Let's Start to Merantoa (Merantau)

Hari ini Alhamdulillah aku terima gaji. Gaji yang mungkin menurut Sarjana lain bukanlah sebanding dengan background pendidikanku. Tapi aku tak masalah, inilah pilihan. Ketika aku memilih aku sudah siap terima konsekuensi apa pun yang aku terima. Alhamdulillah, dengan gaji apa adanya aku tak lagi menggantungkan kebutuhanku pada kedua orang tuaku. Alhamdulillah, aku menyisakan sedikit gajiku untuk orangtuaku atau pun membantu biaya pendidikan adikku. Alhamdulillah, aku sisakan gajiku cukup untuk kebutuhan bulananku saja, sisanya kukirim pulang. Ini adalah kiriman ke-empat sepanjang episode merantauku. Aalhamdulillah aku merasa pendapatanku jauh mencukupi kebutuhanku. Alhamdulillahirabbil'alamin.

Seorang teman sesama bekerjaku bilang, tak usah kirim dulu pulang, penuhi kebutuhan kamu dulu, aku hanya merespon dengan senyum palsu. Aku membatin, kenapa aku mesti jauh-jauh mencari uang ke negeri orang kalau aku tak mengabdikan jerih payahku untuk keluargaku. Dari awal, kebulatan tekadku merantau hanya untuk mencari uang, mencari uang bukan untuk kesenanganku, melainkan untuk keluargaku. Aku hanya ingin mengabdi kepada kedua orang tuaku.Tak ada yang dapat aku perbuat untuk membalas jasa orangtuaku melainkan dengan cara ini.

Aku lepaskan keinginanku untuk menjadi jurnalis. Jurnalis menurutku adalah profesi yang begitu mulia. Kenapa tidak, melalui Jurnalis masyarakat mampu menyerap informasi. Jurnalis itu ibarat ilmu berjalan. Awalnya aku sudah memulai bekerja di salah satu biro lembaga kantor berita nasional di provinsiku. Meski baru berstatus calon pewarta, aku senang. Senang menjalani rutinitas. Tapi ada daya, aku merasa apa guna aku menjalani pekerjaan yang aku senangi sementara aku belum bisa berbuat apa-apa untuk orangtuaku. Kian kemari liputan, wawancara sana-sini, cukup menguras energi dan materi. Keuanganku mulai menipis. Selama bekerja aku mengandalkan uang beasiswa skripsiku. Alhamdulillah, judul skripsiku lolos untuk menerima beasiswa. I-MHere namanya. Uang sebesar lima juta aku kantongi, sejumlah sekian terlalu banyak untuk kebutuhanku selama menulis skripsi. Hingga gelar Sarjana Pendidikan mengekor di belakang namaku, uang itu masih banyak tersisa. Namun, lama-kelamaan uang itu mulai habis. Mau minta kepada orangtua, gengsiku terlalu tinggi. Cukup aku menggantungkan kebutuhanku kepada mereka selama di bangku kuliah saja. Sekarang saatnya aku mandiri.

Baru seminggu aku menikmati pekerjaan sebagai calon pewarta, tiba-tiba ada tawaran yang menggiurkan dari sebuah organisasi/LSM yang cukup menarik perhatianku. Di sana para Jurnalis Independen, jurnalis yang mengikuti kode etik jurnalistik. Tapi, aku bukan ditawari untuk menjadi jurnalis, melainkan untuk menjadi staf. gaji per bulan mereka tawarkan, aku 'nggak neko-neko'. langsung aku terima tawaran itu, aku pun bersiap untuk terbang ke Semarang untuk mengikuti pelatihan Keuangan. Yes, aku jalan-jalan lagi.

Aku memilih untuk resign dari pekerjaan pertamaku. Apa sebab? Apalagi kalau bukan uang. Aku mesti banting stir untuk memenuhi kebutuhanku dan ambisiku untuk membantu orangtua begitu menggebu-gebu. Aku korbankan kesenanganku atas pekerjaanku. Kenapa tidak, bekerja menjadi seorang jurnalis salah satu impianku. Hanya seminggu aku lakoni, terlalu banyak manfaat dan pengalaman yang aku dapatkan. Berita-beritaku cukup mendapat pujian dari para redakturku. Hingga, ketika aku memilih resign, melalui seniorku yang juga bekerja di sana sempat mereka berniat untuk menempatkan aku di posisi redaktur. Tentu butuh proses. Terlepas benar atau tidak dari yang mereka bicarakan, sedikit aku bangga, ternyata pengalaman singkatku di sana tak sia-sia. Alhamdulillah pekerjaanku mereka hargai.

Lepas dari kesibukan sebagai calon pewarta, aku sibuk dengan beragam program di LSM tempat aku bekerja. Di posisi admin n finance staff di LSM tersebut. Selama bekerja disini, aku banyak bertemu orang-orang hebat. Tokoh-tokoh jurnalistik. Begitu mudah aku berinteraksi dengan mereka. Ya, aku menyenangi pekerjaan ini, aku berkumpul dengan orang-orang hebat. Orang-orang berkarakter. Diskusi dan banyak pelajaran aku dapatkan selama bekerja. Tapi, kembali ke masalah sebelumnya, aku masih saja belum bisa berbuat banyak untuk orang tua dan keluargaku. Bekerja di LSM yang menggantungkan kelangsungan lembaganya dari donatur, tak membuat aku bisa bertahan. Aku mulai putar arah, kemana aku akan berpindah. Cukup pekerjaan sebelumnya jadi pijakan untukku melangkah lebih jauh dan lebih baik, Insyaallah.

"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelahlah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang"--Imam Syafii

Akhirnya aku memutuskan untuk merantau dan bekerja di sebuah perusahaan. Sekarang aku berada di sini. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang sewa atau jual alat berat. Nah, di sini cita-cita merantauku berawal. Sedari mau selesai kuliah aku sudah punya ancang-ancang untuk merantau. Melalui salah seorang teman di situs pertemanan dengan enteng aku meminta dicarikan pekerjaan. ternyata itu teman serius, dia selalu mengupdate info mengenai pekerjaan di daerahnya, Palangkaraya. Kalimantan, hm.. salah satu pulau yang ingin aku kunjungi. Setelah meeyakinkan diriku bahwa dia adalah seorang teman yang baik dan benar-benar berniat untuk membantu, akhirnya aku pulang kampung, membulatkan tekad untuk menjemput izin dari kedua orangtuaku. Tapi semua di luar rencana, kedua orangtuaku menolak mentah-mentah inginku. Mengapa terlalu jauh merantau nak, di negeri kita pun kamu bisa mendapat pekerjaan. Aku pun jawab, terlalu lama dan butuh waktu untuk mendapatkan pekerjaan di sini Mak, Ma. Aku ingin segera bekerja. Ingin membantu biaya pendidikan adik-adik. Aku punya 3 adik perempuan. Aku ingin mereka semua sekolah yang tinggi. Aku tak mau mereka menjadi perempuan yang miskin ilmu. Karena aku yakin tingkat pendidikan seseorang mampu merubah cara berfikir mereka. Bukannya aku menyangsikan kemampuan orangtuaku untuk memenuhi kebutuhan pendidikan adik-adikku, tapi aku tak ingin orangtuaku terus banting tulang bahkan membuat hutang untuk memenuhi kebutuhan adik-adikku.

==Masih kental di ingatanku percakapan antara aku dengan emakku. Kira-kita setengah tahun jelang wisudaku, emakku berkeluh. Segeralah selesaikan kuliahmu, nak. Emak sudah tidak sanggup lagi menguliahkanmu, emak sudah berhutang ke orang lain. Selesai kuliah, segera kamu bekerja dan mudah-mudahan kamu bisa membayar utang emak. Ucap emakku, lirih. Sewaktu itu, aku tengah makan siang, berdua saja dengan emak. Mendengar keluhan emak, aku tercekat, kerongkonganku menyempit, nasi beserta lauk yang awalnya begitu enak terasa tiba-tiba enggan melalui tenggorokanku. Air mata menggenang di sudut bola mataku. Kupalingkan wajahku. Setelahnya, aku hanya menjawab, iya mak. Singkat saja. Segera kusudahi makan enak itu. Sudahlah, itu cukup menjadi penyemangatku untuk segera menyelesaikan kuliahku waktu itu. Selama empat tahun, Alhamdulillah cukup untukku menimba ilmu di perguruan tinggi yang kucinta itu.==

Kembali ke keinginan merantauku. Mendengar alasanku demikian, orangtuaku tenggelam dalam keheningan. Mereka sejenak terdiam. Air mataku pun tak terbendung lagi. Izinkahlah aku Mak, Pa, untuk pergi merantau untuk meraih impianku. Impian yang tak lain tak bukan adalah berbakti kepada kalian, orangtuaku. Bulir Bening kembali tumpah dari mataku. Ternyata, air mataku tak mampu meluluhkan pendirian kedua orangtuaku.

Ayahku pun buka suara. Tak ada cerita merantau jauh-jauh nak. Kalau kamu hendak merantau, jangan terlalu jauh. Cukup di dua pulau saja, Sumatera dan Jawa. Kalau memang begitu teguhnya keinginanmu untuk merantau. Kami bukan karena apa-apa. coba pikirkan, apa kata orang nanti, anak gadis dilepas begitu saja ke negeri orang yang sejauh itu, tanpa ada sanak keluarga di sana. Selain itu, andai kata nanti kamu sakit, atau kami di rumah yang sakit, bagaimana kita hendak bersua. Negeri itu terlalu jauh nak.

Mendengar alasan mereka aku pun tak mampu lagi meminta. Aku terdiam, dengan air mata yang masih juga belum terbendung. Setelah pembicaraan itu, aku meninggalkan orang tuaku. Pergi untuk tidur, namun mata ini tak kunjung terpejam. Aku ingat akan kebaikan hati seorang teman nun jauh di sana. Dia begitu berbaik hati mencarikan pekerjaan untukku. Dia sudah menyiapkan pekerjaan untukku, bekerja di sebuah media tapi aku bukan ditempatkan sebagai jurnalis melainkan sebagai staff. Temanku itupun punya alasan kenapa aku tidak ditempatkan di posisi jurnalis, karena katanya dia tahu aku perempuan, cukup beresiko kalau turun ke lapangan untuk mencari berita. Baiknya dia. Tapi, pikiranku ini terlalu positif. Orang-orang disekitarku mengkhawatirkan kebaikan dia.

Mereka beralasan, tak usah percaya kepada dia. Siapa yang tahu maksudnya nanti seperti apa. Nanti malahan aku terjebak oleh rayuannya. Banyak yang berprasangka demikian. Tapi tidak dengan prasangkaku. Aku sudah mempelajarinya, melalui profilnya di halaman pertemanan itu, dan selama percakapanku dengan dia, tak ada yang melenceng menurutku. Bahkan, hingga soal tempat tinggalku di sanapun dia pikirkan. Menurut dia, nanti aku di sana tinggal di rumah sewa yang lingkungannya aman. Karena, aku perempuan, alasan dia lagi. Baiknya dia.

Sejak penolakan permintaanku terhadap kedua orangtuaku untuk merantau, aku mesti berfikir lebih jauh. Apa yang mesti aku perbuat. Apa yang harus aku lakukan. Aku berusaha untuk tidak membenci orangtuaku, karena aku tau mereka masih cukup trauma dengan pengalaman kakak sulungku yang meninggal di negeri rantau. Kejadian ini terlalu memukul perasaan keluarga kami, termasuk kakak perempuan keduaku, yang memilih bungkam semenjak aku punya ancang-ancang untuk merantau ke negeri Kalimantan. Dia tak pernah mau membahas, dan tak mau tau dengan rencanaku itu. Dibalik diamnya itu, aku mulai mengerti, mereka semua sungguh menyayangiku, sungguh mengkhawatirkanku.

Temanku nun jauh di sana pun menelponku. dari ujung telpon dia bertanya, bagaimana, jadi ke sini? tanya dia. Aku terdiam. Kenapa, tidak dapat izin? Aku mengiyakan. Aku tak mampu meyakinkan orangtuaku, Aku tak mengantongi izin dari mereka. Temanku pun diam. Lalu dia bertanya lagi. Bagaimana caranya agar orangtuamu beri izin? Aku menyerah, jawabku. Cobalah sekali lagi kamu bicara kepada orangtuamu, kalau mereka tidak izin jua, bagaimana kalau aku ngomong langsung dengan orangtuamu, mudah-mudahan mereka mengerti. Aku tersenyum, senyum yang tentunya tak dia lihat. Baiklah, nanti aku coba lagi. Namun usahaku tetap saja sia-sia, orangtuaku semakin keras untuk melarang keinginanku. Aku tak patah arang, aku telpon kakak laki-laki yang satu-satunya aku miliki. Aku minta izin untuk pergi merantau, aku pinjam uangnya untuk berangkat dan sedikit simpanan untuk biaya awalku di sana. Kakak laki-lakiku dari ujung telepon memberi izin, mungkin dia cukup mengerti dengan alasanku dan sedikit mempercayaiku. Tapi, izin saja tidak cukup, kakakku tak punya uang untuk dipinjami kepada aku. Dia mengatakan, bahwa dia hidup pas-pasan dengan gaji seadanya, jadi tak ada yang bisa dia usahakan.

Aku sudahi pembicaraan via telpon itu, akupun kembali termangu. Ya sudah, berarti memang belum takdirku untuk merantau, belum jalanku untuk menunjukkan kepada orangtuaku bahwa aku benar-benar ingin mengadu nasib di negeri orang. Kembali, temanku nun jauh di sana menelpon. dia menanyakan apakah aku sudah diberi izin. Aku menjawab tidak akan ada izin dari orangtuaku. Ya sudah, tak usah pikirkan lagi, kataku kepadanya. Temanku pun membalas dengan mengatakan kalau begitu, apabila kamu sudah dapat izin, jangan lupa kabari aku, akan aku bantu. Ridho Allah juga ridho orangtua, katanya menasihatiku. Semoga kamu sukses dan segera dapat pekerjaan katanya kepadaku lagi.

Begitu baik kamu teman, terbanglah terus Sang Elang Hitam. Sukses selalu untukmu. :)

rukan panggung, 07 March 2011, 4.22 PM

0 comments:

Posting Komentar