Si Bapak Tukang Gorengan dan Minggu yang Membebaskan


Seperti biasa, hari Minggu adalah hari ngebabu. Biasanya aku menamakan Sunday is Ngebabu’s day. Rutinitas yang dilakukan layaknya rutinitas para kaum ibu rumah tangga. Mulai dari mencuci, nyetrika, belanja, bersih-bersih, dan memasak.

Minggu kali ini agak berbeda. Sepanjang perjalanan kami dari mess menuju pasar dan pulang lagi ke mess ada beberapa yang menarik perhatian kami. Di sepanjang jalan, teman saya sibuk memperhatikan rumah-rumah yang berjejer di kiri dan kanan jalan. Satu rumah menarik perhatian kami, rumah berwarna pink pastel dan abu-abu. Simpel dan indah, demikian temanku menilai. Akupun meng-iyakan.
"Andai saja, kantor kita dekat dengan kampung..!" temanku berandai.

"Iya ya," aku mengulas. Insyaallah, aku akan punya rumah indah nantinya, dalam hati aku bermimpi.

Sesampainya di tempat kami berbelanja, tengah asyik memilih ini-itu untuk bahan memasak, aku dan teman tiba-tiba kaget. Terdengar suara perempuan teriak-teriak dengan bahasa daerahnya -- bahasa Palembang, tentu kami tak mengerti. Akupun bertanya kepada Ayu' (kakak perempuan) warung tempat belanja, "Mereka kenapa Yu'?"

Ayu' warung mengatakan mereka lagi bertengkar, ia juga kurang mengetahui apa sebab pertengkarannya. "Sudah biasa begitu," katanya.

Temanku ikut berkomentar, "Masih pagi sudah ribut. Dasar..!!"

"Iya, kasihan saja. Hari mereka diawali dengan keributan, ditambah lagi berteriak-teriak sambil menggendong anak bayi. Kasihan bayinya," kataku.

Selesai berbelanja, kami pulang. Kemudian singgah di persimpangan. Di sana ada Bapak yang jual gorengan. Kami mampir, tentu untuk membeli.

"Pak, gorengan... ," ujarku dengan arti meminta si Bapak ambilkan gorengan.
Si Bapak diam.

Kuulangi lagi, mungkin si Bapak kurang dengar karena suara kompor gas yang sedang menyala ditambah lagi mobil yang lalu-lalang melintas di jalan raya. "Pak, gorengan.. yang di kuali belum matang ya?" tanyaku.
Si Bapak kembali acuh.

"Pak, Pak, Bapak, kami mau beli gorengan," aku mengulangi berkali-kali dan lebih mendekat kepada si Bapak yang sedang asyik mengaduk gorengannya.

Si Bapak baru sadar, kalau ada kami di sampingnya. "Maaf, .. " jawab si Bapak.
Aku dan temanku saling melirik, bingung. Kami duduk di bangku yang telah disediakan di tempat si Bapak menjual gorengan. Menunggu gorengannya matang karena kami terlalu pagi. Mungkin kami pelanggan pertama yang membeli dagangan si Bapak.

"Aku ngelamun," kata Bapak itu.

"Kenapa pak, ingat kampung ya," tanya temanku.

"Iya," jawab si Bapak singkat.

Karena penasaran, aku bangkit dari tempat duduk dan betanya lebih lanjut sama si Bapak. "Bapak asal mana, Jawa?" aku sok tahu.

"Iya, Bandung."

"Tinggal di sini dimana, pak?"

"Daerah Bukit, Bukit Kecil," jawab si Bapak yang mencelupkan gorengan ke kualinya.

"O,,," aku melongo.

Setelah gorengannya matang, dan membungkus gorengan pesanan kami, si Bapak tiba-tiba menceritakan kalau iya sedang teringat keluarganya di rumah, terutama anak perempuannya. "Anakku perempuan, tak mau sekolah, sudah dikasih modal dan motor, tapi malah dia tak mau sekolah lagi. Pusing aku, dia perempuan jadi apa dia nantinya?"

Sayang, si Bapak baru bercerita ketika kami telah mau beranjak pergi. Temanku pun sudah menarik tanganku untuk pulang.

Di akhir percakapan aku hanya mengatakan, "Jangan melamun lagi ya pak, nanti kompornya meledak," kataku asal, berniat si Bapak tertawa mendengar candaanku.
"Iya," jawab si Bapak singkat.

Kami berlalu, meninggalkan si Bapak tukang gorengan. Di perjalanan yang kira-kira 300 meter menuju mess, kami teringat si Bapak.
"Kasian Bapak itu ya," kataku.

"Iya, jauh-jauh merantau dan begitu susahnya cari uang, si anak tak mengerti keadaan," jawab temanku

Aku menambahkan, "bagaimanapun setiap orangtua pasti menginginkan anaknya berhasil, lebih baik dari mereka, tentunya."

"Benar, apalagi dia perempuan, kalau tidak sekolah, mau ngapain lagi?" temanku semakin serius.

Kami pun sampai di mess, lanjut memasak dan melupakan si Bapak tukang gorengan. Sembari memasak kami sarapan dengan gorengan yang dibeli dari si Bapak. Enaknya. Aku kembali ingat nasib si Bapak tukang gorengan. Apakah dia masih saja melamun, kalau saja dia masih melamun, bahaya juga. Kalau-kalau nanti ada orang berniat jahat. Semoga si Bapak tukang gorengan baik-baik saja, dan anaknya kembali sadar.

***

rukan panggung, 10:43 di Minggu yang 'membebaskan'

0 comments:

Posting Komentar