Catatan Mellow

Beberapa hari jelang balik,

Aku mengirimkan pesan singkat kepadanya,

Aku: Aslmkm. Dewi.. Tgl 24 kk mau pindah. Ga d mks lagi.. kalo libur dewi k sini ya..
Dewi: Wa alaikumsalam klu malam minggu kk ada nggak d' rumah? emangnya kk mau pindah d'mana?
Aku: Ada.. ke pkanbaru.. Ksini bsok ya.. :)
Dewi: Kenapa kk pindah?
Aku: Tugas dari kantor Dewi..

Air mata ini mengalir begitu saja. Aku akan meninggalkan 'adik'ku ini. Adik pintar, polos dan shalihah. Aku mulai kembali mengenang pertama kali pertemuanku dengannya. Di suatu subuh kami pernah satu shaf di masjid sebelah rumah yang lama. Perhatianku begitu tertuju kepadanya waktu itu. Subuh begini kenapa ada anak kecil di barisan kami. Teman seusianya dalam pikiranku tentu sedang tidur nyenyak atau sedang bermalasan ketika dibangungkan ibu mereka. Tapi ini anak tidak. Dia satu-satunya anak-anak di antara jama'ah subuh.

Sejak itu aku mulai mendekati dia. Mempelajarinya. Kian lama kami kian dekat. Walaupun jarang sekali bertemu, tapi sekali-sekali bertemu rasanya bahagia sekali. Banyak kenanganku bersama anak kecil ini. Banyak pelajaran juga yang dapat aku petik dari dia. Ia polos, rasa ingin tahu sangat tinggi, pintar pasti dan sedikit bicara.

***
Malam minggu, aku mulai sibuk memikirkan persiapan kepindahanku. Tiba-tiba bel rumah bunyi. Dewi pasti. Dalam pikiranku seperti biasa Dewi akan diantarkan oleh Bapaknya. Cukup sampai aku membukakan pintu, biasanya Bapak Dewi langsung pergi. Hanya ada senyum di antara kami, sebagai bentuk izin dan pemberian izin aku mengajak anaknya jalan-jalan atau sekadar bermain sebentar di rumah.

Tapi kali ini tidak, bukan bapaknya yang mengantar, melainkan ibu Dewi. Kaget. Aku tak menyangkan kalau Dewi akan diantarkan ibunya. Ibu Dewi yang aku kenal selalu di rumah mengurusi rumah tangga. Hanya sekali aku pernah bertemu waktu mengantarkan Dewi sampai ke rumahnya sepulang kami jalan-jalan. Hanya sekali itu kami pernah bertemu.

Aku mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu. Menyiapkan minuman dan sedikit makanan. "Silahkan minum bu," aku menawari. Ibu Dewi berterima kasih dan memulai pembicaraan. Menanyakan jadwal keberangkatanku, berapa lama aku di sini, dan seputar pekerjaan. Pembicaraan kami layaknya pembicaraan orang yang baru pertama kali bertemu. Tapi ini juga sekalian pembicaraan perpisahan.

"Terimakasih sudah ajak Dewi jalan-jalan, mengajari anak ibu dan sering menemani anak ibu. Ibu sedih.. tidak ada lagi teman Dewi, selama ini ibu tidak izinkan Dewi bergaul bebas dengan teman-teman sebayanya. Ibu khawatir. Pegaulan anak-anak sebaya mereka tidak bagus. Makanya ibu percaya kalau Dewi bergaul dengan orang yang lebih dewasa dengan dia."

Pertanyaanku selama ini terjawab sudah. Begitulah alasan ibu Dewi yang selama ini mempercayai aku mengajak anaknya kemana saja. Beliau meneruskan, aku memang keras mendidik anak. Alhamdulillah jelas terbukti Dewi peringkat pertama terus di sekolahnya.

Aku tercenung. Perasaan berkecamuk. Andai saja mereka tahu bagaimana perasaanku sekarang, yang harus mendadak meninggalkan mereka dan orang-orang yang aku sayangi di sini. Aku mulai bersuara.

"Doakan saja bu, Insyaallah Dewi berhasil, nanti kita bisa kembali bertemu."

Ibu Dewi mengaminkan. Beliau berpesan, "Jangan lupa sama kami, jangan ganti nomor handphone, jangan dihapus no, ibu.. ya.."

"Sejak baca sms, ibu sedih, langsung kepikiran bagaimana Dewi.. ditinggalkan kakaknya. Seharian ini ibu menangis."

Damn!! Tuhan, segitunya. Aku tak tega melihatnya, aku tak tega meninggalkan. Berikanlah yang terbaik untuk mereka, untuk aku dan pertemukanlah kami suatu saat nanti.

Setelah bicara panjang lebar, ibu Dewi pamit. Bersalaman, ia memelukku. Mengucap terimakasih. Mengurai air mata. "Terimakasih, bu..," ucapku. Dengan mata yang sama-sama basah, aku bergegas ke kamar mengambil kamera saku. Aku mengajak foto bersama. "Kita foto dulu bu.. kenang-kenangan." Aku serahkan kamera ke Dewi. Dengan sigap anak ini mengambil kamera dan jepret kami.

Kemudian ibu Dewi pulang, Dewi tinggal bersamaku. Menginap untuk 'terakhir' kalinya. Aku mengantar hanya sampai ke pintu. Ibu Dewi berjalan ke depan mencari  becak motor, tumpangan yang akan mengantarkan ia ke rumah.

Tinggallah aku berdua dengan Dewi. Ini malam terakhir. Anak ini masih diam. Sambil menonton, aku perhatikan dia lamat-lamat. Kali ini Dewi mengenakan daster batik yang kubelikan waktu kami jalan-jalan di pasar malam Pantai Losari. Ada bando topi dan kalung yang kubelikan beberapa minggu lalu. Hm.. entahlah, yang pasti aku sedih. Terlalu mellow. Terbawa suasana.

Menonton diselingi cerita. Akhirnya Dewi tertidur. Biasanya kami tidur beda kasur. Kali ini aku memilih tidur bersama dia. Sampai tengah malam, aku masih belum bisa tidur. Sesekali memperhatikan dia merapikan selimutnya. Pulas sekali.

Pagi, Dewi terbangun. Menyanyakan pukul berapa. "Pukul enam," jawabku. Dewi kelihatan tergesa. "Dewi mau shalat?" tanyaku.

"Iya kak," dia bergegas ambil wudhu.

"Mukena dan sajadah kakak dicuci karena kakak lagi ga shalat. Pakai yang ini aja ya," aku menyodori mukena cadangan dan mengembangkan sarung sebagai sajadahnya.

Pagi itu hujan. Deras. Dingin. Aku tambah mellow. Tak mau berlama-lama, kumulai aktivitas. Berbagai macam dan menyiapkan sarapan, dua gelas minuman sereal. Cukuplah untuk sarapan kami. Cerita-cerita ringan mengalir begitu saja. Ku titipkan pesan kepada Dewi, "nanti kalau Dewi sudah SMP kemana-mana pake kerudung ya, kalau mama mau belikan Dewi baju, minta belikan baju muslimah ya.."

"Iya kak.." dia menatapku.

Pukul 10 kami bersiap. Jalan-jalan. Sebentar saja. Aku ajak Dewi keliling di pusat perbelanjaan terdekat. Seperti biasa, kalau ada yang dia sukai, Dewi pasti terpaku di tempat itu. Kali ini dia tertarik pada baju. "Dewi suka?" tanyaku. Dia mengangguk. Setelah pilih-pilih aku membawanya ke cashier dan menyerahkan baju tadi ke Dewi. "Terimakasih kak.." dia tersenyum.

Selepas makan dan belanja makanan untuk adik-adiknya, kami pulang. Kali ini aku tak bisa mengantar Dewi sampai ke rumahnya. Dewi turun depan gang menuju rumahnya. Dia pamit, "Dadah kak..........terimakasih," dia melambaikan tangan.

"Sama-sama.. hati-hati ya dek..."

Hua..... aku kembali menangis. Beginilah, pertemuan dan perpisahan selalu berjodoh. Hanya soal waktu.


*H-2 Jelang balik.



-keluarga rantauku-







Dari 0 ke 0

13 Oktober 2011, aku memulai.

Yang pada waktu itu sama sekali tidak ada segala sangkaan buruk. Semuanya terasa baik. Amanah. Itu yang aku jalankan. Bagai anak kecil yang baru belajar. Belajar memulai. Dari 0. Aku mulai dengan Bismillah. Niat hanya karena Allah. Tujuan hanya untuk menjalankan amanah. Harapan membahagiakan orang disekitarku dengan segala jerih yang telah dilakukan. Insyaallah berkah.

Semuanya dari 0. Bekal seadanya, mencoba meraba-raba. Apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku capai. Apa yang aku berikan atas amanah ini. Perlahan, bertahap, perjalanan ini diteruskan. Aku mulai merasa ada hasil yang telah diperbuat. Tak ada sia-sia. Yang dinamakan pencapaian, maksimal atau tidak, yang aku rasakan sudahlah dengan usaha terbaikku. Bagaimana hasilnya, aku serahkan kepada yang berhak untuk menilai.

Beriringan dengan itu, pengorbanan tentulah ada. Materil non materil. Tapi itu bukanlah suatu hal yang harus aku permasalahkan. Jika ada yang ingin dicapai, pengorbanan pasti ada di sana. Jauh dari orang-orang yang disayang, menahan rindu, pressure dari lingkungan keseharian. Komplit. Inilah pilihan. Pilihan yang sudah dibuat. Aku tak akan menyerah. Aku jalani sampai waktunya tiba. Aku harus berhenti.

14 Januari 2013, aku dipaksa berhenti.

Beginilah hidup. Entah skenario apa ini. Yang aku percaya hingga sekarang, inilah skenario Tuhan. Aku harus jalani. 'Terpaksa' aku berhenti. Meninggalkan perjalanan yang sudah sekian lama aku tempuh tanpa aku yang harus menyerah terlebih dahulu. Aku merasa masih sanggup untuk melanjutkan. Tapi, biarlah..

Aku yakin, Tuhan punya rencana terbaik. Ia tak pernah lengah. Ia Maha Adil, Maha Melihat dan tak akan pernah lupakan aku. Ia punya Kuasa untuk menunjukkan. Yang benar itu benar. Pun sebaliknya. Let's see..

Sekarang saatnya mengikhlaskan. Segala yang telah diberikan yang luput dari penilaian manusia. Serahkan kepada Tuhan. Aku tidaklah takut. Dulu, aku memulai dari 0. Tidak bernilai apa-apa. Sekarang jika dikembalikan ke posisi 0 kenapa harus takut? Let it flow..

***
Mari berkemas, pamit, berterimakasih, memohon maaf, tinggalkan yang baik.

Beverly Hills E14, 19th of January 2013