Adzan Subuh, Ayah, dan Dewi

Adzan Subuh menggema ke seluruh penjuru Ujung Bori. Setelah beberapa lama menetap di sini, aku mulai mengenal suara mu'adzin ini. Ya, suaranya begitu jelas karena masjid begitu dekat dari tempat tinggalku. Nurul Badar nama masjidnya. Lima kali sehari, rutin apabila listrik tak mati aku mendengarkan adzan dari mu'adzin tadi. Tapi, setiap kali mendengarkannya, aku hanya terjebak lagi dengan yang namanya rindu. Aku rindu ayahku.

Adzan dan ayah, apa hubungannya. Tentu ada. Ayahku juga kerap menyerukan panggilan Allah kepada UmatNya di mushalla kampungku, Mujahidin nama mushallanya. Suara adzan ayahku jauh mengungguli mu'adzin yang aku dengar tiap hari di sini. Sebagian tetangga bilang, "Ayahmu kalau adzan, suaranya mendayu-dayu. meliuk-liuk membuat fikiran ini melayang, jauh. Lebih bagus dari adzan yang biasa kami dengar". Awalnya kupikir penilaian mereka berlebihan sekali. Tapi tidak, itu benar. Buktinya aku sekarang benar-benar merindukan kumandang adzan dari ayahku. Juga, tak satu dua yang berkata demikian.

Sudahlah, aku tak mau larut dengan kerinduan ini. Aku juga yakin ketika aku menulis ini, ayahku juga sedang mengumandangkan adzan Subuh di kampung kami. Karena kami berbeda waktu, satu jam. Mengingat itu saja aku sudah senang. Senang yang akan menutupi rindu. Rindu yang mesti aku simpan dulu. Hanya butuh sabar. Waktunya akan datang. Kami akan bersua. Di kesempatan yang lebih indah tentunya. Tuhan, kuatkanlah aku untuk menahan rindu kepada siapa saja yang kusayang.

Sekarang aku ingin menuliskan ceritaku di Subuh tadi. Memasuki Nurul Badar, shaf perempuan masih kosong. Aku yang pertama. Mungkin ibu-ibu yang lain masih sibuk mempersiapkan diri untuk menunaikan shalat berjamaah di Nurul Badar ini. Tak lama setelah aku, menyusul seorang anak perempuan. Ia masih kecil. Umurnya kira-kira sebelas. Aku takjub, ada anak seumuran dia sudah bisa melawan kantuk untuk segera meramaikan masjid di Subuh ini. Ingin sekali menyapanya, dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Aku tak segera berkenalan dengan anak perempuan tadi. Ketika ia datang aku sedang tahyatul masjid, dilanjutkan rawatib. Memperhatikan aku shalat sunat untuk yang kedua kalinya, anak tadi mengikuti. Aku paham, mungkin ia belum mengerti shalat sunat, atau hanya sekedar tahu. Yang namanya anak-anak, masih senang mengikuti, lebih tepatnya meniru.

Selesai rawatib, aku membuka pembicaraan. "Namanya siapa de?"
"Dewi," jawabnya.
"Dewi ke sini sendiri?" aku tanya lagi.
"Sama papa," dia jawab singkat sekali.
"Dewi tinggal di mana?" pertanyaanku berikutnya.
"Iyek...", Dewi bingung, sepertinya ia masih canggung mendengar dan berbicara dalam bahasa indonesia. Ketika dia tak mengerti pertanyaanku yang muncul hanya 'Iyek..'--artinya ia, bisa juga diartikan meminta lawan bicara mengulang pertanyaan kembali.
Hm.. aku pilih kosakata lain untuk bertanya lagi."Rumah Dewi di mana, jauh dari sini?" bahkan aku memberondong dua pertanyaan sekaligus.
"Tidak jauh dari sini," jawab Dewi dengan logat Makassar yang kental sekali. Ia juga menyebutkan nama daerahnya, tapi aku lupa.
Masih merasa penasaran dan masih ingin tahu lebih banyak tentang Dewi, aku melontarkan pertanyaan lagi. Karena ku yakin Dewi bukan tipe anak pencerita, lebih memilih ditanya. Lagipun, siapa juga yang mau cerita banyak subuh-subuh begini. Nyawa Dewi saja separuh masih tertinggal di tempat tidurnya. He..

"Pagi sekali Dewi bangunnya, bangun sendiri apa dibangunkan?" lagi-lagi aku bertanya banyak.
"Tidak.. dikasih bangun," jawab Dewi dengan dialeg Makassar. Dikasih bangun sama dengan dibangunkan.

Tak puas dengan percakapan segitu saja, aku bertanya lebih banyak lagi. "Dewi sekolah dimana? Punya saudara berapa? Anak keberapa? Papa dan mama Dewi kerja apa?" Aih.. banyak sekali. Tapi aku tak bertanya borongan kok. Satu per satu.
Dengan wajah yang sedikit heran, Dewi pasrah saja bercerita kepadaku. Ia sekolah di Sekolah Dasar .. (lupa deh, maklum amnesia), ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya kelas satu SMK, Dewi kelas lima, sementara adiknya belum sekolah. Kalau mamanya, di rumah saja. "Kalau papa kerjanya kasih antar motor," jawab Dewi dengan dialeg khas Makassar lagi.

Kasih antar motor? aku bingung.
Aku tanya ulang, "Kasih antar motor maksud Dewi, mengantar orang dengan motor?"
"Iyek...," Dewi mengiyakan.
Bergegas aku menyimpulkan, "Jadi papa Dewi bawa Bentor (Becak Motor) yang sering lewat di jalanan depan ini?"
"Tidak, papa bawa motor Ducati," Dewi menjawab lagi.
Tapi jawabannya malah membuatku semakin bingung. Dalam hati saya bicara, Papa Dewi bawa Ducati? Jangan-jangan papanya seorang pembalap. Hm.. aku memutar otak, bagaimana cara bertanya ya, biar omongan kami nyambung?. Kembali saya mencoba menyimpulkan agar Dewi lebih mudah memahami. "Papa Dewi kerja ditempat orang jual motor Ducati, terus mengantarkan motor-motor yang dibeli orang ke rumahnya, begitu?"
"Iyek.." lagi-lagi Dewi menjawab singkat.
He.. meski Dewi sepertinya sudah mengerti pertanyaanku dan juga telah menjawab, tetap saja aku masih ragu. Jangan-jangan ini anak karena sudah bosan saja mendengar ocehanku dari tadi, jadi dia memilih meng-iya-kan saja. Atau benar-benar mengerti. Semoga saja ya.

Lumayan panjang sesi perkenalan dan tanya-jawab saya dengan Dewi. Lebih tepat disebut tanya-jawab karena kalau disebut kami bercerita, tidak sama sekali. Karena posisinya saya sebagai wartawan, Dewi narasumbernya. Hi.. Tak lama setelahnya, iqamah pertanda shalat berjamaah segera dimulai, dikumandangkan. Saya merapatkan sajadah ke jamaah lainnya. Dewi mengikuti. Ia kembangkan sajadahnya tepat di sebelah kananku. Lengkap dengan sejuntai tasbih hitam abu-abunya. Aku, Dewi, dan jamaah lainnya memulai penghambaan di Subuh ini. Khusyuk sekali.

Dua raka'at rasanya sebentar sekali. Selesai salam, zikir dan doa dilafazkan masing-masing. Sesekali Dewi melirik aku dengan sudut matanya. Entah apa yang ia pikirkan. Aku lihat, Dewi juga mengambil tasbihnya yang tergeletak di sajadahnya tadi. Ia main-mainkan tasbih itu, terus berlagak seperti orang dewasa yang tengah berzikir dibantu dengan tasbih. Dewi menggerakkan jari telunjuknya mengikuti satu per satu anak tasbih. Tapi sebentar saja, tidak sampai 33 kali hitungan. Kembali ia melirikku.

Doa selesai, saya menyodorkan tangan kepada Dewi. Segera ia menyambutnya. Salam silaturahim juga salam perkenalan. Setelah kami bersalaman, saya tetap memilih duduk belum beranjak untuk kembali ke rumah. Dewi pun mengikuti, tapi kelihatannya ia gusar. Sepertinya ia ingin segera pulang karena papanya telah menanti di halaman masjid, mungkin. Mencoba mengerti saya bangkit dan beranjak, "Yuk, kita pulang de," kataku. Segera Dewi mengikuti, ternyata benar di beranda masjid papanya sudah menanti. Aku tanyakan lagi, "Papa Dewi itu ya?"
"Iyek.." lagi-lagi jawaban yang sama. Kuperhatikan papa Dewi. Tak berkesan apa-apa. Hanya melihat laki-laki itu, kelak aku juga ingin memiliki suami seperti beliau. Ketika subuh mengajak anak-anaknya meramaikan masjid. Shalat berjamaah. Juga terbayang, istrinya di rumah tengah bersiap menyambut kedatangan suami dan anaknya dengan menu sarapan yang hangat. Indah ya? :)

*)Setelah dibaca, tulisan saya ga nyambung ya? Intinya: Subuh ini aku rindu ayahku, aku bertemu dengan sesosok anak yang sangat mengundang perhatianku. Di subuh ini juga aku bermimpi kelak punya suami sholeh yang bisa mengajak aku dan anak-anakku ke tempat terindah-Nya. Dan pastinya, pengalaman di Subuh ini cukup mengobati luka di hati dari semalam.

0 comments:

Posting Komentar