Teruntuk: Diana Devichairani Ady

"Ibuk.. tolong diisi buku ini ya..," anak berseragam putih-biru itu menyerahkan sebuah buku kepadaku. Semacam buku agenda. Sampulnya berwarna merah, lumayan tebal, masih baru dan baru sedikit terisi. Hari itu tepat hari perpisahanku bersama kawan-kawan seperjuangan dengan seisi sekolah di daerah Pulau Karam, SMP negeri 4 Padang. Termasuk anak yang menyerahkan buku  tadi.

Aku lumayan kaget. Kenapa bisa anak ini menyodorkan bukunya kepadaku. "Apa yang harus ibuk isi dalam buku ini?" aku bertanya. "Terserah ibuk, yang penting diisi," katanya. Akhirnya aku menerima buku yang disodorkannya, waktu itu di meja guru piket. Anak itu dan teman-temannya baru saja selesai mengikuti lomba antar kelas.

"Tapi ibuk belum bisa isi sekarang, sebentar lagi ada acara perpisahan ibuk dengan majelis guru."

"Nggak apa-apa buk, kapan ibu bisa aja," Anak itu benar-benar ingin aku mengisi bukunya.

"Iya, ibu usahakan secepatnya ya.." aku menjawab sekenanya.

Entah apa yang aku rasakan, yang jelas sejak anak itu menyerahkan bukunya kepadaku, itu menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Ternyata, anak yang selama ini aku rasa sangat susah untuk didekati memiliki perhatian agak berbeda kepadaku. Dari kedalaman hati aku bertanya-tanya. Kenapa ia tidak menyuruh teman-temanku yang juga berpraktik di sekolah itu untuk mengisi bukunya? Kenapa hanya aku?

Setelah anak itu berlalu dari meja piket, aku termenung. Lumayan lama. Pikiranku selama ini salah. Ia selama ini kukira tak suka dengan kehadiranku dan kawan-kawan praktikku di kelasnya. Ternyata ia anak yang berbeda. Berbeda dari teman-teman lainnya. Ia begitu perhatian kepadaku. Aku merasa ketika ia menyodorkan bukunya untuk kuisi, berarti ia menginginkan ada suatu bentuk kenangan antara aku dengannya. Mungkin pikiranku berlebihan, entahlah..

Sejak buku itu diberikan, hingga detik ini aku belum juga memenuhi janji itu. Waktu itu aku berjanji secepatnya mengisi buku tersebut, alhasil itu semua bohong. Aku telah memberikan contoh yang tidak baik.. Tapi semuanya bukanlah suatu hal yang aku sengaja. Benar-benar keadaan yang tak memungkinkan. Setelah buku tersebut berpindah tangan kepadaku, aku tenggelam pada rutinitas yang begitu padat. Mulai dari tugas laporan praktik lapangan kependidikan, kegiatan organisasi, hingga skripsi. Semuanya berbarengan, sama-sama padat, sama-sama sesak. Tak boleh satupun tertinggal. Ya, aku terlalu tenggelam dengan rutinitas itu. Sehingga buku yang diberikan anak itu belum juga kuisi. Ya, mungkin juga semua itu hanya alasan.

Waktu terus berlalu. Pertemuanku dengan anak itu berakhir tepat pada waktu ia menyerahkan bukunya. Hingga sekarang, kita belum pernah bertemu lagi. Bahkan sekarang semakin kecil kesempatanku untuk bertemu dengannya. Suatu kali pascagempa di 30September lalu tak sengaja aku melewati gedung sekolah yang lumayan banyak memberi kenangan itu. Pada saat aku singgah ke gedung tempat aku pernah belajar dan mengajar itu aku berharap bisa bertemu dengan anak yang telah aku janjikan mengisi bukunya itu. Apa daya, sekolah itu kosong, tak ada siswa di sana. Kemana anak itu? Ternyata anak itu bersama seluruh siswa sekolah tersebut mesti menumpang belajar di gedung Sekolah Dasar yang lumayan jauh dari sekolah itu. Sekolah mereka tak lagi layak huni. Bahkan, meja piket tempat aku menerima buku itu, tak bisa dijajaki lagi. Terkurung oleh reruntuhan yang disebabkan oleh maha dahsyatnya gempa.

Ya sudahlah, tak perlu aku berkecil hati. Aku dan anak itu sekarang masih berada pada satu kota yang sama. Suatu waktu kami akan bertemu. Aku akan mengembalikan bukunya, aku akan bertemunya. Pun sekadar untuk saling bertukar kabar dan melepas rindu.

Kesempatan kedua yang aku punya agar bisa bertatap muka dengan anak itu. Suatu siang, di saat aku menumpangi bus kota menuju tempat bekerja, tiba-tiba di persimpangan, bus yang aku tumpangi berhenti. Kernet sibuk mengajak anak-anak berpakaian olahraga untuk menaiki busnya. Tapi yang namanya anak sekolahan, banyak alasan mereka untuk memilih bus yang akan mereka tumpangi. Mungkin saja musiknya kurang bagus, busnya kurang bagus, atau mungkin juga mereka tengah menunggu teman lainnya. Aku juga tak tau pasti juga tak terlalu ambil pusing. Hanya saja, seketika itu mataku terjurus kepada salah seorang anak yang berada di tengah kerumunan itu. Ya, anak yang menyerahkan buku itu. Kini ia telah tumbuh semakin cantik, bola mata besar, kulit putih, tinggi semampai mengenakan pakaian olahraga dan kerudung sekenanya. Layaknya anak sekolahan mengenakan kerudung. Itu dia, anak yang selama ini ingin aku temui.

Tapi, siang itu kami juga belum ditakdirkan untuk bertemu. Untuk menepati janji.

Terlalu panjang mungkin apabila aku harus menceritakan. Cukuplah. Yang jelas, setelah aku melihat anak dari atas bus yang aku tumpangi, aku sempat mengirimkan pesan singkat kepadanya. "Tadi ibuk lihat Rani, kalau saja Rani menaiki bus yang berhenti tadi mungkin kita bisa bertemu," demikian isi pesanku.

***

--Rani (ketiga dari kanan) bersama teman sekelasnya. Kelas unggulan di tingkatnya.--
Hari ini, anak itu berulang tahun. Ia tak lagi berseragam putih-biru sekarang ia telah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia bersekolah di salah satu sekolah swasta unggulan di kota itu. Aku memanggilnya Rani. Mungkin sekaranglah saatnya aku menebus janji kepada Rani. Janji yang tak sesuai sedari awal. Tak apalah. Biarlah melalui halaman ini aku akan menulis untuk Rani karena buku yang ia berikan tertinggal di kota ku dulu. Sekarang aku telah beringsut pindah ke kota yang lebih jauh, bukan dengan sengaja pula aku meninggalkan buku itu.

Selamat ulang tahun untuk Rani. Ibuk mohon maaf hingga hari ini belum bisa mengembalikan buku Rani. Sebagai penggantinya terimalah bingkisan hadiah dari Ibuk. Hadiah tak bernilai apa-apa. Hanya beruntai-untai tulisan ini. Mudah-mudahan akan memiliki sedikit kenangan bagi Rani. Mudah-mudahan Rani tak akan lupakan Ibuk. Begitu juga sebaliknya. Ibuk tak akan pernah lupa bahwa ibuk pernah memiliki siswa seperti Rani. Pertemuan kita memang singkat, tapi ibuk menyimpan banyak kenangan tentang Rani. Anak yang pintar (setiap latihan dan ulangan nilai Rani selalu bagus, rajin bertanya), cerewet (suka protes dengan guru-guru praktik lainnya, suka ngomel, dan pintar sekali menyuruh teman-teman diam ketika kelas sudah mulai ribut), rajin shalat (tak pernah absen setiap kali kita shalat dzuhur berjamaah di teras sekolah), aktif di kegiatan luar sekolah, tentunya juga Rani begitu cantik.

Di momen pertambahan umur ini, segala yang terbaik ibuk doakan untuk Rani. Tumbuhlah menjadi perempuan yang berkarakter. Dari sekarang telah merencanakan masa depan dan terus berusaha untuk membuatnya nyata. Kalau boleh meminjam kata bijak miliknya Agnes Monica; "Dream, believe, make it happen..". Ok!!

***

*)Bumi Sriwijaya, 25th May 2011, 4;49 AM

0 comments:

Posting Komentar