Laisa....sungguh, Aku ingin seperti Kau

Judul             : Bidadari Bidadari Surga
Penulis          : Tere Liye
Penerbit        : Republika
Halaman       : vi + 363 hal
Tahun terbit  : Cetakan VII, Maret 2011

Begitu banyak pelajaran yang kau berikan kepadaku, Laisa. Kau berhasil menjadikan empat adikmu benar-benar menjadi 'orang'. Sukses dengan segala pencapainnya. Dalimunte bulat sudah menjadi seorang Profesor mendunia, Ikanuri-Wibisana keduanya meski sedari kecilnya telah menyayat hatimu mengatakan bahwa kamu bukanlah kakaknya, kini mereka telah sukses juga menjadi pengusaha bengkel mobil balap lebih kerennya disebut bisnis otomotif terkemuka di negeri ini bahkan keluar. Si bungsu Yashinta, adik tersayangmu itu kini telah menyelesaikan S2 nya. Dengan predikat Cumlaude pula. Kini ia benar-benar tumbuh menjadi perempuan mempesona, tetap keras kepala. Berawal dari kau, Laisa. Yashinta begitu mencintai alam, berawal dari ajakan kau membawa Yashinta ke perbukitan nun jauh dari Lembah Lahambay yang begitu permai di cerita itu. Kau tunjukkan berang-berang, kau ceritakan pula bagaimana pertumbuhannya. Dari situ, Yashinta kini telah menjadi seorang aktivis di sebuah lembaga konservasi di kota provinsi.

Sempurna sudah mereka semua, itu berkat kau, Laisa.
Laisa... sungguh, aku ingin seperti kau.

Kau ajarkan empat adikmu untuk terus bekerja keras. Kerja keras. Kerja keras. Kerja keras... Begitu kau meneriaki ketika dua sigung Ikanuri-Wibisana mulai berulah lagi, ketika mereka bolos sekolah mengikuti star wagon ke kota dekat Lembah Lahambay. Pulangnya ketika magrib menjelang saja. Begitu pula kau mengajarkan Dalimunte yang sedari kecilnya senang sekali menemukan hal-hal terbaru. Termasuk lima kincir air lima tingkat yang telah merubah kehidupan penduduk Lembah Lahambay itu. Memiliki empat adik, ditinggalkan babak dari empat adikmu dan juga 'babakmu' itu, hanya ditemani mamak Lainuri kau telah bersumpah. Bersumpah akan memberikan kesempatan pada adik-adikmu untuk menjadi orang yang hebat. Sumpah yang tak pernah kau ingkari hingga penghujung hidupmu. Benar, mereka semua sudah menjadi orang hebat, Laisa. 

Kau begitu cinta kepada mereka Laisa. Cinta akan keluarga, tiada tara. 
Laisa...sungguh, aku ingin seperti kau.


Aku tahu kau jauh memiliki lebih banyak keterbatasan daripada aku. Aku tahu kau hanyalah seorang bayi yang ditinggal oleh ayah tak bertanggung jawabmu. Oleh sebab ayahmu itu pula, kau memiliki keterbatasan seperti ini. Oleh sebab ayahmu itu pula kau dikatai Ikanuri-Wibisana pendek, jelek, hitam.. Sungguh, aku merasai betapa sakitnya ketika kau mendengarkan kata-kata dari mulut dua sigung nakal itu. Apa daya, memang di waktu itu mereka masih terlalu kecil untuk memaknai arti sebuah keluarga. Ikanuri waktu itu baru sembilan, Wibisana menuju sepuluh tahun. Begitu perkiraanku. Kau memang benar, Laisa. Empat adikmu memang jauh banyak lebihnya daripada kau. Mereka lebih tampan dan cantik, putih dan tinggi. Mereka dilahirkan dari babak, babak yang bukanlah babak kandungmu. Tentulah berbeda fisik mereka daripada kau.

Semua keterbatasan itu kau lewati begitu sederhana, Laisa.
Laisa...sungguh, aku ingin seperti kau.

Laisa, sungguh aku juga tau begitu banyak pengorbananmu. Kau rela untuk tidak sekolah demi empat adikmu. Kau berjuang membantu mamak Lainuri untuk menopang ekonomi keluarga. Kau juga menyimpan penyakit paru hingga stadium IV. Hanya mamak Lainuri yang tahu. Itu semua kau lakukan agar empat adikmu tak ikut khawatir. Kau benar-benar tak mau merusak kebahagiaan mereka. Begitu juga kau berkali-kali menyuruh mereka untuk segera berkeluarga. Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana 'melintas'mu, Laisa. Sungguh mereka tidak mau mendahuluimu. Tapi kau berkeras hati agar mereka segara menjemput kebahagiaan itu. Kebahagiaan mereka akan bertambah ketika telah memiliki keluarga.

Sedangkan si bungsu Yashinta akhirnya mengikuti permintaan terakhirmu. Di penghujung hayatmu, akhirnya Miss Headstone itu menerima si Mata Biru 'Goughsky'. Pria Uzbek akhirnya mendapatkan cinta yang telah ia tanam dalam waktu tak sebentar. Bertahun-tahun lamanya. Itu semua karena adik tersayangmu, Yashinta tak tega hati untuk 'melintas'mu untuk yang keempat kalinya. Ia telah terlanjur membenci laki-laki. Yash telah memiliki kesimpulan sendiri, laki-laki hanya mementingkan kecantikan dan fisik dari perempuan. Oleh karena itu perjodohan-perjodohan untukmu terhenti, semua laki-laki itu terhenti ketika melihat fisik kau, Laisa. Mereka tak pernah melihat kecantikan hatimu Laisa, mereka juga tak pernah melihat keberhasilanmu mendidik adik-adikmu. Mereka juga tak perhatikan kesuksesanmu mengelola perkebunan strawberry yang telah merubah kehidupan masyarakat Lembah Lahambay jauh lebih baik daripada masa kecil kau dulu.

Suatu kali kau mengatakan:
"Setiap kali menatap hamparan perkebunan strawberry ini, aku selalu merasa, Allah amat baik kepada kita... Kau tahu Dali, setiap kali mendengar kabar kalian. Mendengar apa yang telah kalian lakukan. Aku merasa, Allah benar-benar baik kepada kita. Kakak sungguh merasa cukup dengan semua ini.. Umurku hampir empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi... Mungkin benar sudah menjadi kodrat manusia untuk menikah, berkeluarga. Mungkin Wak Burhan benar. Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan..Sejak lama aku sudah menerima kenyataan jika memang menjadi takdirku hidup sendiri, jika memang tak ada lelaki yang menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini....Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita. Perkebunan ini. Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu..."

Sekali lagi, kau benar-benar ikhlas Laisa..

Andai saja Tere-Liye tak turut menerima pesan pendek seperti yang dikirimkan mamak Lainuri ke empat adikmu di empat penjuru dunia itu, tentu aku takkan pernah tau tentang perjuangan hidup kau, Laisa. Tere inilah yang telah mengisahkan semua ini Laisa. Kisah ini pula yang membuat aku begitu ingin seperti kau, Laisa.

Begini pesan singkat 203 karakter yang dikirimkan mamak Lainuri itu: 
"Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah..."

Seketika itu, Dalimunte yang tengah mempresantisikan temuan terbarunya di salah satu ruang Simposium di belahan Eropa, Ikanuri-Wibisana yang tengah di perjalanan menuju Itali untuk menemui kolega bisnisnya, si bungsu Yashinta yang tengah berada di puncak Semeru untuk keperluan penelitiannya. Seketika itu pula mereka menghentikan kegiatannya. Berburu waktu untuk mengejar kau Laisa. Mereka benar-benar tak ingin datang terlambat untuk yang terakhir kalinya. Sama seperti kau yang tak pernah datang terlambat memberikan pertolongan kepada mereka. Pertolonganmu ketika Yashinta kecil sakit keras kau berlari di tengah hujan untuk memanggil mahasiswa KKN untuk menolong adik tersayangmu. Pertolonganmu ketika dua sigung Ikanuri-Wibisana nyawanya terancam oleh penguassa Gunung Kendeng, Harimau. Masih banyak lagi pertolonganmu yang lain.

Oleh karena itu semua orang begitu bangga kepada kau, Laisa.  Empat adikmu, mamak Lainuri, seluruh penduduk Lembah Lahambay dan tiga keponakan mu, Intan, Juwita dan Delima. Ketika mereka semua telah hadir di hadapanmu, "Ya Allah, terima kasih atas segalanya... Terima kasih.. Lais sungguh ikhlas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu... Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik.." 

Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar. Berpendar-pendar jingga. Sungguh senja itu wajah kau terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah bidadari surga. Lima menit kemudian pernikahan Yashinta dengan si Mata Biru dilangsungkan. Seusai ijab-kabul diucapkan, kau tersenyum indah. Senyum untuk selamanya. Kembali. Senja itu, seorang bidadari sudah kembali d tempat terbaiknya. Dan bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya. 
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waaqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka bik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)...Demikian cerita mamak Lainuri kepada Yashinta dan tiga sigung, Intan, Delima dan Juwita.

Laisa... sungguh, aku ingin seperti kau.

***

0 comments:

Posting Komentar