Cari-cari Relikui Pedang Nabi

--lokasi pameran--
Sejak Minggu (1/5) lalu hingga Senin (6/6) mendatang warga Palembang dan sekitarnya memiliki objek kunjungan untuk mengisi waktu libur mereka. Ada Pameran Internasional Pedang Nabi di Gedung Baitul Ulama Yayasan Masjid Agung Palembang. Lokasi gedung ini tak berada jauh dari Masjid tersebut, hanya dipisahkan oleh jalan raya di sisi kanan masjid. Pameran ini berlangsung dari pukul 09.00 s.d 21.00 setiap harinya. Tak ada salahnya kita, khususnya para orangtua untuk mengajak anak-anaknya ke pameran tersebut. Banyak hal bisa didapatkan dari pameran tersebut, juga memperkaya pengetahuan mereka tentang sejarah perjuangan nabi.


Pada Senin sore (16/5) lalu, saya bersama 'kakak' juga meluangkan waktu untuk mengunjungi pameran internasional yang telah berlangsung sejak 15 hari lalu. Ba'da Ashar kami keluar rumah menempuh perjalanan yang lumayan lancar karena hari itu bertepatan dengan cuti bersama yang ditetapkan pemerintah. Berbekal informasi dari harian daerah di sini, kami dengan pasti memasuki pekarangan masjid Agung yang lumayan luas dan asri itu. Segera si 'kakak' memarkirkan kendaraan tepat di jalur pekarangan depan masjid. "Pamerannya dimana?" si 'kakak' bertanya. "Kita coba lihat ke dalam saja kak," saya jawab. Setelah mengitari setengah dari bagian masjid tak ada tanda-tanda keramaian di sana. Tak sengaja kami melihat ada dua perempuan yang tengah bercakap-cakap di dalam masjid dan memegang selembar foto. Saya melihat gambar pada foto tersebut dan membaca tulisan di dalamnya. Seseorang tengah berpose di depan salah satu pedang, di bawahnya tertulis pedang nabi. "Oh, kita tanya mereka aja kak, dia pasti pulang mengunjungi pameran," saya katakan lagi sama si 'kakak'.

"Mbak, pameran itu tempatnya dimana ya?" tanya si 'kakak' sambil mengarahkan telunjuknya ke selembar foto yang tengah dipegang perempuan tersebut. Dua perempuan itu tersenyum dan berbaik hati menjelaskan lokasi pameran kepada kami. Saya menangkap arahan dari perempuan itu, lokasinya di perpustakaan masjid. Nah, masalahnya lagi kami juga tidak tau dimana lokasi perpustakaan itu. Maklum, sama-sama kaum pendatang di kota pempek ini. Kemudian kami mengikuti arah telunjuk perempuan yang memberitahu kami tadi. Kami melewati pelataran masjid di sisi kanan dan celingak-celinguk kiri-kanan belum terlihat tanda-tanda keramaian. Daripada nyasar kian-kemari lebih baik bertanya. Malu bertanya sesat di jalan, bukan?

Kali ini target kami bertanya ada bapak-bapak yang tengah asyik melihat siswa SMA yang tengah berkonvoi mengelilingi bundaran air mancur dekat Masjid Agung dalam rangka merayakan kelulusan mereka. Ramai sekali. Bising juga, suara knalpot mereka menderu. Kali ini, masih si 'kakak' yang bertanya. "Pak, pameran pedang nabi itu dimana ya?" Dengan senang hati si bapak menerangkan arah tempat yang kami cari. "Lurus, depan itu belok kiri, nah... gedungnya sederet dengan gedung hijau itu pas di seberang jalan ini," si bapak menunjuk gedung hijau yang juga kelihatan oleh kami. Penjelasan si bapak lumayan membingungkan, lama sekali kami mengerti. Akhirnya setelah berulang-ulang si bapak itu menjelaskan, "Oh.." mulut kami membulat, pertanda mengerti.

Setelah berterimakasih kepada si bapak yang telah berbaik hati memberi petunjuk kepada kami--tentu saja si bapak juga terganggu karena ia tengah asyik memperhatikan konvoi anak SMA tadi-- kami langsung menuju tempat pameran. Berjalan kaki mengikuti trotoar dan menyeberang jalan raya yang lumayan padat oleh kendaraan. Akhirnya, kami menemukan gedung pameran.

Gedung bertingkat dua, lumayan ramai tapi tak terlalu. Memasuki pelataran depan gedung kami memperhatikan setiap penjuru. Tepat di sisi kiri depan gedung dibuat ruang khusus untuk pengunjung yang ingin berfoto. Langsung jadi, Rp.15 ribu/foto cetak berikutnya Rp.10 ribu/lembar. Hm.. lumayan juga, saya bicara dalam hati.

Tak berlama-lama kami segera menuju meja panitia, sebelum masuk kami mesti membayar Rp 15ribu per orang. Lima belas ribu untuk umum dan Sepuluh ribu untuk pelajar. Salah satu panitia tersenyum ramah kepada kami dan seketika itu pula ia bertanya, "Udah berapa bulan mbak?" matanya melirik ke arah perut si 'kakak'. "Baru masuk enam," jawab si 'kakak' singkat. Panitia pun mempersilahkan kami masuk dan memperingatkan kami agar tidak mengambil gambar dengan kamera atau alat perekam apa pun selama dalam ruang pameran.

Memasuki ruang pameran, saya memperhatikan setiap sudut ruangan. Beberapa petugas meminta kami untuk menunggu dulu karena ruang yang pertama harus kami masuki sedang berisi pengunjung sebelumnya. Ya, pertama kali setiap pengunjung disuguhkan pemutaran film terlebih dahulu. "Silahkan duduk dan mohon menunggu selama dua menit," ujar salah seorang panitia dengan ramah. Sembari menunggu, saya mengambil foto seadanya. Kalau masih di luar ruangan tak ada yang melarang saya mengambil foto. Foto yang saya ambil pun tak seberapa, karena tak ada banyak objek yang menarik.

--riwayat gedung--
Kalau dulu waktu di organisasi kampus, saya bisa dengan leluasa bertanya kepada panitia, bisa mengambil gambar dengan bebas. Itu karena saya utusan dari media kampus, alias jurnalis 'kurcaci' atau lebih kerennya wartawan kampus. Tapi sekarang, cukuplah saya sebagai pengunjung pameran yang ingin tahu saja. Karena tak tahu lebih jelas mengenai tempat pameran saya shoot salah satu dinding yang di sana ditempel keramik peresmian gedung tersebut. Terjawab sudah salah satu unsur 5W+1H saya, Where? Di dinding itu telah tertulis lengkap nama gedung, tanggal peresmian dan informasi lainnya.

Ternyata panitia tadi benar, kira-kira memang hanya dua menit kami menunggu. "Silahkan masuk," panitia mempersilahkan kami memasuki ruang yang berlabel 'ruang film'. Hanya ruang sederhana, berukuran kira-kira 3x5 meter, film diputar dengan media LCD yang gambarnya dipantulkan ke dinding bagian ruang tersebut. Di dalam ruang gelap itu, diputar film tentang perjuangan Salahudin Al Ayyubi di Turki. Sebentar saja, kira-kira 15 menit. Saya tak terlalu paham dengan film yang diputar, selain terlalu singkat ruang kurang kondusif sebagai tempat menonton. Lumayan berisik, ada yang terima telpon ada pula yang lalu-lalang selama film ditayangkan.

Setelah menonton film, panitia mengarahkan kami ke ruang pameran. Nah, ini yang saya nantikan. Saatnya memanjakan mata dengan menyaksikan jejak-jejak Nabi Muhammad SAW dan sahabat dalam bentuk relikui (peninggalan barang atau benda suci).
Petugas menjelaskan satu per satu benda yang terpajang. Hm.. tak terlalu memuaskan. Yang menjelaskan terkesan menghafal, terburu-buru, pengunjungpun kurang puas. Atau memang saya saja yang banyak maunya?

Selain itu, seluruh relikui yang dipajang pada pameran tersebut hanyalah replika. Bukan asli peninggalan nabi. "Ini semua dibuat dengan bahan yang sama dengan ukuran 1:1 alias ukuran persis sama dengan yang sebenarnya," jelas petugas. Kata petugas itu lagi, yang asli tidak bisa dibawa kemana-mana. Semuanya tersimpan di Paviliun Relikui Suci, sebuah ruangan terpisah dari Istana Topkapi, Turki. Ya.. kecewa lagi deh. Tapi tak apalah. Melihat relikui tersebut membuat saya lebih mudah mengenal sosok nabi dan para sahabatnya.

Seperti yang diinstruksikan di pintu masuk, pengunjung tak diizinkan mengambil gambar di pameran. Tak menghiraukan panitia, saya pun bertingkah. Mengambil gambar di dalam ruangan tersebut. Satu, gambar pedang nabi dari kejauhan berhasil saya abadikan. Kedua, jejak telapak kaki nabi. Nah, selesai mengambil gambar ini saya kepergok. Salah seorang petugas memaksa mengambil handphone si 'kakak' dari tangan saya. Beruntung si 'kakak' dengan sigap mengambil balik. "Sini, biar saya yang hapus," si 'kakak berkilah. Alhasil, petugas menyerah. Hua.... saya dengan wajah bersemu merah, tersipu malu. Malu bukan digoda tapi malu karena ditegur petugas. Hua... malu. Tapi, syukurlah gambarnya masih aman. Tadi, Si 'kakak' hanya berpura-pura saja menghapus. 

--replika telapak kaki Nabi--foto hasil curi2
Syukurlah, lagi pula apa salahnya mengambil gambar. Sudah jelas pelayanan pamerannya kurang memuaskan, mengambil gambar pun tak boleh. He... alasan, sebanding kok dengan harga tiket masuk yang dipungut. Kalau setiap pengunjung diizinkan mengambil gambar mana ada lagi yang mau datang ke pameran mereka. Kasihan juga, panitia sudah bersusah payah menjalin kerja sama dengan pemerintahan Turki untuk mendatangkan langsung benda-benda tersebut ke sini tapi tak ada yang mengunjungi. Hi..

 
Demikianlah cerita berbelit-belit saya seputar kunjungan pameran nabi. Hari beranjak sore. Mega merah menggantung di tiap sudut langit. Sangat memukau. Kami pun menghabiskan sore menunggu azan magrib dengan mencicip jajanan khas Palembang di pekarangan masjid. Aih, sore yang indah. Azan pun menggema ke seantero kota Palembang. Saya dan si 'kakak' beranjak mensucikan diri, bergegas memasuki masjid kebanggaan wong kito itu. Magrib berjamaah. Sudah lama tidak, sungguh mengobat rindu.

Semoga perjalanan ini bermanfaat untuk saya, si 'kakak' beserta calon bayi, dan siapa saja tentunya.
--hijaunya halaman masjid--

--bersama si 'kakak'--

















--Masjid Agung dari salah satu sisi--
 *)Untuk ulasan tentang relikui lebih lengkapnya, saya akan posting di tulisan berikutnya. Ini sekadar catatan perjalanan saja.. Semoga yang baca tidak bosan

Lima Huruf Saja, BATAS

 
Satu lagi, film lokal yang menarik perhatian saya. Lumayan membuat penasaran. Sebuah film dengan tema kehidupan sosial masyarakat di daerah perbatasan. Selain tema yang baru, film ini juga menarik menurut saya karena dibintangi oleh pemain-pemain senior. Seperti Piet Pagau dan Jajang C. Noer. Tentu, tak perlu diragukan lagi kemampuan akting artis gaek ini.

Judul film ini hanya terdiri dari lima huruf. BATAS. Singkat saja. Tapi makna yang disuguhkan tak sesingkat kata itu saja. Batas yang dimaksud dalam film ini bukan hanya memberikan gambaran tentang apa yang terjadi di perbatasan, tetapi juga menceritakan tentang bagaimana seorang manusia harus menghadapi masalah yang dihadapi dari lingkungan sekitar dan mencoba melewati batasan yang ada dalam dirinya sendiri.



Batas merupakan sebuah film layar lebar yang terinspirasi dari problematika dan dinamika kehidupan sosial masyarakat desa yang berada di wilayah Entikong, Kalimantan Barat. Entikong adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Entikong memiliki jalur perbatasan darat dengan negara Malaysia khususnya Serawak sehingga jalur darat sering disebut jalur sutera karena bisa dilewati langsung oleh bus baik dari Indonesia maupun dari Malaysia tanpa harus menyebrangi sungai maupun laut.


Film yang disutradarai Rudi Sudjarwo ini bercerita mengenai seseorang yang berdiri diantara batas keraguan, dilema, dan juga antara keinginan pribadi dengan adaptasi di lingkungan yang baru. Sebuah film yang memperlihatkan bahwa batas tak hanya bermakna geografis, namun juga psikologis.

Marcella Zalianty, sang produser sekaligus memerankan tokoh Jaleswari, pemeran utama dalam film yang baru tayang sejak 19 Mei lalu. Berperan sebagai Jaleswari, perempuan yang tengah hamil muda diutus oleh perusahaannya dalam rangka menyelesaikan permasalahan program Corporate Social Responsibility (CSR) di bidang pendidikan. Program pendidikan di wilayah perbatasan tak pernah berhasil. Setiap guru yang dikirimkan tak pernah bertahan lama. Terlalu banyak tekanan bagi kaum pendatang untuk bertahan di beranda depan negeri ini.

Saatnya Jaleswari membuktikan bahwa ia mampu merubah pendidikan anak negeri perbatasan tersebut. Ia tak gentar dengan perlakuan sekelompok orang yang tak senang dengan kedatangannya. Ia mesti melampaui batas keberaniannya. Ia bertekad membawa anak-anak perbatasan mendapatkan pendidikan layak agar mereka mampu menjalani hidup dengan lebih baik. Karena itu, dengan kepercayaan diri tinggi, Jaleswari menyatakan kesanggupan mengeksplorasi daerah perbatasan Kalimantan itu dan menjanjikan penyelesaian masalah dalam dua minggu.

Namun, permasalahan tak sesederhana dugaannya. Masyarakat lebih memilih jadi tenaga kerja yang dijanjikan akan meraih kekayaan oleh penjual jasa bernama Otig (Otig Pakis). Salah satu korbannya bernama Ubuh (Ardina Rasti), buruh migran Indonesia yang menjadi korban ketidakadilan dan melarikan diri dari negeri tetangga.

Otig adalah salah seorang penduduk negeri perbatasan yang tidak menyukai kehadirannya. Bermacam teror dihadapkan kepada Jaleswari untuk mengusirnya dari kampung tersebut. Namun, tekad Jaleswari semakin bulat. Tak akan meninggalkan kampung tersebut sebelum misinya selesai. Tak dipungkiri berbagai konflik selama di kampung Entikong juga membuat Jaleswari merasa terguncang.

Saat inilah kepala suku yang dipanggil 'Panglima' (Piet Pagau) membantu menuntun Jaleswari untuk  memahami 'Bahasa Hutan' agar ia lebih memahami lingkungan. Dan lebih tegar untuk terus berbuat banyak untuk penduduk Entikong. Di sini akting Piet Pagau sangat memukau. Kharisma ia sebagai 'Panglima' sangat menonjol. Dialeg daerah begitu kental.

Tak hanya Piet Pagau dan Jajang C. Noer (Nawara) , film ini juga menghadirkan Arifin Putra (Arif), Perwira Intelijen yang bertugas menjaga daerah perbatasan. Juga, pendatang baru Marcell Domit (Adeus) dan Alifyandra (Borneo). Adeus adalah satu-satunya guru pribumi yang sudah mulai putus asa untuk mendidik anak-anak kampung. Ia dihantui rasa takut karena terus-menerus menerima teror dari Otig. Maka, semangat itu kembali timbul setelah perjuangan yang dibuktikan oleh Jaleswari. Sementara, Borneo adalah salah seorang murid Adeus. Cucu dari Nawara dan 'Panglima'. Borneo adalah salah satu wajah yang berada di wilayah terdepan garis batas Indonesia.  Ia bercita-cita menjadi presiden dan bertekad akan membela negerinya dari ancaman apapun.

Dalam film produksi Keana Production ini, penonton akan diajak membuka mata terhadap konflik daerah perbatasan, salah satu hal yang jadi masalah nyata republik ini. Dengan disutradarai Rudi Soedjarwo, sineas yang dikenal kalau membuat film dengan sederhana, maka film ini layak diterima oleh seluruh kalangan penonton. Mudah untuk dipahami. Semoga menambah kecintaan generasi kita pada negeri. Meskipun harus melampui batas-batas hidup ini.***
-cast crew-

Teruntuk: Diana Devichairani Ady

"Ibuk.. tolong diisi buku ini ya..," anak berseragam putih-biru itu menyerahkan sebuah buku kepadaku. Semacam buku agenda. Sampulnya berwarna merah, lumayan tebal, masih baru dan baru sedikit terisi. Hari itu tepat hari perpisahanku bersama kawan-kawan seperjuangan dengan seisi sekolah di daerah Pulau Karam, SMP negeri 4 Padang. Termasuk anak yang menyerahkan buku  tadi.

Aku lumayan kaget. Kenapa bisa anak ini menyodorkan bukunya kepadaku. "Apa yang harus ibuk isi dalam buku ini?" aku bertanya. "Terserah ibuk, yang penting diisi," katanya. Akhirnya aku menerima buku yang disodorkannya, waktu itu di meja guru piket. Anak itu dan teman-temannya baru saja selesai mengikuti lomba antar kelas.

"Tapi ibuk belum bisa isi sekarang, sebentar lagi ada acara perpisahan ibuk dengan majelis guru."

"Nggak apa-apa buk, kapan ibu bisa aja," Anak itu benar-benar ingin aku mengisi bukunya.

"Iya, ibu usahakan secepatnya ya.." aku menjawab sekenanya.

Entah apa yang aku rasakan, yang jelas sejak anak itu menyerahkan bukunya kepadaku, itu menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Ternyata, anak yang selama ini aku rasa sangat susah untuk didekati memiliki perhatian agak berbeda kepadaku. Dari kedalaman hati aku bertanya-tanya. Kenapa ia tidak menyuruh teman-temanku yang juga berpraktik di sekolah itu untuk mengisi bukunya? Kenapa hanya aku?

Setelah anak itu berlalu dari meja piket, aku termenung. Lumayan lama. Pikiranku selama ini salah. Ia selama ini kukira tak suka dengan kehadiranku dan kawan-kawan praktikku di kelasnya. Ternyata ia anak yang berbeda. Berbeda dari teman-teman lainnya. Ia begitu perhatian kepadaku. Aku merasa ketika ia menyodorkan bukunya untuk kuisi, berarti ia menginginkan ada suatu bentuk kenangan antara aku dengannya. Mungkin pikiranku berlebihan, entahlah..

Sejak buku itu diberikan, hingga detik ini aku belum juga memenuhi janji itu. Waktu itu aku berjanji secepatnya mengisi buku tersebut, alhasil itu semua bohong. Aku telah memberikan contoh yang tidak baik.. Tapi semuanya bukanlah suatu hal yang aku sengaja. Benar-benar keadaan yang tak memungkinkan. Setelah buku tersebut berpindah tangan kepadaku, aku tenggelam pada rutinitas yang begitu padat. Mulai dari tugas laporan praktik lapangan kependidikan, kegiatan organisasi, hingga skripsi. Semuanya berbarengan, sama-sama padat, sama-sama sesak. Tak boleh satupun tertinggal. Ya, aku terlalu tenggelam dengan rutinitas itu. Sehingga buku yang diberikan anak itu belum juga kuisi. Ya, mungkin juga semua itu hanya alasan.

Waktu terus berlalu. Pertemuanku dengan anak itu berakhir tepat pada waktu ia menyerahkan bukunya. Hingga sekarang, kita belum pernah bertemu lagi. Bahkan sekarang semakin kecil kesempatanku untuk bertemu dengannya. Suatu kali pascagempa di 30September lalu tak sengaja aku melewati gedung sekolah yang lumayan banyak memberi kenangan itu. Pada saat aku singgah ke gedung tempat aku pernah belajar dan mengajar itu aku berharap bisa bertemu dengan anak yang telah aku janjikan mengisi bukunya itu. Apa daya, sekolah itu kosong, tak ada siswa di sana. Kemana anak itu? Ternyata anak itu bersama seluruh siswa sekolah tersebut mesti menumpang belajar di gedung Sekolah Dasar yang lumayan jauh dari sekolah itu. Sekolah mereka tak lagi layak huni. Bahkan, meja piket tempat aku menerima buku itu, tak bisa dijajaki lagi. Terkurung oleh reruntuhan yang disebabkan oleh maha dahsyatnya gempa.

Ya sudahlah, tak perlu aku berkecil hati. Aku dan anak itu sekarang masih berada pada satu kota yang sama. Suatu waktu kami akan bertemu. Aku akan mengembalikan bukunya, aku akan bertemunya. Pun sekadar untuk saling bertukar kabar dan melepas rindu.

Kesempatan kedua yang aku punya agar bisa bertatap muka dengan anak itu. Suatu siang, di saat aku menumpangi bus kota menuju tempat bekerja, tiba-tiba di persimpangan, bus yang aku tumpangi berhenti. Kernet sibuk mengajak anak-anak berpakaian olahraga untuk menaiki busnya. Tapi yang namanya anak sekolahan, banyak alasan mereka untuk memilih bus yang akan mereka tumpangi. Mungkin saja musiknya kurang bagus, busnya kurang bagus, atau mungkin juga mereka tengah menunggu teman lainnya. Aku juga tak tau pasti juga tak terlalu ambil pusing. Hanya saja, seketika itu mataku terjurus kepada salah seorang anak yang berada di tengah kerumunan itu. Ya, anak yang menyerahkan buku itu. Kini ia telah tumbuh semakin cantik, bola mata besar, kulit putih, tinggi semampai mengenakan pakaian olahraga dan kerudung sekenanya. Layaknya anak sekolahan mengenakan kerudung. Itu dia, anak yang selama ini ingin aku temui.

Tapi, siang itu kami juga belum ditakdirkan untuk bertemu. Untuk menepati janji.

Terlalu panjang mungkin apabila aku harus menceritakan. Cukuplah. Yang jelas, setelah aku melihat anak dari atas bus yang aku tumpangi, aku sempat mengirimkan pesan singkat kepadanya. "Tadi ibuk lihat Rani, kalau saja Rani menaiki bus yang berhenti tadi mungkin kita bisa bertemu," demikian isi pesanku.

***

--Rani (ketiga dari kanan) bersama teman sekelasnya. Kelas unggulan di tingkatnya.--
Hari ini, anak itu berulang tahun. Ia tak lagi berseragam putih-biru sekarang ia telah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia bersekolah di salah satu sekolah swasta unggulan di kota itu. Aku memanggilnya Rani. Mungkin sekaranglah saatnya aku menebus janji kepada Rani. Janji yang tak sesuai sedari awal. Tak apalah. Biarlah melalui halaman ini aku akan menulis untuk Rani karena buku yang ia berikan tertinggal di kota ku dulu. Sekarang aku telah beringsut pindah ke kota yang lebih jauh, bukan dengan sengaja pula aku meninggalkan buku itu.

Selamat ulang tahun untuk Rani. Ibuk mohon maaf hingga hari ini belum bisa mengembalikan buku Rani. Sebagai penggantinya terimalah bingkisan hadiah dari Ibuk. Hadiah tak bernilai apa-apa. Hanya beruntai-untai tulisan ini. Mudah-mudahan akan memiliki sedikit kenangan bagi Rani. Mudah-mudahan Rani tak akan lupakan Ibuk. Begitu juga sebaliknya. Ibuk tak akan pernah lupa bahwa ibuk pernah memiliki siswa seperti Rani. Pertemuan kita memang singkat, tapi ibuk menyimpan banyak kenangan tentang Rani. Anak yang pintar (setiap latihan dan ulangan nilai Rani selalu bagus, rajin bertanya), cerewet (suka protes dengan guru-guru praktik lainnya, suka ngomel, dan pintar sekali menyuruh teman-teman diam ketika kelas sudah mulai ribut), rajin shalat (tak pernah absen setiap kali kita shalat dzuhur berjamaah di teras sekolah), aktif di kegiatan luar sekolah, tentunya juga Rani begitu cantik.

Di momen pertambahan umur ini, segala yang terbaik ibuk doakan untuk Rani. Tumbuhlah menjadi perempuan yang berkarakter. Dari sekarang telah merencanakan masa depan dan terus berusaha untuk membuatnya nyata. Kalau boleh meminjam kata bijak miliknya Agnes Monica; "Dream, believe, make it happen..". Ok!!

***

*)Bumi Sriwijaya, 25th May 2011, 4;49 AM

Dua Sahabatku Segera Menyatu


Akhir-akhir ini aku benar-benar merasa untuk kesekian kalinya berada di posisi diantara/ditengah-tengah benar-benar menyakitkan. Selalu menjadi tumbal atas segala yang telah dilakukan. Awalnya tak ada sedikitpun niat untuk membuat masalah. Yang ada aku hanya ingin membuat segalanya lebih baik. Hanya ingin membantu. Tapi, semua berjalan tak sesuai rencana. Meski niat baik telah ditanamkan, namun berujung mengecewakan. Tak perlulah aku beberkan apa kejadian sebenarnya.

Seharusnya aku bisa belajar banyak dari pengalaman-pengalaman serupa sebelumnya. Sudah berapa kali hubungan persahabatanku kacau karena masalah diantara tadi. Sudah berapa kali nama baikku tercoreng gara-gara ulah diantara itu. Mulai sekarang, berhati-hatilah...

Tak aku pungkiri menjadi perantara memang suatu kebahagiaan tersendiri. Ketika aku bisa membantu mempertemukan seseorang dengan seseorang lainnya, ketika membantu menyelesaikan masalah diantara keduanya, ketika aku menyaksikan mereka berbahagia, itu semua indah sekali. Bahagia.

Aku merasa ketika aku menjadi perantara, berarti mereka telah menaruh kepercayaan kepadaku. Tak ada lagi yang ditutup-tutupi. Mereka bebas berkeluh, mereka bebas berbagi, suka pun duka. Benar sekali.

Tak sekali dua kali. Tak hanya soal persahabatan, percintaan, pekerjaan, hingga hubungan keluarga. Aku sering sekali berada di posisi ini. Aku bersyukur. Meski tak bisa banyak berbuat, setidaknya aku bisa sedikit memberi arti dalam kehidupan mereka. Tapi dibalik semua itu, mungkin tak ada yang tahu. Aku benar-benar berkorban. Mengorbankan perasaan. Mengorbankan waktu. Bahkan, materi. Aku berjanji, ketika aku berada di antara mereka, aku harus bisa melakukan yang terbaik. Aku ingin berarti di kehidupan mereka. Ya, itulah yang selalu aku coba lakukan. Sama sekali tak ingin mereka mengetahui apa yang telah aku lakukan. Aku hanya ingin mereka merasakan.

Malam ini, harapanku berbuah sudah. Dua sahabatku segera menyatu. Keduanya sahabatku.Ya, keduanya, bukan salah seorang diantara mereka. Kabar bahagia ia sampaikan. Dalam waktu dekat mereka akan merajut kebahagiaan baru. Melengkapi kebahagiaan yang sudah-sudah. Terimakasih Tuhan. Aku ingin lebih banyak berbuat baik kepada orang-orang di sekitarku. Tanpa harus mereka mengetahui apa yang telah aku perbuat, apa yang telah aku korbankan. Cukup mereka rasakan. Kumohon, berilah aku kesempatan dan selalu belajar dari kesalahan.   

*)Alam Raya Residence, 23th May 2011--23.45
 

The Hole, Sederhana nan Berkelas

Saya sama sekali tak suka menonton film horror. Apalagi buatan Lokal. Film murahan (maaf..), demikian saya menilai. Dengan budget tak seberapa, mengandalkan hanya satu lokasi syuting saja (gedung tua, misalnya) dan menghadirkan para bintang seksi untuk menarik perhatian penonton. Tentu, penonton tertentu saja. Selain 'murahan' dari segi budget, film horror lokal juga 'murahan' dari segi ide. Mulai dari hantu keramas, hingga hantu kesurupan. Sudahlah hantu, kesurupan pula. Apa pula itu?? Benar-benar jauh dari logika.

Ah sudahlah, tak perlu dilanjutkan. Sekarang saya sedikit akan bercerita tentang film yang sudah saya tonton Sabtu (14/5) lalu. Menyesuaikan jadwal kedatangan kami (saya dan 'kakak') ke Cinema 21, hanya ada dua pilihan. The Hole (horror/barat) dan Purple Love (drama cinta/lokal). Hm.. yang satu horror, yang satu lagi cinta-cintaan. Setelah menimbang dan memperhatikan (cie..) akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada The Hole. Mudah-mudahan horror bikinan orang bule ini tak mengecewakan. Seat E/6 hari itu menjadi tempat duduk saya, di sebelahnya E/7 si 'kakak' (Apa pentingnya saya tulis ini ya? he..)

Check this out..!!



Genre            : Horror
Director         : Joe Dante
Script            : Mark L. Smith, Guillermo Del Toro
Producer       : Claudio Fäh, Michel Litvak, Vicki Sotheran, David Lancaster
Distributor     : Bold Films
Duration        : 98 minutes
   


Berpindah-pindah ke tempat baru bagi sebagian orang memang tak selalu menyenangkan. Apalagi perpindahan tersebut adalah perpindahan sebuah keluarga. Perlu waktu untuk berdamai dengan situasi yang baru bagi masing-masing anggota keluarga. Harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru. Semuanya terasa menjengkelkan.

Namun tak selamanya berpindah-pindah itu tak menyenangkan. Ada juga perpindahan yang mengantarkan kita ke sebuah petualangan baru, pun tak semua petualangan berakhir menyenangkan. Dane (Chris Massoglia) dan Lucas (Nathan Gambl) mau tak mau harus pasrah saat ibu mereka memboyong mereka untuk pindah dari New York ke sebuah kota kecil bernama Bensonville. Buat Dane, tak ada yang menarik dari kota kecil ini. Tapi, ada Julie Campbell (Haley Bennett), perempuan yang tinggal tepat di sebelah rumah baru mereka. Julie juga yang akan menjadi teman bertualang Dane dan Lucas untuk mengungkap misteri yang akan mereka temui di rumah baru.

Saat Dane, Lucas, dan Julie mencoba mencari kesenangan dengan menjelajahi rumah baru ini, mereka menemukan sebuah lubang! Lubang yang terkunci rapat ini sepertinya sengaja disembunyikan. Kalau saja mereka tak teliti, bisa jadi lubang di dasar rumah mereka ini memang tak pernah mereka temukan. Saat dibuka, lubang ini sudah mengundang sejuta misteri. Tak ada cara untuk mengetahui apa yang ada di dasar lubang gelap ini selain turun langsung dan sepertinya satu-satunya cara ini justru adalah cara yang paling mengerikan dari semua cara.

Untuk menelusuri misteri lubang ini, Dane, Lucas dan Julie telah mencoba berbagai cara. Mulai dari memasukkan benda-benda, berteriak sekuat tenaga seakan memanggil penghuni lubang tersebut. Tapi, semuanya lenyap. Benda yang dijatuhkan, suara yang diteriakkan, lenyap. Lenyap ditelan dalamnya lubang yang tak terkira itu. Akhirnya ada saja peristiwa yang memaksa Dane untuk masuk ke lubang itu. Waktu itu, Lucas diterkam dan diseret oleh pria misterius--yang akhirnya ketahuan bahwa itu adalah ayah mereka-- ke lubang tersebut. Seketika Lucas lenyap. Merasa dirinya bertanggung jawab atas keselamatan adiknya, Dane nekat meninggalkan Julie di ruang bawah tanah rumahnya dan secepat kilat ia masuk ke lubang tersebut.

Saat itulah Dane mengalahkan rasa takutnya. Di dalam lubang itulah ia mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Lucas. Dane mesti mengalahkan kegarangan ayahnya yang sangat amat kejam. Sejak kecil Dane bersama adik dan ibunya telah ditinggal oleh ayahnya. Sosok Ayah Dane benar-benar misterius. Ukuran tubuh yang tak lazim--raksasa-- dan wajah yang mengerikan. Entah kenapa pula, ayah Dane selalu menghantui kemana pun mereka pindah dan menganiaya anaknya.Ya, Pertempuran ayah dan anak itu berakhir ketika Dane berhasil mengalahkan ayahnya. Selama ini Dane hanya memilih lari ketika dianiaya oleh ayahnya, tapi tidak untuk kali ini. Ia benar-benar menunjukkan bahwa tak ada yang ia takutkan lagi. Sekalipun harus melawan ayahnya. Itu semua ia lakukan untuk menyelamatkan Lucas dan bertanggung jawab atas keselamatan adiknya.Berhasilnya Dane mengalahkan rasa takutnya, maka ia berhasil pula keluar dari perangkap lubang misterius itu bersama adiknya, Lucas. Seketika itu pula, lubang itu tertutup. Lubang penuh misteri itu lenyap.

Tema film yang digarap Joe Dante ini memang cukup sederhana. Tak ada hantu yang mengerikan, tak ada pula kisah sadis yang berlebihan. Film horror nan berkelas. Drama keluarga, romantisme dan humor mampu menghibur sekaligus memberikan edukasi kepada penonton. Khususnya kepada kalangan anak-anak. Tak perlu menyimpan rasa takut berlebihan, setiap kita punya kesempatan untuk bertualang untuk mengobati rasa penasaran. Sang sutradara tahu bahwa kalangan anak-anak dan keluarga adalah pangsa pasar utama film ini, ia lebih memilih untuk menceritakan kisahnya dengan santai pada awal film, seperti kejenakaan Lucas yang sering menggoda Dane dan tetangga sebelah rumah. Setelahnya baru secara perlahan, Dante membangun intensitas cerita dan menghantarkan satu persatu ketegangannya dengan baik. Sound dan gambar sangat mendukung. Apalagi gambar ketika Dane terlempar jauh ke dalam lubang misterius ketika hendak menyelamatkan Lucas. Seolah membawa penonton juga ikut terlempar ke lubang yang entah berapa kedalamannya itu.

Yang jelas, alur kisah yang disuguhkan pada film ini cukup logis sehingga penonton pun bisa dengan mudah menerima fantasi sepanjang film ini. Akting dan dialog para pemain pun terkesan alami dan mampu dicerna oleh semua kalangan penonton, anak-anak hingga dewasa. Jadi, tak ada salahnya para orang tua untuk mengajak anak mereka untuk menonton The Hole. 

Selain berbagai kelebihan yang disuguhkan Dante pada film garapannya ini, tema The Hole memang bukanlah suatu yang baru. Mungkin banyak juga beberapa film hampir serupa. Hanya saja, ketika sebuah film tema sederhana digarap dengan hebat, maka hasilnya akan menjadi luar biasa.***

Demikian catatan saya tentang The Hole, film ini tak mengecewakan, menghibur dan membelajarkan. Selamat menonton.

Laisa....sungguh, Aku ingin seperti Kau

Judul             : Bidadari Bidadari Surga
Penulis          : Tere Liye
Penerbit        : Republika
Halaman       : vi + 363 hal
Tahun terbit  : Cetakan VII, Maret 2011

Begitu banyak pelajaran yang kau berikan kepadaku, Laisa. Kau berhasil menjadikan empat adikmu benar-benar menjadi 'orang'. Sukses dengan segala pencapainnya. Dalimunte bulat sudah menjadi seorang Profesor mendunia, Ikanuri-Wibisana keduanya meski sedari kecilnya telah menyayat hatimu mengatakan bahwa kamu bukanlah kakaknya, kini mereka telah sukses juga menjadi pengusaha bengkel mobil balap lebih kerennya disebut bisnis otomotif terkemuka di negeri ini bahkan keluar. Si bungsu Yashinta, adik tersayangmu itu kini telah menyelesaikan S2 nya. Dengan predikat Cumlaude pula. Kini ia benar-benar tumbuh menjadi perempuan mempesona, tetap keras kepala. Berawal dari kau, Laisa. Yashinta begitu mencintai alam, berawal dari ajakan kau membawa Yashinta ke perbukitan nun jauh dari Lembah Lahambay yang begitu permai di cerita itu. Kau tunjukkan berang-berang, kau ceritakan pula bagaimana pertumbuhannya. Dari situ, Yashinta kini telah menjadi seorang aktivis di sebuah lembaga konservasi di kota provinsi.

Sempurna sudah mereka semua, itu berkat kau, Laisa.
Laisa... sungguh, aku ingin seperti kau.

Kau ajarkan empat adikmu untuk terus bekerja keras. Kerja keras. Kerja keras. Kerja keras... Begitu kau meneriaki ketika dua sigung Ikanuri-Wibisana mulai berulah lagi, ketika mereka bolos sekolah mengikuti star wagon ke kota dekat Lembah Lahambay. Pulangnya ketika magrib menjelang saja. Begitu pula kau mengajarkan Dalimunte yang sedari kecilnya senang sekali menemukan hal-hal terbaru. Termasuk lima kincir air lima tingkat yang telah merubah kehidupan penduduk Lembah Lahambay itu. Memiliki empat adik, ditinggalkan babak dari empat adikmu dan juga 'babakmu' itu, hanya ditemani mamak Lainuri kau telah bersumpah. Bersumpah akan memberikan kesempatan pada adik-adikmu untuk menjadi orang yang hebat. Sumpah yang tak pernah kau ingkari hingga penghujung hidupmu. Benar, mereka semua sudah menjadi orang hebat, Laisa. 

Kau begitu cinta kepada mereka Laisa. Cinta akan keluarga, tiada tara. 
Laisa...sungguh, aku ingin seperti kau.


Aku tahu kau jauh memiliki lebih banyak keterbatasan daripada aku. Aku tahu kau hanyalah seorang bayi yang ditinggal oleh ayah tak bertanggung jawabmu. Oleh sebab ayahmu itu pula, kau memiliki keterbatasan seperti ini. Oleh sebab ayahmu itu pula kau dikatai Ikanuri-Wibisana pendek, jelek, hitam.. Sungguh, aku merasai betapa sakitnya ketika kau mendengarkan kata-kata dari mulut dua sigung nakal itu. Apa daya, memang di waktu itu mereka masih terlalu kecil untuk memaknai arti sebuah keluarga. Ikanuri waktu itu baru sembilan, Wibisana menuju sepuluh tahun. Begitu perkiraanku. Kau memang benar, Laisa. Empat adikmu memang jauh banyak lebihnya daripada kau. Mereka lebih tampan dan cantik, putih dan tinggi. Mereka dilahirkan dari babak, babak yang bukanlah babak kandungmu. Tentulah berbeda fisik mereka daripada kau.

Semua keterbatasan itu kau lewati begitu sederhana, Laisa.
Laisa...sungguh, aku ingin seperti kau.

Laisa, sungguh aku juga tau begitu banyak pengorbananmu. Kau rela untuk tidak sekolah demi empat adikmu. Kau berjuang membantu mamak Lainuri untuk menopang ekonomi keluarga. Kau juga menyimpan penyakit paru hingga stadium IV. Hanya mamak Lainuri yang tahu. Itu semua kau lakukan agar empat adikmu tak ikut khawatir. Kau benar-benar tak mau merusak kebahagiaan mereka. Begitu juga kau berkali-kali menyuruh mereka untuk segera berkeluarga. Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana 'melintas'mu, Laisa. Sungguh mereka tidak mau mendahuluimu. Tapi kau berkeras hati agar mereka segara menjemput kebahagiaan itu. Kebahagiaan mereka akan bertambah ketika telah memiliki keluarga.

Sedangkan si bungsu Yashinta akhirnya mengikuti permintaan terakhirmu. Di penghujung hayatmu, akhirnya Miss Headstone itu menerima si Mata Biru 'Goughsky'. Pria Uzbek akhirnya mendapatkan cinta yang telah ia tanam dalam waktu tak sebentar. Bertahun-tahun lamanya. Itu semua karena adik tersayangmu, Yashinta tak tega hati untuk 'melintas'mu untuk yang keempat kalinya. Ia telah terlanjur membenci laki-laki. Yash telah memiliki kesimpulan sendiri, laki-laki hanya mementingkan kecantikan dan fisik dari perempuan. Oleh karena itu perjodohan-perjodohan untukmu terhenti, semua laki-laki itu terhenti ketika melihat fisik kau, Laisa. Mereka tak pernah melihat kecantikan hatimu Laisa, mereka juga tak pernah melihat keberhasilanmu mendidik adik-adikmu. Mereka juga tak perhatikan kesuksesanmu mengelola perkebunan strawberry yang telah merubah kehidupan masyarakat Lembah Lahambay jauh lebih baik daripada masa kecil kau dulu.

Suatu kali kau mengatakan:
"Setiap kali menatap hamparan perkebunan strawberry ini, aku selalu merasa, Allah amat baik kepada kita... Kau tahu Dali, setiap kali mendengar kabar kalian. Mendengar apa yang telah kalian lakukan. Aku merasa, Allah benar-benar baik kepada kita. Kakak sungguh merasa cukup dengan semua ini.. Umurku hampir empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi... Mungkin benar sudah menjadi kodrat manusia untuk menikah, berkeluarga. Mungkin Wak Burhan benar. Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan..Sejak lama aku sudah menerima kenyataan jika memang menjadi takdirku hidup sendiri, jika memang tak ada lelaki yang menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini....Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita. Perkebunan ini. Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu..."

Sekali lagi, kau benar-benar ikhlas Laisa..

Andai saja Tere-Liye tak turut menerima pesan pendek seperti yang dikirimkan mamak Lainuri ke empat adikmu di empat penjuru dunia itu, tentu aku takkan pernah tau tentang perjuangan hidup kau, Laisa. Tere inilah yang telah mengisahkan semua ini Laisa. Kisah ini pula yang membuat aku begitu ingin seperti kau, Laisa.

Begini pesan singkat 203 karakter yang dikirimkan mamak Lainuri itu: 
"Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah..."

Seketika itu, Dalimunte yang tengah mempresantisikan temuan terbarunya di salah satu ruang Simposium di belahan Eropa, Ikanuri-Wibisana yang tengah di perjalanan menuju Itali untuk menemui kolega bisnisnya, si bungsu Yashinta yang tengah berada di puncak Semeru untuk keperluan penelitiannya. Seketika itu pula mereka menghentikan kegiatannya. Berburu waktu untuk mengejar kau Laisa. Mereka benar-benar tak ingin datang terlambat untuk yang terakhir kalinya. Sama seperti kau yang tak pernah datang terlambat memberikan pertolongan kepada mereka. Pertolonganmu ketika Yashinta kecil sakit keras kau berlari di tengah hujan untuk memanggil mahasiswa KKN untuk menolong adik tersayangmu. Pertolonganmu ketika dua sigung Ikanuri-Wibisana nyawanya terancam oleh penguassa Gunung Kendeng, Harimau. Masih banyak lagi pertolonganmu yang lain.

Oleh karena itu semua orang begitu bangga kepada kau, Laisa.  Empat adikmu, mamak Lainuri, seluruh penduduk Lembah Lahambay dan tiga keponakan mu, Intan, Juwita dan Delima. Ketika mereka semua telah hadir di hadapanmu, "Ya Allah, terima kasih atas segalanya... Terima kasih.. Lais sungguh ikhlas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu... Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik.." 

Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar. Berpendar-pendar jingga. Sungguh senja itu wajah kau terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah bidadari surga. Lima menit kemudian pernikahan Yashinta dengan si Mata Biru dilangsungkan. Seusai ijab-kabul diucapkan, kau tersenyum indah. Senyum untuk selamanya. Kembali. Senja itu, seorang bidadari sudah kembali d tempat terbaiknya. Dan bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya. 
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waaqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka bik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)...Demikian cerita mamak Lainuri kepada Yashinta dan tiga sigung, Intan, Delima dan Juwita.

Laisa... sungguh, aku ingin seperti kau.

***

Sahabat, Dulu dan Kini

boleh aku pinjam uangmu..?

maaf, aq tak ada pegang uang banyak. tiap bulan uangku ditransfer ke berbagai rek. sisanya hanya utk kebutuhan bulananku. sekali lagi maaf.. maaf ya..

y, gpp. seharusnya aq yang minta maaf sama kamu karena telah buat kamu tak enak hati karena tak bisa bantu aq.

bukan, bukan kamu yang harus minta maaf. tp aq. untuk kesekian kali aq tak bisa bantu kamu. aq harap kamu ngerti. aq harus kirimi adikku tiap bulannya.

ya, aq mengerti sekali..gpp kok.

apa kabarmu? keluargamu? usahamu?

alhamdulillah aku dan keluarga sehat. 
g tau lah.. utangku udah banyak, sekarang g tau lagi.. hrpan ku cma hsil panen ku.. itupun 3 blan lg Insy Allh..cma tuk skrg mpe 3 blan k dpan buntu.. pengen nikah aj.. tpi itu pun buth biaya banyak.. haa....

semoga hasil panen kamu bagus ya..

Amin..sekarang aku kepikiran mau usaha perikanan. hehehe... mimpi aja

kalau ada kesempatan, kenapa tidak? mudah-mudahan ini buah dari sabarmu atas kegagalan2 sebelumnya

modalnya minus.. tapi kalo g ada usaha hutang ku g mungkin juga pemutihan khan. hahahahahhahahaaa.. ntah lah.. jlannya tuk ke situ belum kelihatan.. sepertinya nasib ku kelam..

kamu masih ingat kata-kata yg sering qt agung2kan dulu. "Takdir itu diujung usaha"

ingat tapi waktu itu kita lupa ngasih batasnya usaha itu y... akhirnya kita g tau berusaha mpe kapan..

tanpa batas.. qt akan terus berusaha sampai kapanpun. kamu jangan pernah lelah

kapan kamu pulang?

insyaallah sebelum puasa atau libur lebaran sja. aq kangen kamu

aku juga... sangat... kalo kamu pulang nginap di rumah ku ya

iy, insyaallah. atau kamu yg ketempatku.

sekarang jerawat ku tambah banyak.... hufh

banyak sekali pikiranmu..

iya.. apalagi aku juga patah hati.. ternyata prince william memilih perempuan lain..
haha.. masih banyak william2 yang lain yang akan menjemputmu.. hoho

hahahah...

***

rangkaian pesan singkat antara seseorang dengan sahabatnya. mulai dari pinjam uang, utang, usaha, kangen-kangenan, jerawat hingga prince william.

dua anak manusia yang ditakdirkan bertemu di organisasi kampusnya. sejak pertemuan itu mereka kian akrab, masing-masing memiliki jalan hidup yang hampir sama tak mulusnya. satunya mendahului yang satu lagi meninggalkan kampus mereka. yang satu lagi menyusul dua semester kemudian. kini mereka tak lagi bersama. hanya pesan singkat dan sesekali telpon dari negeri masing-masing yang menghubungkan.

cerita mereka tak seindah dulu lagi. dulu, kemana saja rasanya begitu bebas. dulu, curhat, cerita, diskusi, dan pertengkaran lepas begitu saja. dulu, pahit-manisnya status mahasiswa mereka lalui bersama.

kini, cerita itu sudah berbeda. semakin tua, hidup mereka semakin serius saja. memikirkan masa depan. memikirkan usaha. memikirkan pernikahan. memikirkan keturunan. kini, antara satu dan satunya lagi tak tahu bagaimana hidup mereka masing-masing secara pasti. mungkin saja ada yg mereka saling tutupi.

***

untukmu sahabat, tentu kamu masih ingat kita pernah punya cita-cita yang sama. tapi pada akhirnya qt berhadapan dengan realita sahabatku. skenario Tuhan jualah yang berlaku di dunia yang fana ini. pahitnya hidupmu aku rasakan di sini, manisnya hidupku kuharap akan terbagi padamu nanti. pahit dan manisnya hidup kita, suatu saat akan kita bingkai pada satu kisah. kisah nan mengalun indah.

Cintai Dia dalam Diammu

Notes manis ini murni copast dari seorang teman di fb. Sudah dengan izin, semoga bermanfaat. :)

...

Jika kamu belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam. karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya. Dengan begitu kau telah memuliakan dia, karena kamu tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang dan tak mau merusak kesucian serta penjagaan hatinya.

Dengan diammu …

Itu dapat memuliakan kesucian diri dan hatimu juga.
Menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu.

Dengan diammu ...

Itu dapat menunjukkan bukti kesetiaanmu padanya.
Karena mungkin saja orang yang kau cintai adalah juga orang yang telah ALLAH SWT pilihkan untukmu.

Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah ra dan Ali ra ? Yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan, tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah dalam sebuah pernikahan.

Sahabat ...

Dalam diammu tersimpan sebuah kekuatan...

Kekuatan sebuah harapan...

Hingga mungkin saja ALLAH akan membuat harapan itu menjadi kenyataan.

Hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata dan bukan angan semata, bukankah ALLAH tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap padanya ?

Sahabat ...

Jika memang "CINTA DALAM DIAM MU" itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata.

Biarkan ia tetap dalam diam, jika dia memang bukan milikmu, toh ALLAH, melalui waktu akan menghapus "CINTA DALAM DIAM MU" itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang lebih tepat untuk mengarungi hidup bersama.

Biarkan "CINTA DALAM DIAM MU" itu menjadi memori tersendiri biarkan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan SANG PEMILIK HATI.

Karena yakinlah ...

ALLAH kan memberikan ganti yang lebih baik lagi atau mewujudkan mimpimu dikemudian hari. Bersabarlah dalam diammu karena tulang rusuk takkan tertukar apalagi nyasar ^___^
----
Tuhan, sang Maha Cinta, saya tidak paham soal cinta. Tapi, bilaku jatuh cinta, labuhkan cinta ini pada seseorang yang membuat hamba semakin mencintaMu. Terimakasih Tuhan.