikri di Padang, kisah percintaan Fikri pun bermulai. Ia bertemu dengan Rahima yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, kisah cintanya juga berbuah luka. Cinta Fikri bertepuk sebelah tangan, kakak Rahima bernama Ningsih tidak menyetujui hubungan mereka. Rahima tak mampu berbuat apa-apa karena selama masa sekolahnya Ningsihlah yang membiayai hidup Rahima. Terkesan berhutang budi, Rahima terpaksa menerima permintaan kakaknya untuk menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan Ningsih. Pinangan Fikri ditolak mentah-mentah oleh Ningsih, lagi-lagi alasan status Fikri sebagai 'orang datang' menjadi alasan. Namun, dibalik itu, ternyata Rahima dipersiapkan Ningsih untuk menikah dengan laki-laki pencariannya hanya karena Ningsih terlilit hutang kepada laki-laki itu.

Pedihnya kisah percintaan Fikri sama halnya dengan kisah percintaan Zainuddin dengan Hayati yang diceritakan Hamka dalam 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk'. Juga, hampir sama dengan kesuksesan Zainuddin sebagai penulis sukses, dalam RKS Fikri juga mempunyai pengalaman yang sama. Ia dipertemukan kembali dengan Rahima ketika kisah yang ia tuangkan dalam novel difilmkan dan dipentaskan di Jakarta. Kembali kita diingatkan dengan kisah perjumpaan Zanuddin dengan Hayati setelah terpisahkan oleh nasib malang percintaan mereka.

Penggunaan latar, yaitu adat di ranah minang agaknya adalah salah satu faktor yang sangat mendukung dalam novel RKS. Hal inilah yang membuat setiap pembaca dapat terpancing sehingga larut dalam setiap bagian novel ini. Penggunaan bahasa yang halus, bebas dan terkesan apa adanya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk membacanya hingga akhir dari karya ini. Rangkaian peristiwa dan konflik yang disusun sedemikian rupa juga penokohan yang kuat dari setiap karakter, penggambaran latar yang tepat hingga alur cerita yang mengalun indah tak bisa dipungkiri menjadi kelebihan dari karya ini.

Dibalik keindahan karya Muhammad Subhan ini, bukan berarti tanpa cela. RKS Ibarat produk lama yang dikemas dengan kemasan baru, kisah-kisah yang disuguhkan sepertinya dibayang-bayangi oleh kisah pada 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.' Kenapa tidak? Karena ketika saya mengikuti kisah demi kisah RKS ingatan saya tak terlepas dari kisah serupa yang ada pada "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk."

Terlepas dari itu, saya mengapresiasi karya Muhammad Subhan. Karangan laki-laki berdarah Aceh-Minang ini mampu membawa saya hanyut ke dalam kisahnya dan saya merasa sangat dekat dengan kisah tersebut. Rinai kabut dari Singgalang akhirnya singgah juga di Palembang. Semoga novel pertama MS ini turut menuai kesuksesan layaknya kesuksesan 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.'

***

Note: Ini bukanlah resensi, ini juga bukan timbangan buku, hanya sebentuk ulasan mengenai kesan saya setelah membaca RKS. Mungkin ada yang kurang berkenan bagi Pengarang mengenai ulasan di atas. Saya mohon maaf dan harap dimaklumi. Masih belajar menulis.. :). Selain itu, ulasan RKS di atas juga salah satu bentuk terimakasih kepada Pengarang (MS) yang telah mau mengirimkan RKS. Juga, terimakasih kepada si 'Bro' yang telah membuat saya tak mau kalah dari dia untuk segera memiliki buku ini. :))

*)rukan panggung, 24th march 2011 19;19 waktu si kompi.

6 comments:

NorzitaMohdDom mengatakan...

Tuti..anda juga seorang penlis yang baik.... :)

Saya sedang dalam usaha untuk mendapatkan senaskah RKS dari penulisnya yang sangat baik hati mau membantu mengirimkan kepada saya...

Dari tulisan Tuti saja sudah membuat saya tak sabar untuk memulakan pembacaan RKS...

Tuti..anda juga ada bakat menulis..kenapa tak mau jadikan sebagai karier...?

tutihandriani mengatakan...

terimakasih bu Nor.. sudah singgah di halaman saya. kalau ibu berminat buku RKS, langsung saja klik: http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/

selamat membaca.. :)

o y, saya izin share link blog ibu pada list blog saya ya.. terimakasih.

Anonim mengatakan...

benar.
tuti penulis yang bisa diandalkan.

terus menulis kawan!

tutihandriani mengatakan...

terimakasih buk.. tapi ulfiarahmi lebih handal..
sekali lagi, terimakasih atas semangatnya,
hanya inilah perintang hati, buk

barbie angel mengatakan...

kak,klo ada tmn2yglaen yang pengen baca bukunya,bisa didapatkan di Toko Buku Ananda Simpang Bukit Besar Palembang.trimakasih

tutihandriani mengatakan...

terimakasih atas infonya ya.. maaf, setelah kk view blognya, g keliatan yang punya blog siapa? kalau boleh tau yang punya blog barbie angel siapa ya? trmkasih sebelumnya.. :)

Posting Komentar